01

61 9 2
                                    

Aku menatapi jejak kaki di balik jendela. Mencari satu langkah paling dekat di antara banyaknya orang yang berlalu lalang. Ini adalah kebiasaanku sejak kecil. Rumah ayah sungguh membawaku ke ruang nostalgia. Bahkan potret-potretku masih terpajang di tempat yang sama ketika aku pertama kali pergi dari rumah. Hanya ada satu hal yang membuatku benci, yakni perasaanku. Semua lingkungan ini seolah menyuruhku untuk seperti ini dan seperti itu. Sampai aku melupakan siapa diri sebenarnya.

Hari ini adalah tiga tahun pertama semenjak aku kecelakaan. Saat itu aku berada di dalam mobil yang dikendarai oleh ayah. Lalu tiba-tiba datang sebuah truk dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Stir mobil pun langsung dibelokkan dan menabrak pohon. Dari sana, aku amnesia. Tak ada secuil pun ingatan yang tersimpan.

"Ri, kamu lagi ada masalah? Cerita sama ayah." suara bariton pria paruh baya menggema bersamaan dengan ketukan di pintu kamarku.

"Nggak, Ayah," balasku pendek sembari sekuat tenaga menahan isak tangis.

"Nak, ayah tau kamu lagi ada masalah. Ceritalah siapa tahu ayah bisa bantu," balas pria itu masih kekeh dengan pendiriannya.

"Aku bilang nggak, ya nggak!" teriakku. Dan seketika ketukan di pintu pun tak terdengar lagi. Beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa telah membentak ayah. Aku bangkit dan membuka pintu.

"Ayah, aku hanya lagi ingin sendiri," ucapku pelan. Hatiku sedikit tersayat kala ayah berdiri mematung dengan wajah tersentak kaget. Ini pertama kalinya aku membentak. Matanya berkaca-kaca dengan wajah yang memerah. Rahangnya mengeras sementara tangannya sibuk mengepal. Kedua alisnya bertaut menampakkan ekspresi antara sedih dan kecewa. Jujur seumur hidupku ini pertama kalinya aku mendapatkan reaksinya seperti ini.

"Iya, ayah ngerti. Nanti kalo mau cerita, cerita aja sama ayah. Ayah selalu ada untukmu, Nak," ucap ayah pelan sembari mengusap rambutku.

"I-iya, terima kasih," balasku terbata-bata dengan lidah yang terasa kelu.

"Maaf, Yah," gumamku lirih lalu menyelinap ke luar. Aku ingin menyelidiki, ya aku tak ingin hidup dalam misteri.

Cepat-cepat aku memanggil taksi saat hampir melewatiku. Aku berharap bahwa apa yang kulakukan saat ini tidak salah.

"Cafe Ceria Jalan Babakan Priangan, Pak," ucapku mencoba sedatar mungkin. Tujuanku satu-satunya saat ini adalah menemui Andrian orang yang pertama kalinya menawarkan kisah misteri. Sebuah tawaran menarik, uang sepuluh juta rupiah dengan beberapa informasi yang ucapnya takkan kudapatkan dari orang lain.

"Ok, Mbak," balasnya singkat. Ia memakai seragam supir taksi. Kulirik sebentar ia sedang membenarkan kaca matanya. Suaranya serak dan dalam, membuatku sedikit bergidik mendengarnya. Sekaligus merasa sedikit kagum meski ia hanya supir taksi tapi karismanya itu ... aku lagi ngapain?

Back to topic. Aku mengenal Andrian berawal dari minggu kemarin. Hari itu aku pulang agak larut sekitar pukul 10.00 malam. Hari yang cukup panjang dan melelahkan.

Aku meraih gadgetku. Tanpa sadar aku memiliki jadwal yang tak bisa diganggu gugat, yakni menulis. Entah itu dipost di wall sosial mediaku atau hanya menambah dokumen-dokumen di gadgetku. Dan saat ini, aku sedang ingin mempost curhatan.

Coba saja ibu ada di sini. Pasti sebelum aku pulang ibu menunggu di sofa. Demi aku ia rela tidur larut. Lalu setelah itu kami makan malam bersama di meja makan. Aku-Ayah-Ibu. Oh, homesick.
Ada yang sama?

Dalam waktu lima menit gadgetku berdering penuh notifikasi. Aku tidak tau seberapa terkenalnya sehingga mendapat hampir ribuan tanggapan hanya dalam beberapa menit. Padahal aku hanya anak SMA. Entah apa yang membuat mereka tertarik dari orang seperti aku. Lalu tanpa sengaja aku melirik komentar seseorang di postinganku.

"Aku tahu kau bohong."

"Maksudmu?" hampir tiga puluh menit aku menunggu. Namun, ia tak membalas komentarku. Hanya beberapa orang yang berbondong-bondong meramaikan notifikasiku. Selama ini aku cukup senang sebagai orang biasa yang punya banyak fans bagiku luar biasa. Tapi belakangan ini aku merasa risih. Rasanya aku menjalani kehidupanku sebagai orang yang biasa. Sangat biasa.

Tiba-tiba dering gadgetku berbunyi. Ketika aku bangkit dan meraihnya. Ternyata sebuah telpon dari nomor tak dikenal. Angkat tidak ya?

Angkat saja deh. Toh kemungkinan cuma salah sambung.

"Ririn El-husna."

"Siapa kamu?!" teriakku terkejut ketika ia tahu nama asliku. Padahal selama ini aku belum pernah memberi tahu kepada siapapun terkait nama.

"Apa kabar? Jadi udah di Bandung ya." aku semakin takut. Ini sudah kelewatan, aku sama sekali tak mengenalnya.

"Jangan basa-basi. Siapa kamu? Jika tak menjawab akan kututup telponnya." teriakku lantang.

"Rahasia keluargamu ada di tanganku, loh Rin." bahkan ia tahu nama panggilanku. Padahal akun sosmedku semuanya nama samaran. Anatasya Riri.

"Aku tahu sebenarnya kau hidup dalam misteri. Ya ... dan aku bisa bantu, asalkan ...," ucapannya terpotong ketika aku berbicara.

"Cukup ya, ini sudah kelewatan! Kamu penipu? kuno banget." aku terlanjur emosi.

"Aku Andrian. Kalau kamu benar-benar ingin memecahkan misterimu. Kutunggu besok di Cafe Ceria jam 12.00. Jangan sampai telat loh."

Berhari-hari aku tidak menanggapi. Namun, setiap hari pula ia mengirimi berbagai pesan pendek ke gadgetku. Hingga akhirnya aku membalas pesan untuk menemuinya. Selama beberapa hari itu ia mengirimi informasi dimulai dari nama lengkap ibuku sampai ke tempat dan tanggal lahirnya. Aku penasaran sampai sejauh mana ia mengenal sosok ibu.

"Mbak, maaf udah nyampe." teguran itu akhirnya menyadarkanku dari lamunan panjang.

"Oh iya maaf, Mas. Jadi berapa ya?"

"Lima puluh ribu, Mbak."

Aku keluar dari taksi dan langsung membuka gadgetku. Namun, sebelum hendak mengirimi pesan ke Andrian. Sesosok lelaki melambaikan tangannya ke arahku. Lelaki dengan baju t-sirt dan jaket hoodie berwarna hitam. Rambutnya agak acak-acakan namun, terlihat rapi. Kakinya terbalut celana jeans. Tubuhnya yang sispax tercetak jelas meski ditutupi kaos t-sirt tipis. Ia memakai sepatu kets warna hitam.

"Ririn! Di sini," ucapnya sambil tak henti melambaikan tangan ke arahku. Aku tersenyum ketika namaku disebut.

"Kau benar Andrian?" tanyaku sebelum memutuskan untuk duduk di hadapannya.

"Iya, aku Andrian. Terpesona ya liat wajah tampanku?" aku yang baru saja terduduk dan meminum minuman yang telah kupesan saat sebelum ke sini pada Andrian langsung tersedak. Narsisnya.

Meski aku mengakui ketampanannya.

"To the point aja. Aku bawa uang sepuluh juta yang kamu minta," balasku tak ingin terlihat salah tingkah.

"Formal banget, biasanya juga gue-lo," sahutnya membuatku tersentak. Bagaimana bisa ia tahu?

"Aku kan fans sejati kamu."

"Gue nyesel nemuin Lo di sini. Buang-buang waktu." aku bangkit dari dudukku dan hendak berjalan sebelum satu tangan mencekalku.

"Ayok, ikut aku."

****

A/n: Gimana seru gak? Btw ini cerita misteri pertama aku.

Next Update: 30 Januari 2019

Definisi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang