13

8 3 0
                                    

Aku menatapi sosok Andrian di hadapan. Pemuda 18 tahun dengan paras tampan memikat. Matanya terpejam.

"Andrian, kalau aja waktu bisa kembali. Mungkin kamu gak akan seperti ini," gumamku pelan bermonolog sembari mengelus-elus rambut coklat Andrian. Tanpa sengaja air mataku menetes di wajahnya.

"Nangisnya nanti aja, pas aku udah bales dendam," ucap Andrian sembari mengusap air mata di pipiku.

"Katanya kamu gak dendam?" tanyaku terkejut. Berarti dari tadi ....

"Aku gak bilang, tuh," ucapnya dengan wajah datar dan dinginnya itu.

Lalu beberapa menit kemudian tersenyum sembari mengacak-acak rambutku. "Kau banyak berubah, Soo Mai, dan aku senang dengan perubahan itu."

Soo Mai? Seberapa jauh Andrian mengenalku?

"Ah, aku lupa, jangan dipikirkan," ucapnya cuek.

"Apaan," ucapku kesal. Entah kenapa ia selalu seperti ini, menyebalkan! Dan anehnya lagi, aku nyaman dengan rasa sebal ini. Berbeda dengan saat aku di samping Harris.

Tiba-tiba Andrian menyodorkan sebuah kotak. Aku meraihnya pelan lalu berniat membukanya. "Nanti aja bukanya, wajahmu aneh."

Aku mengeryitkan alis tanda gagal paham terhadap ucapannya.

"Wajahmu aneh kalau lagi mikir," ucapnya terkekeh tanpa dosa. Aku langsung mencubit pinggangnya asal. Ia mengaduh heboh.

"Tapi cantik, kok," lanjutnya sembari mencubit pipiku.

Aku mendelik ke arahnya sambil menyembunyikan rona merah di pipi. "Kakak sama adik sebelas dua belas."

"Apanya?"

"Tukang gombal!"

"Oh iya, itu titipan kakakku," ucapnya membuatku berpikir cara agar seseorang menitipkan sebuah kotak kepada orang yang tak sadar, "Siti dapat dipercaya."

Sontak aku meliriknya, seolah-olah ia tahu isi otakku. "Kau yang sekarang mudah ditebak," ucapnya lalu mendudukkan tubuhnya.

"Bantu aku," ucapnya. Aku memapahnya untuk duduk di kursi roda. Andrian dalam sehari saja sudah cukup bagiku untuk percaya bahwa kau adalah orang yang selama ini aku cari. Sesosok dari masa lalu. Kunci dari semua tanda tanya ini.

Hanya sedikit menunggu waktu ... ketika kau mulai terbuka padaku. Aku bukan perempuan bodoh yang begitu saja mempercayai alibi keganjalan ini.

Aku perlu seseorang ... yes, i need.

"Malah melamun," ucap Andrian meruntuhkan lamunanku.

"Mau kemana?" mendengar ucapanku, Andrian malah tertawa.

"Kita ke taman."

Aku menatap tajam ke arahnya lalu berkata, "Jangan bercanda, kamu baru siuman."

"Ayolah, kalaupun aku mati seenggaknya gak di sini," ucapnya sedikit sarkas. Namun, tak mengubah pendirianku untuk menghalanginya.

Kau harus tetap hidup sampai aku mendapatkan rahasiamu.

Tiba-tiba ia menarik tanganku. Menatapku dengan tatapan membunuh. Andrian dengan anti penolakannya. Aku menghela napas panjang lalu mendorong kursi rodanya dan berjalan.

Setibanya di taman ia menyuruhku untuk berhenti. Wajahnya mendadak begitu ceria menatap anak-anak yang juga dirawat tertawa. Aku duduk di bangku sebelahnya.

"Dulu kau pernah berlarian, tapi nggak tertawa."

Andrian koma selama hampir sepuluh tahun, dalam jangka waktu sangat lama. Dan kecelakaan terjadi sudah empat tahun pertama, saat itu seharusnya Andrian belum terbangun. Namun, Andrian menceritakan seolah-olah tahu bahwa aku pernah amnesia. Selain itu, Dad nggak mungkin menjebak seseorang tanpa sebab. Dan menjadikan aku sebagai kambing hitam.

Akan tetapi, hampir serupa dengan Daniel. Sejauh apa pun aku menggali ingatanku, tetap saja nihil.

"Hei kau nggak lupa kan?"

Iya, mungkin hanya perasaanku saja. Bisa saja dia kebetulan membanding-bandingkan aku di masa lalu dan di masa kini. Bukan karena ingin mengingatkan aku yang telah amnesia.

"Ririn??" sontak aku tersadar ketika Andrian menepuk kedua tangannya di hadapan wajahku.

"Masuk aja deh," keluhnya seolah-olah merupakan titah.

"Nggak, kamu harus makan dulu," ucapku lalu pergi untuk mengambil bubur yang telah disediakan rumah sakit.

Sepuluh menit berlalu, di tanganku terdapat semangkuk bubur polos dan segelas air. Tiba-tiba seseorang menabrak dan membuatku tanpa sengaja menjatuhkan segelas air.

"Pukul 21.00, jembatan." ucap lelaki yang menabrakku lalu berlalu meninggalkan aku yang tengah memunguti pecahan kaca.

Apa maksudnya? Jam 21.00 di jembatan. Lelaki tadi sangat familiar di otakku. Tetapi karena ia memakai pakaian serba hitam ditambah masker dan topi hitamnya, cukup sulit mengenalinya. Ia bergerak cepat, seolah tak ingin diketahui identitasnya.

Harris, sudah hampir dua minggu aku tidak bertemu lagi dengannya. Seperti menghilang ditelan bumi. Atau jangan-jangan, tadi itu ....

"Dasar tukang ngelamun!"

Sontak saja aku terkejut dengan seruan Andrian dan tanganku tergores kaca pecah. Sama terkejutnya denganku, Andrian meraih tanganku dan menatapnya nanar.

"Maaf, aku tak bermaksud mengagetkanmu," ucapnya pendek lalu mengambil sebuah plester di saku baju rumah sakitnya. Ia membaluti jariku yang terluka.

Dari jarak sedekat ini, mataku terperangkap pada pesonanya. Bibir berwarna cokelat semu pink sedikit tersungging. Alisnya sedikit berkerut dengan mata berwarna cokelat yang nampak tak berkedip. Sebentar, ia mengusap wajah putih langsat yang berkeringatnya. Hidung mancungnya menjadi khas di antara bagian lain.

"Aku bisa sendiri," ucapku lalu menarik tanganku mencoba untuk menjauhkan jarak yang sudah cukup dekat di antara kami.

"Tidak, aku yang salah," ucapnya tanpa membiarkan tanganku bergerak sedikit pun.

Aku membuang muka, mencoba menyembunyikan rona merah di pipiku. "Berhenti atau ---"

"Apa? Kau mau mengancamku?" tanyanya dengan tatapan mata mengintimidasi membuatku gugup seketika, "lagian udah selesai juga."

Ya Tuhan, lelaki tampan ini membuatku gila.

"Hai sayang!" seru Siti lalu merangkul pundak Andrian. Pacarnya.

"Maaf udah sore, aku harus pulang," ucapku berpamitan sadar diri.

"Tetap disini," ucap Andrian sembari mencekal lenganku untuk pergi. Mungkin hanya perasaanku, tetapi di dalam setiap kata terdapat penekanan yang menggambarkan sebuah emosi. Mungkin seperti takut kehilangan?

"Aku akan kembali," ucapku tanpa membalikkan badan lalu melepaskan cekalannya dan pergi.

Aku menjalankan motorku menyusuri jalan yang ramai seperti biasanya. Suasana bising dengan asap polusi di mana-mana sudah menjadi romansa tersendiri. Para supir angkot berteriak memanggil penumpangnya untuk bergegas menaiki kendaraannya. Desak ramai saat macet bahkan kadang menjadi ladang konser dari pengamen biasa sampai ke pengamen cilik. Di sore ini, aku harus pergi kemana? James, Harris, Angga, Ayah, aku ingin bersama kalian.

Di dekat danau aku memarkirkan motor, lalu duduk di atas hamparan rumput hijau. Aku memeluk kedua lututku, masih terlintas semua kejadian satu tahun kemarin juga saat-saat aku menghabiskan waktu berdua dengan ayah. Kenapa kalian harus meninggalkanku?

"Dad!" teriakku sembari melemparkan batu kerikil sejauh yang kubisa.

"Eomma!"

"Ayah!"

"James!"

"Angga!"

"Harris!"

"Kenapa kalian harus meninggalkanku!"

***

Hey guys, apa kabar? Author dah lama nih gak update maaf ya. Soalnya readnya sedikit,- hadeh ....

Definisi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang