02

36 6 0
                                    

Anatasya Riri, gadis berusia 17 tahun. Blasteran Jerman-Indonesia. Sekolah di SMA 1 Biru. Memiliki hidung mancung dan beriris mata coklat hazel. Termasuk jajaran Most Wanted. Namun, tak pernah ada seorang lelaki pun yang mendekatinya. Karena mereka sudah mengetahui kepastian untuk ditolak. Ia tak pernah tersenyum dan juga cukup jarang berbicara. Kemana-mana ia selalu sendiri. Bukan karena tak ada yang menemani. Tapi ia sendiri yang tak ingin ditemani.
Cukup sekian dan terima kasih.

"Apa-apaan sih anak mading ini. Mengapa harus aku yang menjadi topik? Lagian aku tak merasa jadi sosok Tasya seperti yang diceritakan papan itu." gumamku di dalam hati ketika tadi pagi tak sengaja melihat diri terpampang di papan mading.

"Ok, Anak-anak. Kita kedatangan dua murid baru. Silahkan kalian perkenalkan masing-masing."

"Perkenalkan namaku Andrian Husain, cukup panggil Andri. Jangan sampai memanggilku Andrian, ya. Yang boleh memanggilku Andrian cuma Anatasya Riri!" seketika kelas menjadi ramai oleh sorak riuh.

Tiba-tiba siswi di depanku menoleh ke belakang dan bersorak dengan kata "Cie". Aku yang bingung langsung mengeryitkan kedua alis. Lalu memilih untuk kembali melambungkan diri pada lamunan indahku.

"Namaku Muhammad Harris." hanya tiga kata yang keluar dari mulut lelaki itu. Ia berdiri di samping Andrian. Pemuda berkacamata dengan tinggi 181 CM, berkulit putih, dan beriris mata abu-abu.

"Ada dua bangku yang kosong, bangku di sebelah Tasya dan bangku di sebelah Fajar. Kalian mau duduk di sebelah siapa?"

"Ririn." satu nama itu terucap dari mulut kedua pemuda yang tengah berdiri di depan kelas.

"Ririn siapa maksud kalian?" keduanya nampak salah tingkah kala Bu Hani mempertanyakan pertanyaan itu.

"Ehm, maksudnya Anatasya Riri. Iya, gak, Ris?" Andrian memukul bahu Harris. Sedangkan Harris hanya menatap tajam Andrian seolah berkata, "Sejak kapan kau so akrab?"

Dan di lain pihak, Andrian juga berkata dengan isyarat mata, "Iyakan dulu saja! Nanti baru protes."

"Baiklah, Tasya ingin duduk di sebelah siapa?"

Aku terkejut ketika punggungku disentuh oleh siswi. Aku tak tahu siapa namanya. Meski mungkin ia pernah berjabat tangan dan berkenalan denganku.

"A-apa?" aku benar-benar mati kutu. Lamunan indahku seketika hancur hingga ke titik remuk terdasarnya. Rasanya hampir sama seperti maling yang tertangkap basah mencuri. Ditatap horror oleh seluruh penghuni kelas.

Jantung berdegup kencang kala bola mataku jatuh pada matanya. Andrian. Memaksaku untuk benar-benar dalam keadaan terpesona. Sesosok lelaki yang dua minggu kemarin aku temui. Rasanya begitu sulit mempercayai sosok Andrian yang memakai baju seragam.

"Tasya, saya tanya sekali lagi. Andrian atau Harris?"

"Harris, Bu," balasku sembari menundukkan pandanganku. Aku tidak mau salah tingkah lagi. Bisa habis reputasi di sekolah.

Meja di sekolah ini diatur, satu meja untuk satu siswa. Dan aturan baku di sini adalah setiap murid harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Setiap murid diberi 100 poin. Jadi, jika ia melakukan kesalahan maka poin itu akan dikurangi dan begitu sebaliknya. Namun, aturan berbahasa juga dijelaskan lebih detail. Hari Senin-Selasa-Rabu bahasa Indonesia. Hari Kamis bahasa Inggris. Dan hari Jumat bahasa daerah. Jika poin berada di bawah 70 maka otomatis dikeluarkan. Murid-murid yang poinnya dikurangi akan diumumkan di papan mading. Ya, diharapkan dengan adanya sistem itu setidaknya para murid benar-benar menjalani profesinya sebagai "Pelajar".

"Hei, Rin. Sudah sepuluh tahun ya nggak ketemu," gumam Harris sambil menatap ke arahku.

Ia berbicara sangat pelan dengan senyum lebar yang sulit diartikan. "Hei, Ri. Kau sudah membuat pulau ya tadi?" itu kira-kira yang aku dengar dan sedikit analisis.

Pukul 10.00 bel istirahat berbunyi. Rasanya cukup bahagia setelah melewati perjalanan yang panjang. Tiga jam pelajaran, Matematika Peminatan, dan Kimia. Belum lagi bayangan guru killer mata pelajaran Fisika sudah menunggu di awal bel masuk setelah jam istirahat. Rasanya otakku sudah hangus dipakai berpikir. Walaupun sepanjang mata pelajaran aku tertidur, tentunya dengan trik superku.

Aku bangkit dan pergi ke meja Andrian. Aku harus meminta klarifikasi setelah mendapatkan telpon dari seorang wanita. Sesosok yang mengaku sebagai "Ibu".

"Andrian!" aku menghela napas panjang. Tak perlu basa-basi lagi. Sudah cukup selama ini untuk bersabar.

"Apa? Rindu?" jika aku bisa berkelahi mungkin lelaki di hadapanku sudah babak belur. Meski kenyataannya berbanding terbalik.

"Senyum dong, kamu cantik kok kalau senyum. Apalagi dengan lesung di pipimu itu," ucap Andrian sembari mencubit pipiku. Aku telah babak belur duluan sebelum mampu meninju. Bisakah lelaki ini lenyap dari pandanganku?

"Hei, Bung. Bisa tanganmu itu tidak menyentuh Rin?!" teriak seseorang sembari menggebrak meja.

Situasi macam apa ini?

"Aku tunggu di taman belakang sekolah." kupikir tak ada gunanya mematung di sini.

Di taman belakang sekolah aku menunggu. Lima belas menit berlalu rasanya sedikit menyesal karena telah mempercayai lelaki itu. Tiba-tiba ada yang mencekal pergelangan tanganku. Dengan refleks aku mencengkram tangan yang mencekalku. Hingga aku sadar ketika mendengar suara "Krek" dan erangan lelaki.

"Ririn, apa salahku?" pertanyaannya membuat aku tersentak.

"Ba-bagaimana bisa aku mematahkan tulang pergelangan tanganmu?" aku mundur beberapa langkah dan terjatuh karena tersandung. Menatap nanar tangan yang begitu tiba-tiba seolah menjadi lebih kuat.

"Hei, Rin. Duduk saja di bangku taman ini bersamaku," ia mengulurkan lengan sebelah kanannya ke arahku. Ragu-ragu aku meraihnya dan bangkit.

"Apa yang akan kamu bicarakan?" aku masih menatap pergelangan tangan kiri Andrian yang terluka.

"Aku mendapat telpon dari seorang wanita."

"Terus apa hubungannya denganku?" mulai lagi nih ngeselinnya.

"Aku akan menceritakannya ...," ucapku pelan.

"Kalau kamu mau membantuku tanpa dibayar." menanggapi ucapanku, lelaki itu tertawa hingga mengeluarkan air mata.

Seperti yang aku duga. Mungkin dengan penolakan ini, setidaknya aku dapat menjaga diri. Untuk tidak marah-marah.

"Hei ada apa dengan wajahmu itu?" Andrian menyadari wajahku yang tiba-tiba murung.

"Aku pikir kamu menolak permintaanku," ucapku jujur.

"Mana mungkin aku menolak kesempatan di depan mata?"

"Kesempatan apa maksudmu?" aku menatap wajah lelaki di sampingku datar.

"Kesempatan untuk membuatmu tergila-gila padaku." boleh aku mohon lelaki di hadapanku ini mati saja?

Lalu bel masuk pun menyeka obrolan antara aku dengan Andrian.

Di balik aku dan Andrian yang telah memasuki kelas. Seorang lelaki masih duduk di belakang bangku taman belakang sekolah tempat Tasya dan Andrian. Tawanya menggema. Lalu ia tersenyum sinis.

"Cih, jadi kau benar-benar Ririn, ya?" ia merogoh ponsel di saku jaketnya.

"Siapkan pasukan, kita akan membuat sebuah drama besar."

****

A/n
Update chapter 03: 3 Februari 2019

Definisi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang