03

26 4 1
                                    

Aku melirik jam tanganku, pukul 16.00 dan baru sampai rumah. Tiba-tiba tak sengaja menginjak kertas di teras rumah depan pintu.

Aku memungut dan membacanya, "Temui aku di Jalan XX no. 10 besok jam 08.00. Jika beruntung ayahmu akan baik-baik saja." dadaku mendadak sesak dan pandanganku mengabur. Hingga tak sengaja ada tulisan yang tertinggal di ujung kertas menarik perhatian.

"FROM Your Mother"

Keesokan harinya pukul 09.00, aku terbangun di atas kasur. Dengan kain basah yang menempel di dahi. Rasa sakit menjalar di bagian tubuhku terutama kepala. Rasanya sangat lemas dan susah bergerak. Aku mencari obat di nakas. Lalu mengambil satu pil pereda nyeri. Hari ini harus ke Jalan XX itu.

Baju t-sirt putih dan celana training. Lalu jaket hitam putih. Dan sepatu olahraga warna coklat.

Aku melangkah keluar garasi lalu menyalakan motor. Aku mengendarai motor dengan kecepatan hampir 140 KM/Jam. Satu detik terlalu berharga untuk dihabiskan di jalanan yang penuh dengan polusi dan sampah. Sekitar lima belas menit akhirnya motorku menginjak Jalan XX. Lumayan, perjalanan yang normalnya ditempuh 45 menit dapat terpangkas dua puluh menit. Aku berjalan menyelusuri jalan itu hingga menginjak pekarangan no. 10. Sebuah gedung pabrik terbengkalai. Pagarnya terbuka dan aku langsung memasukinya.

Di halaman itu, kakiku mendadak hancur tulangnya. Air meleleh dari mata membasahi pipi. Sebuah belati menusuk tepat ke jantung, merobek hingga ke titik remuk. Tubuhku ambruk ke tanah. Sementara beberapa jarak di hadapanku terlihat sesosok pria paruh baya yang diikat. Tubuh peluhnya penuh dengan luka sayatan pisau. Matanya terpejam entah sejak kapan. Bibirnya tertutup oleh lakban hitam. Kerutan di wajahnya seolah hilang. Mendadak terbayang kembali sosokku yang membentak ayah. Dan semua kasih sayangnya yang sering aku abaikan.

Dengan segala kehancuran, aku bangkit dan mendekati sosoknya. Air mataku bercucuran. Di hadapanku sosok itu ambruk ketika melepaskan ikatan tali rapia itu. Di punggungnya aku melihat sebuah kertas yang tertuliskan darah.

"Kau pikir ancaman kami main-main? Kau membunuhnya! Segera bereskan karena polisi akan datang."

Pandanganku membuyar ketika selesai membaca tulisan di kertas itu. Darah mengalir dari hidungku. Sejak itu pandanganku hitam. Dan yang terakhir kudengar suara sirine menggema.

****

Kubuka kelopak mata secara perlahan. Mendadak dadaku seperti tertimpa beton. Pandangan di hadapan kembali membuyar. Dan semuanya hitam.

Di sudut pandang berbeda, perempuan dengan pakaian serba hitam duduk di sebuah kursi. Jari-jari tangannya sibuk mengetikkan keyboard. Lalu setelah sepuluh menit berlalu, ia bangkit dan menghampiri seorang lelaki usia 30 tahun. Ia membuka lakban yang menutupi bibir lelaki itu.

"Kep*rat! Siapa kau, Br*ngs*k?!"

Gadis itu hanya tersenyum sinis meraih sebuah dirigent. Lalu menumpahkan isinya ke seluruh tubuh lelaki itu.

"Kau ingin tahu apa isi dirigent ini?" lelaki itu tak menjawab, matanya membelalak. Terkejut ketika menyadari aroma yang ia kenali.

Bensin.

Gadis itu terkekeh pelan lalu menempelkan sebuah emblem di wajah lelaki itu. Sebelum kemudian meraih korek api dan melemparkannya ke arah lelaki itu. Dari sana, ia berlari menjauhi sesosok lelaki yang tengah terbakar.

Setelah jauh, ia berjalan santai, "Untuk merasakannya kau perlu mengalaminya, bukan?"

Lagi-lagi aku terbangun dengan keringat dingin yang mengalir deras. Dadaku sesak sampai sulit bernapas. Mataku terbuka paksa dan menatap pemandangan asing. Sebuah kamar apartement yang sangat luas. Di nakas terpajang beberapa bingkai potret seorang gadis dengan umur sekitar 14 tahun. Berbagai pose dengan beberapa lelaki. Nuansa interior santai sekaligus elegant. Perasaan asing dan familiar menyerang bersamaan.

"James!" aku bersorak karena mengetahui keberadaan James. Satu-satunya orang yang kupercaya untuk menjadi penghubung masa lalu. Banyak hal mengenai aku yang kudapat hanya dengan bertanya. Ia adalah orang kedua yang selalu ada setelah ayah.

Ia mengacak-acak puncak rambutku. Sementara aku hanya diam. Masih merasa shock dengan apa yang terjadi kemarin.

"James, mengapa aku ada di sini? Di mana ayah?" aku mencecarnya dengan pertanyaan. Aku tak pernah sanggup untuk berdiam ketika seluruh dunia menghimpitku.

"Aku membawamu ke sini sekitar satu minggu yang lalu."

"Hah? Apa maksudmu satu minggu?!" teriakku terkejut dengan pernyataannya.

"Iya, Putri Tidur. Lagian di sini ramai kok, tidak cuma kamu," ucapnya lalu duduk di sampingku dan menatap jendela yang terhubung langsung dengan dunia luar.

Seolah mengerti dengan ekspersi bingungku, ia berkata, "Ada Andrian dan Harris."

Tiga laki-laki? Ya Tuhan, mungkin ibuku akan marah jika tau hal ini.

"Ya udah, jangan banyak melamun. Sarapan dulu." ia mengulurkan lengannya ke arahku. Setelah aku menyambut lengannya. Tiba-tiba ia menggendongku ala brydal style. Apa-apaan ini.

Ia mendudukkanku di kursi meja makan. Menyadari keberadaanku. Dua lelaki di sampingku menatap dengan mata melotot ke arah James.

"Ada apa dengan mata kalian? Ririn pacar gue," ucap James. Aku tak ingin menanggapi mereka dan tetap fokus mengisi almunisi perutku. Aku tipe cewek yang memiliki porsi banyak namun tetap kurus.

"Ia Anatasya Riri, idolaku dan sebentar lagi jadi pacarku!"

"Awas saja kalau lo berani."

"Makasih sarapannya." lagi-lagi James dan Andrian melotot ketika piring mereka telah bersih.

"Ya udah, gue gak suka formal-formal. To the point aja," ucapnya lalu menarik napas pelan, "tujuan gue ngumpulin kalian untuk sama-sama nyelidikin ibunya Ririn."

"Nah, gitu dong," Ririn membalas pelan.

"Jadi gini, pas tragedi minggu lalu. Gue nemuin sepasang sendal cewek berukuran 40 cm."

"Terus maksud lo, sendal cewek yang lo temuin ada hubungannya sama tragedi itu?" Harris diam nampak berpikir keras setelah mendengar penuturan Andrian.

"Terus gue juga sempet ngeliat tuh cewek. Tapi dia pake sepatu sama pakaian serba hitam, udah gitu dia pake jaket hoodie sama masker hitam. Dan gak sampai situ ...," ucap James lalu menarik napas panjang, "dia pake payung hitam padahal saat itu tidak sedang hujan."

"Jadi kesimpulannya, cewek itu yang ngebunuh ayah Rin?" Andrian menatap ke luar jendela membayangkan kejadian yang menimpa Ririn.

"Tepatnya ayah Anatasya Riri. Ya, bisa jadi begitu. Tingginya sekitar 175 CM. Auranya menyeramkan, bahkan dari jauh pun gue bisa mencium bau darah."

"Apa kau yakin pelakunya seorang wanita?" tanya Harris dengan alis kanan yang terangkat dan bibir menyeringai.

"Lo ngeraguin gue?"

"Sebelum kejadian itu, aku dapet surat ancaman," ucapku menengahi perdebatan James dengan Harris. Aku langsung beranjak dan memberikan dua kertas yang menurutku berkaitan dengan kejadian itu.

"Apa?! Gila, ini mah bisa dilaporin ke polisi."

"Iya, ini barang bukti yang cukup kuat."

"Nggak, sama sekali ini gak boleh sampai ke polisi." pernyataan Harris sontak membuat James dan Andrian membelalak.

"Ya, aku pikir seperti itu." Aku setuju dengan ucapan Harris.

"Ngomong-ngomong aku di apartement siapa?"

"Ini milikmu," ucap James singkat.

"Aku ingin kalian pergi pada hitungan ke tiga. Satu ... dua ... tiga," ucapku. Aku tersenyum ketika melihat mereka sudah tak memenuhi ruang apartement.

Sementara di lain tempat.

"Cih, polisi tidak boleh ikut campur."

"Kau mendeskripsikan pelakunya terlalu rinci, Bung."

****
A/N:

Hai! Gimana nih menegangkan gak sih kalau kita ngebayangin di posisi Ririn.

Oh iya next updatenya ditunggu ya 6 Februari 2019

Definisi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang