Aku menyusuri jalan di komplek perumahan, menatapi langit hitam yang sepi karena hanya ditemani bulan. Jangkrik-jangkrik kecil menyanyikan nyanyiannya. Sementara, semilir angin sibuk menerpa bumi. Absennya bintang melukiskan nestapanya. Kala sang cahaya beristirahat.
Sangat terpaksa. Selama hidup, ini adalah pertama kalinya aku merasa perasaan ini. Saat itu aku melamun sambil berjalan, tiba-tiba dari arah belakang muncul motor berkecepatan tinggi. Namun, ternyata ada yang mendorongku hingga jatuh. Dan motor itu tak menabrakku, tetapi menabrak Andrian. Di antara banyaknya orang yang berkemungkinan menyelamatkanku, mengapa harus Andrian?
Rasa bersalah
Rasa perih
Rasa marah
Rasa ... rinduAku terbangun di pagi hari tepat saat waktu menunjukkan pukul 05.30.
Tring, bunyi notifikasi smartphone berdering. Aku membukanya lalu menemukan satu chat di sebuah aplikasi. Dari nomor tak dikenal.
"Seekor kucing menunggu kucing lainnya terluka."
Apa maksudnya?
Tunggu, ada gambar yang terlampir!
Seorang lelaki duduk di atas kursi dengan keadaan diikat. Mulutnya dilakban. Ia tertunduk, menatapi kedua kakinya.
"James!" teriakku saat telepon terjawab.
"Ke tukang sate di dekat minimarket, sekarang!" ucapku tanpa jeda dan langsung menutup sambungan telepon.
Aku langsung meraih jaket dan kunci motor. Lalu, keluar. Setelah lima menit, akhirnya sampai di samping minimarket. Harris, lelaki itu duduk sembari mengaduk-aduk teh manisnya. Sama seperti saat itu. Penuh lamunan.
"Ternyata kamu memang selalu di sini, ya?" tanyaku sembari terkekeh.
"Apa?" tanyanya balik, ia menautkan ke dua alisnya dan menatapku keheranan.
"Akuilah bahwa di belakangku, kamu yang jadi tukang sate," ucapku dengan tertawa-tawa lalu menyerobot es teh manis Harris.
"Bagaimana bisa aku yang tampan ini jadi tukang sate?" ia balas terkekeh. Harris, orang itu, kenapa jadi narsis begini?
"Buktinya semua pembeli sate adalah perempuan," balasku mencari pembelaan.
"Secara tidak langsung kau mengakui bahwa aku tampan," ucapnya semakin narsis. Seorang Harris yang katanya cool?
"Secara tidak langsung kamu mengakui bahwa mereka pelanggan warung satemu," aku tertawa terbahak-bahak baru pertama kalinya setelah sekian lama. Harris ternyata seorang yang konyol!
"Kau mengakui aku tampan."
"Kamu mengakui dirimu tukang sate."
"Emang apa masalahnya jika aku jadi tukang sate? Toh, dengan itu kau mengakui ketampanan pangeran ini."
"Cukup!" teriakku tak sanggup menahan tawa melihat tingkah konyol Harris.
"Kalian masih di sini? Gue gak nerima titipan absen. Ya, kecuali dari Ririnku."
Ya Tuhan! Ini kan hari Senin?!
Untung saja waktu masih menunjukan pukul 06.15. Setidaknya waktu masuk pukul 07.00. Tiba-tiba Harris menarik lenganku untuk menaiki motornya. Ia memberikan sebuah helm. Berwarna kesukaanku, biru langit. Dengan nama Ririn with Harris. Ia memakai helm yang sama, namun dengan warna hitam.
"James, aku harap kita bisa bertemu secepatnya." send. James.
Aku menatap punggung Harris yang tengah berjalan di hadapan menyusuri koridor. Bibirku membentuk lengkungan bulan sabit, dengan lesung di pipi kanan. Di depan kelas XI IPA 1, lelaki jangkung itu berhenti dan menoleh.
"Rin, ayok masuk?" aku mengangguk pelan.
Harris,
Rasanya aku mulai ... menyukaimu!"Rin?" tanya Harris.
Pipiku berkesemu merahan. Lalu, segera memasuki kelas dan duduk di meja sebelah Harris. Dari posisi ini aku bisa memandangi Harris 90°. Dalam hati aku bersyukur karena saat itu memilih di dekat Harris bukan Andrian.
Wait a minute!
Aku melupakan Andrian!"Bu, saya izin ke wc." Aku mengangkat tangan menginstruksi.
Tiba-tiba tubuhku tertabrak sebuah benda yang sangat keras. Aku menengadahkan kepala, melihat sosok familiar di mataku. Ia datang. Lelaki yang baru saja aku chat, James. Ia memakai seragam dengan logo kelas XII IPS 6. Lelaki yang berumur dua puluh tahunan itu, bagaimana bisa?
"Rin, umurku masih 18 tahun," ucapnya seolah tahu apa yang aku pikirkan.
Ia menarik lenganku lalu berjalan ke arah perpustakaan. Begitu melihat penjaga perpustakaan, ia hanya tersenyum lalu mengangguk. Entah apa yang sudah dibicarakannya. Lalu, duduk di kursi pengunjung perpustakaan.
"Aku yakin ada yang ingin kau bicarakan."
Aku menunjukkan smartphone dan membuka chat. Lalu, menatap tanggapannya. Wajahnya mengeras, tangannya gemetaran, dan pupil matanya membesar. Dalam waktu yang sangat singkat, kurasakan aliran kemarahan yang mendesir hebat memenuhi James. Namun, dalam waktu yang sesingkat itu pun wajah James berubah seperti semula. Sweet and calm.
Senyuman James menyungging rapih lalu menunjukkan deretan gigi putihnya. Ia menatapku lembut, "Rin, kau bukan kucing. Kau manusia."
Perlahan air mata menyelusup keluar, mencurahkan curahan hati yang begitu pedih. Aku berusaha tersenyum sebisa mungkin. "Manusia tak akan membiarkan manusia lainnya terluka."
"Jadi?" tanya James.
"Kita akan tolong Andrian!" seruku cepat lalu tersenyum menampilkan lesung di pipi dan gigi gingsul.
Ia mengusap puncak rambutku lalu mengecupnya. Beberapa menit kemudian mengajakku keluar dari perpustakaan dan berjalan ke arah parkiran. Ia menyodorkan sebuah helm lalu mengisyaratkan untuk menaiki motornya.
"Kau tidak berpikir akan memboncengku, bukan?" tanyanya.
Aku terkekeh pelan, lalu mundur. "Hehe, maaf."
James menstarter motornya. Lalu, mengendarai ke arah gerbang.
"Pak, Tasya sakit. Jadi saya disuruh nganterin sama Bu Indah," ucap James sebelum satpam sekolah menginstrogasinya.
Tiga puluh menit kemudian, James memarkirkan motornya di tempat parkir cafe Green Inspiration. Suasana asri dan udara yang sejuk menenangkan laju pikirku. Seperti biasanya, aku memilih duduk di meja pojok.
Andrian disekap dengan kondisi sekarat. Terdapat luka memar di sekujur tubuhnya, belum lagi hidung yang berdarah. Pipinya membiru bekas pukulan. Kelopak matanya terpejam. Di kepalanya mengucur darah bekas operasi yang masih basah. Dadanya yang tak terbaluti dengan sehelai kain pun terikat dengan tali.
"James, mengapa kita kesini?" tanyaku setelah James duduk.
"Sebelum melangkah kita harus menyelidiki dulu. 'Seekor kucing menunggu kucing lainnya terluka.' berarti setelah ini akan ada lagi korban. Tidakkah kau berpikir seperti itu?"
"Benar, James," ucapku lalu menarik napas panjang, "pertama dad, ke dua ayah Tasya, ke tiga ibuku, dan terakhir .... Bukankah terlalu konyol jika itu semua terjadi kebetulan?"
"Nah, menurutmu apakah orang-orang tersebut penting di hidupmu?" tanya James seraya menatap lekat-lekat lekuk iris mataku.
"Jelas! Dad adalah orang yang sangat penting di hidupku. Ayah Tasya juga. Dan ibuku, kau tahu bukan perjuanganku selama ini?" balasku dengan nada agak meninggi.
"Bagaimana dengan Andrian?" sontak aku terdiam menanggapi pertanyaan James. Mendadak membeku Andrian. Sejak awal kehadiranku di Bandung, ia hampir selalu terlibat. Andrian ... orang yang penting dalam hidupku?
"Ti, tidak," ucapku jelas berbohong, "sama sekali."
"Ya sudah, kita lanjutin besok lagi. Aku gak yakin bisa nyaman saat lawan bicara sudah mulai berbohong," ucap James frontal. Sejak aku dengannya berpacaran, James selalu seperti ini. Mengalir dengan apa adanya.
Tak ada rahasia di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Definisi Luka
Mistério / Suspense"UNTUK MERASAKANNYA, KAU PERLU MENGALAMINYA, BUKAN?" Pertanyaan yang dulu sempat aku ucapkan kini membayangi. Ya, itu masa lalu. Bagaimana pun aku adalah sosok baru. Dengan kehidupan baru. Anatasya Riri. Gadis polos berusia 17 tahun yang sekolah di...