06

5 2 0
                                    

Rasa sakit menyerang kepalaku. Mobil melaju cukup lambat. Musik bermelodi lembut mengalun tenang. Jendela terbuka setengahnya. Aroma pengharum bercampur dengan AC menyerbak. Aku memejamkan mata lalu membuang napas panjang. Rasanya cukup relaks.

Tunggu, tadi kan di pemakaman. Lalu ini?

Aku menolehkan pandangan ke kursi kemudi. Seorang lelaki berambut hitam kecoklatan berkacamata. Ia memakai kaos oblong dan jeans. Garis dagunya keras dengan kulit berwarna putih langsat. Hidungnya mancung.

"Andrian!" Aku berseru dalam hati.

Mobil terhenti setelah terparkir di parkiran. Selama perjalanan, kami membisu satu sama lain. Tak ada suara, hanya alunan melodi. Ia membuka pintu mobil.

"Jadi mau duduk di sana terus, ya?" Aku dikejutkan dengan uluran tangannya ke arahku.

Aku memukul tangannya. Namun, tiba-tiba kaki kananku tersandung dan ....

Berat tubuhku tertahan oleh kedua tangan yang tertumpu pada tubuh kurus Andrian. Untungnya ia bisa tetap seimbang.

Lengkungan di bibirnya terukir. Pupil mataku jatuh menatap pada samudra yang berada dalam iris mata Andrian. Rasanya aku bahkan akan pingsan saat ini.

Beberapa menit kemudian setelah tersadar dari keterkejutan, Andrian membantu. Lalu menggenggam tangan dan mengajakku duduk di kursi meja makan.

"Mang, satenya dua porsi sama es teh manisnya dua." Mang adalah panggilan paman dalam bahasa sunda.

Aku menghela napas dengan kasar. Tidak menyangka akan terjebak di situasi seperti ini. Ia masih duduk di hadapanku dengan wajah menyebalkan yang seolah-olah berkata "Aku tidak salah".

Bahkan ia tak meminta maaf karena kemarin telah membentak aku yang tengah berduka.

"Maaf."

Tunggu, ia ngomong apa barusan?

"Maaf."

"Terus?"

"Iya, aku mengaku salah."

"Hanya itu?" Ia memandangku dengan mengeryitkan kedua alisnya.

"Bahkan kamu tidak menyebutkan apa kesalahanmu," ucapku dengan sedatar mungkin, "kamu pikir maaf dapat mengembalikan hati yang luka?"

"Iya, iya. Aku salah karena membentakmu kemarin."

"Terus?"

"Terus-terus mulu, deh."

"Dek, ini sate dan es teh manisnya." sapaan pria tiga puluh tahunan itu meredakan perang aku dengan Andrian.

Aku meraihnya, lalu meletakkan di atas meja.

Hampir tiga puluh menit kemudian, setengah dari porsi sate yang kupesan sudah habis. Aku bangkit dan beranjak meninggalkan Andrian yang belum juga menyentuh sepiring sate.

"Kamu mau kemana?" tanyanya saat mencekal lenganku untuk meninggalkannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Hubungi aku jika kamu sudah mau memberikan buku harian ibu," ucapku tegas. Aku tidak mau lembek lagi dan kehilangan orang-orang yang kusayangi. James, Harris, dan Andrian adalah orang-orang yang tanpa kehadirannya, hidupku hampa.

Alasanku memaafkan Andrian dengan begitu cepatnya adalah karena aku tidak mau berkutat dengan ego. Toh, apa yang dikatakan Andrian saat kemarin ada benarnya juga. Hanya penyampaiannya saja yang kurang baik. Kau akan lupa cara mencintai ketika sibuk membenci, itu yang dikatakan orang-orang.

Melihat tidak ada reaksi dari Andrian, aku pun berkata, "Aku titip buku harian ibu padamu. Aku percaya kamu."

Aku bergegas pulang tanpa memberikan Andrian kesempatan untuk bicara. Ponsel di hp berdering. Aku langsung meraihnya dan mengangkat telepon dari dokter Daniel.

Definisi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang