04

14 4 1
                                    

Lebih dari tiga puluh menit aku hanya diam dan mengaduk-aduk secangkir cappuccino. Bukan karena kehilangan selera, tapi aku memang tak pernah menyukai minuman itu. Rasanya hari ini aku ingin melakukan semua hal yang dibenci.

Hujan turun, berawal dari gerimis hingga derasnya. Pikiranku masih melayang ke saat di mana aku menonton berita ayah. Aku benar-benar butuh pelampiasan amarah. Bagaimana tidak? Jelas-jelas meninggalnya ayahku itu karena dibunuh. Namun, polisi malah menutup kasus ayahku dengan kasus bunuh diri. Di televisi ditampilkan bukti-bukti yang merujukkan kasusnya. Aku tidak bodoh untuk mudah percaya. Terlalu banyak bukti yang ditutupi dan ditambahi.

"Percuma, kau pikirin." suara serak lelaki mengagetkanku dari lamunan.

"Harris, ngagetin aja," ucapku murung, "aku butuh waktu sendiri, maaf."

"Masih kecewa, ya?"

"Pertanyaanmu gak butuh jawaban," aku harap hari ini turun badai dan membawaku ke antah berantah.

"Ini terlalu rumit," aku bergumam. Lalu terkejut ketika melirik ke sampingku ternyata James dan Andrian sedang duduk manis.

"Harris kemana?"

"Jadi, kau lebih menyayangi Harris ketimbang aku pacarmu? Huft ...," ucap James.

"Maaf James, sepertinya aku tak bisa melanjutkan hubungan kita."

"Kenapa, Rin?"

"Karena kamu hanya masa lalu. Ada hal yang lebih penting saat ini," ucapku lalu menarik napas panjang, "Andrian, aku harap kamu jelaskan semua yang kamu tahu."

Andrian yang sedari tadi tertawa mengejek James pun terdiam. Membuang napasnya pelan, ia tak tahu harus mulai dari mana.

"Ini dimulai dari seorang perempuan yang menyuruhku ...," ucap Andrian.

Ia mengaku bahwa dirinya hanya diperintah. Andrian Husain adalah seorang lelaki yang dapat disewa untuk melakukan sesuatu. Termasuk pemerasan yang ia lakukan kepada Ririn. Perempuan itu hanya memerintahkan untuk memeras Ririn dengan memberikan informasi. Ibu Ririn bernama Arika El Husna. Lahir di Oxford pada tanggal 15 Januari tahun 1970.

"Terus apa lagi, yang ia katakan?" tanya Harris.

"Ibu Ririn sekarang ada di rumah sakit jiwa Waras Sentosa."

"Apa?! Kenapa lo gak bilang dari kemarin?" James menggebrak meja karena terkejut akan ucapan Andrian.

"Kamu yang nggak nanya," Andrian tak mau kalah dengan James, pria berdarah Jerman yang telah lama menetap di ibu kota.

Mereka sibuk bertengkar tanpa mempedulikan lingkungan sekitar. Aku hanya tersenyum menanggapi para pengunjung cafe yang memperhatikan Andrian dan James dengan sedikit membisik, "Saya tidak kenal mereka."

Di dalam mobil milik Harris, aku semakin merasa familiar. Seolah-olah tempat ini bersaksi akan sesuatu yang telah benar aku lupakan. Rasa yang sama saat aku berada di apartement.

Sepanjang perjalanan aku lewati dengan diam dan menatap ke luar jendela. Berbeda dengan rasa tadi, kini aku lebih merasa tegang untuk bertemu dengan ibu. Sosok yang telah lama aku cari. Meskipun tak pernah terpikirkan bahwa selama ini ibu ada di rumah sakit jiwa.

"Kau selalu seperti ini jika berkaitan dengan ibu," ucap Harris sembari mengemudi. Ada senyuman hangat yang terulur dari wajah kakunya.

"Hm, aku gak tau. Tapi, apa sebelumnya kita pernah berteman?"

"Bukan hanya berteman, kau adalah cinta pertamaku," balas Harris di dalam hati.

Melihat Harris yang tiba-tiba diam, aku merasa sedikit bersalah. "Maaf tiga tahun yang lalu aku kece ...."

Definisi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang