12

4 2 0
                                    

"Ibumu tidak gila, Rin. Tapi, Daddymu itu mengirimnya ke rumah sakit jiwa."

"Kau bukan anakku, pergi kau iblis!"

"Untuk apa bekerja sama dengan orang yang bahkan tak tau namamu, Angga?"

"Jangan memaksakan, toh, dad memang sengaja."

"Sebaiknya kau susul kakak beradik yang lagi berkelahi."

"Aku titip Andrian."

"Tasya?"

"Kau masih memikirkannya, ya?" tanya Harris menghampiriku yang tengah duduk sendirian di taman belakang sekolah. Dulu, aku sering ke sini dengan Andrian eh, maksudku Angga.

Aku menggeleng lemah, sejauh apapun usahaku untuk berbohong. Pada akhirnya Harris selalu tahu apa yang aku sembunyikan.

"Itu sudah setahun yang lalu ..., untuk apa masih mengingatnya?" tanyanya sembari meraih kedua telapak tanganku dan menggenggamnya.

"Iya, Ris," lidahku kelu untuk berkata jujur. Satu tahun yang lalu, adalah tahun terberat dalam hidupku. Tahun dimana aku bahagia sekaligus sedih di waktu yang sama. Angga, James, Harris, dan aku bertemu. Menyelidiki keberadaan ibuku, kematian ayah Tasya, juga ibuku yang pada akhirnya bunuh diri.

Ia memeluk tubuhku, lalu mengusap rambutku.

"Jangan sedih sendirian, berbagilah denganku," ucapnya membuat seketika air mataku tumpah.

"Ini gak adil, Ris. Kenapa aku harus kehilangan Ayah, Ibu, Andrian, dan James? Semua ini terlalu cepat!"

"Apa aku nggak layak, Ris, untuk hidup di bumi ini?" tanyaku sembari terisak.

"Kamu ingin tahu, tidak. Batinku setiap harinya selalu bertanya-tanya," ucapku sementara Harris yang sedari tadi menyiapkan bahunya basah oleh air mataku. Aku menyenderkan kepala ke bahunya.

"Kenapa Dad kecelakaan? Kenapa nenek meninggal karena keracunan? Kenapa rem mobil Mom blong?" tanyaku berdialog sendiri sembari mengusap air mata.

"Ini semua takdir, kau tahu kita hanya makhluk lemah. Please, wake up," ucap Harris pelan.

"Ta-tapi semua ini tidak terjadi hanya karena takdir, aku yakin ada seseorang yang melakukannya."

"Cukup! Kau terlalu melantur," bentak Harris, "kau harus menghargai skenario indah Tuhan."

"Tidak," ucapku lalu bangkit dan menghapus air mataku sebersih mungkin.

Bel berbunyi, memisahkan aku dengan Harris. Meski berakhir di ruang kelas yang sama. XI IPA I.

Sudah dua jam lebih mata pelajaran terlewati sementara aku hanya duduk dengan memakai earphone. Memutar musik-musik menenangkan emosi. Rasanya untuk saat ini, cukup relaks.

"Tasya?" tanya Bu Siska, guru matematika yang terkenal tegas. Aku hanya melirik ke arahnya.

"Kerjakan soal di depan."

Aku bangkit tanpa melepaskan earphone lalu segera menyelesaikan soal yang pernah kupelajari saat kelas X. Melihatku menyelesaikan soal rumitnya dengan jawaban yang memenuhi papan tulis dalam waktu 5 menit. Ia hanya terdiam dengan salah tingkah.

"Lepas earphonemu lalu duduk dan dengarkan apa yang saya jelaskan," ucapnya menatapku dengan sedikit tersenyum pahit.

"Nggak mau, tuh," ucapku pendek lalu keluar kelas setelah mengambil jaket.

Aku berjalan santai dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket hoodie. Aku duduk di kursi kantin lalu memesan semangkuk batagor. Di pojok kantin terlihat tiga orang gadis yang tengah bercakap-cakap sembari menikmati semangkuk bakso.

"Hei lihat nggak, cewek itu. Masa saat jam pelajaran gini malah ke kantin."

"Gila, kita juga kan bolos ke kantin," sahut temannya sembari menoyor bahu gadis di sampingnya.

"Aku mengajak kalian ke sini bukan untuk mendengar ocehan receh."

"Siti, gimana kabar Andri-"

"Shutt, gimana kalo cewek itu dengar. Ini kan rahasia besar."

"Cuma rahasia Siti aja kan?"

"Rahasia Siti, rahasia kita juga."

"Mulai ...," ucap Siti geli sendiri melihat tingkah laku temannya yang berbisik-bisik di depannya. Lalu, menatapku sekilas yang tengah asik memakan batagor.

"Andrian, ya?" tanyanya dengan wajah berkesemu merahan. Sementara aku memejamkan mata dan berusaha menajamkan telinga.

"Ia masih koma, padahal udah sepuluh tahun. Bahkan pihak rumah sakit, hampir saja melepaskan seluruh selang infusan di tubuhnya kalau aku kemarin nggak dateng."

"Hmm, cup cup, gimana kalau pulang sekolah kita ke sana?"

"Iya, kalau bukan karena anak iblis itu ... pasti Andrian masih-"

"Psstt, udah cukup. Semua udah berlalu."

"tumben, lo bijak," ucap seorang gadis berambut diikat.

***

Selang infusan memenuhi tubuh lelaki yang tengah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit. Kelopak matanya terpejam, tertidur sejak entah berapa lamanya. Angin mendesir pelan menyapu wajahnya.

Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Lalu, memeluk tubuhnya.

"Maaf, ini semua salahku."

Mungkinkah ini yang dinamakan kesedihan? Ketika kau kehilangan seseorang dalam hidupmu. Ya, tidak salah lagi. Rasa ini muncul saat dad, ayah, ibu, James, dan Angga pergi.

Tiba-tiba tangan kaku di hadapan mengusap air mataku. Bibir pucatnya tersenyum ke arahku. Dengan mata beriris hitam yang layu itu ia menatapku.

"Aku menunggumu untuk terbangun,"

Sementara itu seorang gadis yang baru saja membuka pintu berdiri mematung. Kekasihnya sadar setelah bertahun-tahun koma. Keajaiban. Namun bagaimanapun, ia tak dapat menerima keajaiban itu datang saat seseorang yang menyebabkan kekasihnya terluka mengunjungi.

Sebucket bunga mawar putih itu terjatuh ke lantai ketika ia melangkah penuh amarah. Ia menjambak rambutku hingga aku terjatuh dari kursi. Lalu, ia menarik tubuhku paksa ke pintu. Namun, sebelum hal itu terjadi, Andrian mencegahnya.

"Sayang, kenapa? Ia harus ngerasain gimana sakitnya kamu!"

"Terus?" Siti terdiam mendengar pertanyaan singkat dan padat yang keluar dari mulut kekasihnya.

"Pulang sekarang," ucap lelaki itu tanpa memandang ke arah lawan bicaranya. Siti menatap wajah kekasihnya dalam, lalu keluar kamar VIP tempat Andrian di rawat. Ucapan Andrian seakan perintah yang selamanya mustahil dibantah.

"Andrian, maafkan aku, gara-gara aku-"

"Shtt ... aku tahu semuanya," ucap lelaki berambut setengah ikal yang berantakan itu.

"Sebelum Alice menjebakku, aku sudah mencari tahu tentangnya," ucapnya lalu menarik napas panjang, "papaku terlibat korupsi ...."

Ia tak menyelesaikan kalimatnya karena terbatuk-batuk lalu kesulitan untuk bicara lagi.

"Nanti aja jelasinnya, aku percaya kok, tapi sekali lagi maaf atas kesalahanku."

Ia menempelkan jari telunjuknya pada bibirku.

"Kau tidak datang untuk mengharap pembalasan dendamku, bukan?"

Definisi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang