"You and I should stay friends."
-Jamie (Mila Kunis)~•~
Layaknya hujan yang selalu dimaki padahal dibutuhkan, layaknya matahari yang selalu dikutuk tapi memberikan kehidupan. Andai saja bisa hidup seperti itu, namun dia tetaplah manusia tak berguna. Keping harapan yang berserakan kini telah hancur lebur, tak ada tempat untuknya pulang dan berkeluh kesah. Semua hanya omong kosong yang disajikan dunia, semua hanya omong kosong yang siap membawanya terjun ke dalam neraka paling bawah. Tak ada yang benar-benar menganggapnya berarti, mungkin memang inilah waktu yang tepat untuknya pergi.
Terduduk di tepi jalanan seperti gelandangan, memeluk lutut dengan air mata yang terus saja membasahi kedua pipinya. Hujan makin deras, padahal sudah dua jam yang berlalu. Malam makin larut, tapi tetap saja sama. Dia seperti anak hilang yang memang diharapkan untuk hilang. Merepotkan, tak berguna dan lebih baik menghilang saja. Tubuhnya sudah menggigil, tapi tak ada tanda-tanda untuk dirinya beranjak barang sebentar untuk berteduh. Rasanya nyaman saat merasakan sakit itu lagi, menyiksa diri sendiri dengan air mata konyol yang dia tujukan untuk wanita yang sudah pergi entah kemana.
Tidak ada satupun manusia yang bisa memilih ingin dilahirkan oleh keluarga seperti apa, memilih ingin dilahirkan dengan kondisi keluarga yang seperti apa. Semuanya sudah tersaji, tinggal manusianya saja yang bisa atau tidak menghadapi hidup seperti itu. Namun kenyataannya, Adena yang tidak tahu apa-apa yang menjadi korban dari ketidak inginan kedua orang tuanya. Tentang bagaimana usia membantunya mengerti, bahwa dia tidaklah termasuk pada anak-anak yang beruntung bisa memiliki kedua orang tua harmonis yang merasa beruntung saat dia lahir.
Ibu sudah bahagia, sementara Ayah menjadi gila. Adena ingin pergi, lagi. Tapi dia tetap saja kembali, langkah kakinya seolah membawa cewek itu untuk tetap berada di sana. Terkurung di dalam kamar dengan cahaya rembulan yang menyusup masuk lewat cela jendela, menunggu Ayah pulang dan berakhir dengan keadaan setengah sekarat. Sudah Adena katakan bukan, kalau dia menyukai rasa sakit itu? Sebab ya, Ray akan datang dan mengobati luka-lukanya.
Bangkit dari tempatnya duduk, Adena lantas melangkahkan kakinya. Tertatih-tatih dengan tubuh menggigil pun kepala yang terasa sakit, tubuhnya sudah basah total dan dia hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan ringkih itu. Jarak antara kampus dan rumahnya tak terlalu jauh, hanya membutuhkan perjalanan sekitar tiga puluh menit dengan berjalan kaki. Namun sekarang, dengan kondisi seperti itu, tiga puluh menit terasa seperti berjam-jam.
Baru saja sampai di depan gerbang rumahnya yang sudah berkarat itu, Adena kembali memeku ketika rumahnya terlihat makin berantakan. Ada beberapa barang yang terlempar ke luar, sampai akhirnya cewek itu melihat Ayah yang tersungkur di atas lantai sementara ada beberapa orang bertubuh kekar di depannya dengan wajah garang. Cewek itu terdiam sejenak, mencoba mencerna kondisi apa yang sedang terjadi sebelum akhirnya cewek itu mengerti kondisi yang sedang dia alami sekarang.
"Oh, iya! Saya punya anak gadis, bawa saja dia! Tidak apa-apa!" teriak Ayah membara dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah.
Lelaki yang tadi duduk di kursi dengan pakaian serba hitam, terlihat mewah dan elegan itu lantas berdiri dan melirik ke arah pintu. "Wah, saya tidak tahu kalau kamu punya anak gadis semenarik ini. Hey, ada apa dengan wajahmu? Apa lelaki ini yang melakukannya?"
Iya, tapi kalimat itu tidak terucap karena Adena lebih merasakan tidak nyaman dengan tatapan itu. "Apa dia bisu?" tanya lelaki itu lagi.
"Tidak!" Ayah mengarahkan tunjuknya pada Adena, sebelum melanjutkan dengan suara menggema. "Hey, anak sialan! Bicara!"
Lelaki tadi tertawa terbahak-bahak, tapi beberapa detik berikutnya raut wajahnya berubah mengerikan. Satu tendangan dia berikan tepat di atas perut Ayah, membuat lelaki itu terbatuk beberapa kali. "Jangan memaki begitu! Setidaknya walau tidak bisa bayar hutang, jadilah Ayah yang baik. Dasar sialan!"
"Ti-tidak, bukan. Saya bukan Ayah anak sialan itu! Jadi bawa saja dia sebagai jaminan!"
Apa hidup selucu itu? Peran apa yang sedang Adena mainkan? Apa dia terjebak pada drama dengan naskah pasaran yang tetap jadi pilihan utama orang-orang? Konyol sekali, apalagi saat dia berpikir bahwa lelaki itu mungkin bisa menjadi awal baru unuk kehidupannya. Namun logika dan pertahanan dirinya lebih besar, cewek itu lantas berbalik saat melihat sebuah senyuman sumringah dari lelaki tadi. Senyum mengerikan yang akan membuatnya lari tunggang langgang seperti sekarang.
"Sialan! Tangkap perempuan itu!"
Hari sempurna untuk kesekian kalinya. Disiram dengan air panas, tak diperdulikan oleh orang-orang, ditinggalkan dan tak dianggap oleh Ibu dan sekarang dijual oleh Ayah sendiri. Lalu yang terakhir, berlari tanpa sepatu sebab sepatunya terlepas yang membuat telapak kaki itu berdarah. Dalam pengejaran mendebarkan itu, entah kenapa Adena merasakan sesuatu yang menggembirakan. Rasanya seperti hidup kembali. Cewek itu terkekeh lalu menghentikan langkahnya, pun berbalik dengan tatapan pongah menghujam.
Lelaki tadi terlihat terengah-engah, sementara Adena malah tersenyum miring dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Tangkap perempuan itu!" katanya menggema memberikan perintah.
"Saya akan menyerahkan diri dan menjadi peliharaanmu kalau perlu," bukankah itu gila? Tapi bukankah Adena memang sudah gila? Lantas cewek itu kembali melanjutkan dan mengabaikan bagaimana jantungnya berdebar begitu keras. "Tapi Tuan harus menuruti perintahku, simbiosis mutualisme."
Keadaan mendebarkan, terkesan menyedihkan kini berubah menjadi lebih menantang dan menarik. Lelaki tadi berdecih, memberikan isyarat pada anak buahnya untuk pergi meninggalkan mereka berdua sementara dia melangkahkan kakinya sebelum berakhir mendekap tubuh cewek itu. Baunya harum, terkesan maskulin dan Adena menyukainya bahkan hampir tenggelam pada belaian lembut yang lelaki itu berikan padanya.
"Akan saya berikan segalanya, asal kamu bisa memuaskan saya malam ini."
~•~
Dan Adena benar-benar menjadi peliharan yang penurut, tangan terikat dengan mulut penuh berisi kelamin lelaki tadi. Beberapa kali hampir muntah karena terlalu besar dan tak muat dalam mulut, tapi lelaki utu menyukainya. Suka sekali melihat Adena yang telanjang di depannya, terikat dan merasa frustasi sebab ruang geraknya yang terbatas. Sementara dia hanya duduk, menikmati bagaimana mulut mungil itu bermain dengan Adik kecilnya yang menegang luar biasa sampai akhirnya cairan putih tadi memenuhi mulutnya dan beberapa keluar mengalir sampai ke dada.
Mata cewek itu merah, lantas terduduk di atas pangkuan lelaki tadi. Tangannya sudah terlepas, dibawa untuk memeluk leher lelaki tadi sementara kepalanya bersandar di atas bahunya. Napas tersengal, dada bergemuruh hebat dengan pusat tubuh yang mendamba sentuhan itu lagi. Berkedut hebat, apalagi dengan belah bibir lelaki itu yang memberikan kecupan lembut pada tubuhnya yang telanjang dan berkerungat.
"Luar biasa," katanya memuji. "Kamu luar biasa,"
Adena tak memperdulikan, tubuhnya menggila dengan logika yang sudah tertutupi nafsu. Hingga akhirnya pusat tubuh mereka menyatu kembali, bergerak naik turun dengan kecepatan lamban. Sengaja membuat lelaki itu menggeram kesal, ikut merasakan perasaan frustasi yang sempat dia rasakan.
"Kamu punya saya sekarang," satu kecupan mendarat pada leher. "Peliharan saya yang penurut dan luar biasa memuaskan."
"Dan kamu adalah sumber kehidupan baru untuk saya... kita ini simbiosis mutualisme, bukan?"
Tawa menggema bersamaan dengan geraman nikmat, ruang kamar Adena kini sudah berganti sebagai tempat mereka untuk bergumul panas dan menumpuk dosa. Setan-setan sudah kembali, tertawa lagi dengan tangan yang bertepuk ria bergemuruh menyambut anak-anak baru dari Ibu Lilith. Ya, begitulah harusnya hidup pendosa. Kalau tidak bisa menjadi yang berkuasa, maka berpeganganlah dengan mereka yang punya kuasa. Jadi hewan peliharaan yang penurut dan baik hati, bukanlah opsi buruk. Malahan, terkesan menantang.
To Be Continued
Woy, ini apaan dah 😣😣
Seriusan, ceritanya mengalami perubahan di tengah jalan 😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Absquatulate
General Fiction[M] Ketika pupus, kita tidak tahu pelukan siapa yang paling tulus. Ketika sedih, kita juga tidak tahu bahu siapa yang paling pantas untuk kita sandari. Senyuman palsu, bahkan terlihat begitu manis. Menarik diri untuk tenggelam dalam surga dunia, mel...