We Don't Talk Together

2.2K 161 20
                                    

We were hurt each other, don't talk together anymore although we know what our feel.

~•~

Barangkali menjadi Ray itu terlihat menguntungkan, dengan wajah tampan bak pangeran kerajaan serta lesung pipi dikedua belah pipi sebagai pemanis tambahan. Memenuhi kategori dan definisi cowok tampan yang diciptakan oleh masyarakat sosial, bagaimana 'relatif' hanya menjadi omong kosong yang diucapkan untuk sekedar memberikan semangat kepada orang-orang di luaran sana yang kehilangan kepercayaan diri. Dengan semua hal yang dia dapatkan dari anugrah Tuhan, dia menjadi seseorang yang kelewat angkuh dan dengan mudahnya tenggelam dalam surga dunia untuk sesaat sebelum akhirnya menemukan sosok malaikat seperti Zeline.

Adena itu cantik, Ray bahkan selalu memujinya apalagi ketika cewek itu tersenyum. Wajah yang selalu nampak datar tanpa ekpresi itu akan semakin menarik ketika sebuah lengkungan tercipta pada wajahnya, namun Zeline memiliki sisi yang tak dimiliki Adena. Rasa nyaman, mungkin itu. Adena tipe cewek yang dewasa disamping bagaimana masa lalu miliknya menempa cewek itu untuk menjadi setangguh sekarang. Namun, Adena terkesan egois dan tidak mementingkan orang lain. Semacam, hidup untuk dirinya sendiri.

Sementara Zeline, cewek itu sangatlah baik dan anggun. Senyuman manis yang membuat siapapun salah paham, suara lembut yang menyambut gendang telinga dan membuat jantung berdetak tak karuan. Manik hitam yang membuat siapapun tenggelam ketika menatapnya, pun melengkung indah ketika tertawa dan itu sangatlah menggemaskan. Zeline menghadirkan surga yang selama ini Ray impikan, perasaan di mana dia menemukan sosok yang harus dijaga setengah mati. Sedangkan Adena, cewek itu menghidangkan surga dunia yang membuat siapapun tergiur. Tanpa terkecuali.

Ray ingat kilas balik ketika Adena tertegun dengan wajah datarnya sewaktu terbangun di pagi hari tanpa pakaian dengan selimut membalut tubuh, menatap kaku ke arah dirinya yang baru saja mandi di kamar hotel pagi itu. Pagi setelah malam panas yang merenggut semua hal yang Adena miliki, mengikat tanpa benar-benar terikat, membuat mereka menjalani hubungan membingungkan berkedok sahabat yang membuat siapapun akan terbahak mendengarnya.

"A-apa yang terjadi?" tanya cewek itu bingung, pun jemarinya semakin mengeratkan pegangan pada selimut ketika Ray melangkah kaku mendekatinya.

"Gue bisa jelasin, Na. G-gue... semalam... lo, gue, sama-sama nggak sadar dan...."

Bohong, cowok dalam diri Ray berteriak lantang sementara ada sisi lain darinya yang mencoba mempertahankan harga diri untuk tidak mengakui dengan jujur apa yang sebenarnya terjadi. Ray semalam tidak mabuk, dua kaleng bir bukan hal mudah untuk membuatnya sampai tidak sadar sedang melakukan apa. Hanya Adena yang mabuk, tidak sadar sampai-sampai berakhir tanpa pakaian di bawah kukungan Ray. Harusnya Adena sadar kalau datang dan meminta bantuan dengan Ray setelah dipukuli Ayah bukanlah pilihan baik, apalagi kalau sudah sampai menenggak habis minuman beralkohol walaupun hanya sedikit itu.

Cowok itu terdiam saat melihat air mata Adena sudah jatuh, meski wajahnya masih terlihat datar dengan belah bibir yang terkatup begitu rapat. Merutuki dirinya sendiri, Ray semakin mendekat dan berlutut di dekat ranjang sembari menggenggam tangan Adena yang gemetar. Menggigit bibir bawah, Ray tak bisa menyembunyikan perasaan kacaunya serta bingung harus melakukan apa terhadap Adena yang sudah menangis begini. Adena itu jarang menangis, bahkan tadi malam saja dia tidak menangis ketika bercerita bagaimana Ayah yang memukulinya. Tapi sekarang, Adena terlihat benar-benar hancur dan itu karena dia.

"Maaf, Na. Gue... maafin gue," Ray bahkan tidak tahu kenapa suaranya sudah terdengar rendah begini, memilih menundukkan untuk mengalihkan pandangannya dari manik karamel yang sudah basah dan merah milik Adena.

"Kita ini apa, Ray?"

Ray sejenak tertegun mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Adena, suara bergetar dengan tatapan sendu itu sukses membuat hatinya tertusuk berulang kali dan rasanya semakin sesak. "Lo sahabat gue, Na. Sahabat paling berarti buat gue," meski sadar kalau yang dia lakukan salah, tapi Ray masih sempat mengatakan suatu hal jujur kepada Adena.

"Sahabat?"

Ray mengangguk, lantas bangkit dan duduk di tepi ranjang sebelum akhirnya menarik lembut tubuh Adena untuk dia peluk. "Sahabat yang selalu ada buat lo,"

"Tapi sahabat nggak ngelakuin apa yang kita lakuin, Ray. Ini salah,"

Cowok melepaskan pelukannya, meletakkan tangannya ke atas bahu Adena dengan bibir yang sudah melengkung manis. "Bukannya kita beda, Na?"

Ya, begitulah seharusnya. Sahabat yang melewati batasan, sahabat yang saling mendekap tanpa pakaian dan mendesah dengan pusat tubuh yang menyatu. Diam-diam Ray tersenyum dengan ide yang muncul tiba-tiba di kepalanya, terkadang dia bangga dengan dirinya sendiri yang mampu menemukan ide cemerlang pada keadaan darurat seperti sekarang. Tersenyum, berharap Adena mengerti maksud dari kalimat yang baru saja dia katakan. Raut wajah Adena masih belum berubah, tapi tidak ada lagi air mata yang mengalir dari kedua kelopak matanya.

"Dari awal kita emang beda," kata cowok itu lagi, lantas kembali memeluk tubuh Adena. "Datang ke gue kalau lo butuh bantuan, ingat sama kalimat itu 'kan, Na?"

Dan Adena hanya bisa diam, bingung harus memberikan reaksi seperti apa. Tersenyum karena bahagia, atau malah menangis karena pada akhirnya dia tak lebih dari boneka seks berkedok sahabat. Terkekeh miris di dalam hati, Adena memejamkan kedua matanya sambil menghirup aroma Ray yang begitu menenangkan. Dari awal memang sudah salah, lalu apa yang harus dibenarkan di sini? Posisi Adena tak lebih dari itu, ingin berontak untuk melepaskan tapi dia tidak punya tempat tujuan untuk mengadu ketika jatuh. Jadi, dia membiarkan saja semuanya meski berakhir terluka.

"Ray, kamu denger aku nanya apa?"

Ray yang sejak tadi bengong kini tersentak saat jentikan jari terdengar menggema, Zeline di depannya mulai terlihat kesal sementara seorang pelayan masih menunggu dengan raut wajah yang tak kalah kesal. "A-apa?" dan Ray makin mencurigakan setelah tadi bengong dan sekarang malah tergagap.

"Satu strawberry cake sama dua ice americano,"

Setelah mengatakan pesanan kepada pelayan tadi, Zeline langsung menatap pacarnya dengan tatapan kesal. Keningnya berkerut dengan alis menukik, memutar bola mata lantas mendengus dan beralih menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan kedua tangan yang sudah terlipat di depan dada. Tatapannya begitu mengintimidasi, membuat kegugupan Ray semakin terlihat jelas.

"Nggak mau cerita?" tawarnya setelah menghembuskan napas guna menetralkan amarah yang hampir meledak.

Ray cuma menggeleng sambil terkekeh pelan, mengibaskan tangannya di depan dada sebelum menjawab. "Forget it,"

"So, you must forget about Adena too. Dia baru absen satu hari udah kamu cariin segitunya, gimana kalau dia beneran hilang? Kamu bakalan ikut ngilang juga? Iya?"

Ray tahu kalau Zeline kesal, tapi yang mencari masalah dan keributan lebih dulu adalah Zeline. Bagaimana bisa cewek itu sejak tadi menyebut nama itu terus? Ray mulai kesal, keegoisannya semakin menjadi-jadi dan cowok itu hanya bisa mendengus.

"Kamu nyari ribut terus, Ze. Aku capek, lagi nggak mau debat,"

Zeline terkekeh, pun akhirnya bisa mencebik. "Apa? Aku yang nyari ribut duluan? Egois banget," menjeda guna menjilat bibir yang mendadak kering, Zeline lantas melanjutkan. "Kalau kamu nggak bersikap begini sejak tadi, aku nggak bakal nyebut nama dia dan bikin kita berdua ribut."

"Harusnya kamu paham, Ray. Kamu udah janji buat lupain dia, tapi yang terjadi malah kebalikannya. Aku capek, kita putus aja!"

Sementara Zeline sudah berdiri dan menghilang di antara pejalan lainnya, Ray masih tertegun di tempatnya dengan kedua bola mata melebar sempurna. Dia saja bingung kenapa bisa terjadi seperti ini, rasanya terlalu cepat waktu berlalu meninggalkannya dengan perasaan kacau dan bingung serta linglung. Pesanan sudah sampai, tapi Ray masih saja diam sebelum akhirnya berdiri ketika menyadari bahwa apa yang selama ini dia coba jaga sudah menghilang di depan mata.

Nggak, nggak boleh. Ini nggak boleh terjadi.

To Be Continued

AbsquatulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang