Let Go

2.3K 168 8
                                    

Which ending you want to; Happy or Sad.

~•~

Perihal perasaannya sendiri, Adena masih begitu bingung akan hatinya sendiri. Ketika mulut dengan gampangnya berucap, lantas beberapa detik berikutnya malah menyesal sambil merutuk. Kalau disuruh memilih, Adena juga terlalu bingung untuk tetap memfokuskan satu hal. Terkadang bingung dengan apa yang sedang dia lakukan, lalu tak lama setelah itu malah merasa senang dan berpikir kalau yang dia lakukan adalah suatu hal yang benar. Selalu begitu, persis seperti saat ini. Pagi yang harusnya di awali dengan menyebalkan seperti biasanya, malah terkesan kelewat indah sampai-sampai membuat Adena tenggelam terlalu dalam pada kubangan dosa ternikmat yang disajikan setan-setan licik dari neraka.

Beberapa jam yang lalu dia menangis karna teringat akan satu cowok yang membuatnya sesak, lalu lelaki ini datang sambil menawarkan surga dunia yang tak ada satupun orang di dunia ini yang akan menolaknya. Lantas terbaring lemah di atas ranjang, di bawah selimut yang sama tanpa sehelai benang pun membalut tubuh. Persis seperti bayi yang baru lahir, yang membedakan hanyalah mereka yang sudah berlumur dosa sementara bayi adalah makhluk paling suci di dunia. Begitulah. Konyol sekali.

Raka memejamkan matanya menikmati belaian dari jemari Adena pada permukaan wajahnya, begitu lembut sampai-sampai membawanya tenggelam pada kedamaian yang telah lama hilang dari hidupnya. Adena tersenyum manis, diam-diam mengagumi bagaimana sosok lelaki yang tengah berbaring memeluk tubuhnya ini terlihat begitu indah. Wajahnya terpahat sempurna seolah Tuhan sedang dalam mood paling baik ketika menciptakannya, dengan bibir merah basah sedikit bengkak dan bulu mata panjang yang lentik serta hidung bangir dan rahang tegas.

Kenapa ya, orang-orang yang sudah pasti tidak memprioritaskan dirinya malah datang meminta segelintir kebahagiaan darinya? Adena terkesan seperti cewek murahan yang gampang sekali di bawa naik ke atas ranjang, membuka kaki setelah tubuh terlepas dari pakaian dan mendesah keras sampai menemukan puncak kenikmatan itu bersama. Sedikit bangga, walau lebih banyak merasa sedih dan kecewa pada dirinya sendiri.

"Boleh aku minta sesuatu?" Adena memberanikan diri untuk bertanya, lebih tepatnya memohon dengan jemari yang masih sibuk membelai wajah sang adam yang kini sudah membuka matanya sambil tersenyum.

Satu kecupan lelaki itu berikan, dengan tangan yang memeluk semakin erat tubuh milik Adena. "Kamu mau apa dari saya? Barang branded? Jalan-jalan keluar negeri?"

Kedengarannya menarik, tapi Adena tidak tertarik dengan hal semacam itu. Sayangnya dia bukan tipe cewek gila materi yang rela mengangkang di atas ranjang hanya untuk mendapatkan hal itu, meski terkesan sama tapi Adena tidak menginginkan semua hal itu. Dia, tidak terobsesi. Ketika perasaan hancur, dengan sekejap sudah mengubah arah hidupnya dan pandangannya terhadap dunia. Semesta menghadirkan Raka, mengungkung cewek itu untuk melakukan hubungan saling menguntungkan dan Adena meyakini hal itu.

"Nggak mau semuanya,"

Kening berkerut sambil mengerling, Raka kembali membubuhkan satu kecupan pada pucuk bibir Adena. "So? What do you want?"

Adena terlihat tersenyum, telapak tangannya sudah menangkup kedua pipi Raka sebelum akhirnya mengatakan hal paling gila dari apa yang pernah dia pikirkan sebelumnya. "Bisa kamu kasih pelajaran buat Ayah?"

"Sebenci itu kamu sama Ayah kamu, hmm?"

Adena mengangguk antusias, "Iya, tentu saja! Aku benci dia sampai-sampai tiap hari berpikir bagaimana caranya membunuh lelaki itu tanpa ketahuan orang lain,"

Menarik, pikir Raka. Terkekeh gemas, lelaki itupun mengangguk sebelum memeluk lebih erat tubuh milik Adena. Sementara cewek itu kini sedang membayangkan bagaimana bahagianya dia ketika melihat sang Ayah tersungkur tak berdaya, wajah lebam dan meminta ampunan berulang kali. Persis, seperti dia ketika Ayah sedang kehilangan kewarasannya.

~•~

Ray nampak bengong sepanjang hari, pelajaran yang baru saja dosen-dosen berikan bahkan tidak ada satupun yang dia tangkap untuk dimasukkan ke dalam memori di otak. Satu nama yang menjadi biangnya, tidak lain dan tidak bukan adalah Adena. Cewek itu tidak hadir di kelas, absen. Di telpon tidak menjawab, dikirim pesan tidak membalas. Ray kenal persis bagaimana Adena yang begitu terobsesi dengan pelajaran, tidak pernah absen seharipun bahkan ketika dia sakit. Tapi sekarang, yang terjadi malah kebalikannya.

Tidak mungkin kalau Adena menghindari dirinya, tidak mungkin cewek itu seniat sekarang hanya karna kejadian tadi pagi. Ya, okey. Ray akui dia akan tetap berada di kehidupan Adena, menjadi teman yang menjaga setidaknya. Tapi tidak begini juga, Ray jadinya bingung dan khawatir setengah mati ketika sadar kalau cewek itu benar-benar lenyap tanpa jejak.

Ketika sadar mata kuliah hari ini sudah habis, Ray buru-buru beranjak dari kelas untuk pergi pulang. Dia khawatir setengah mati dengan Adena, tidak mau temannya itu kenapa-napa. Setidaknya, melihat cewek itu lewat jendela saja sudah cukup. Dia hanya ingin memastikan kalau Adena baik-baik saja, memastikan kalau cewek itu tidak melakukan hal buruk diluar akal sehat. Tidak, Adena bukan orang seperti itu. Ray berani jamin.

Saat sudah sampai di pelataran parkir, cowok itu tersentak saat mendengar namanya dipanggil. Suara yang tak asing datang dari belakang, perlahan mendekat ketika langkahnya sudah terhenti. Berbalik dengan raut wajah yang dibuat-buat, berharap Zeline tidak melihat kekacauan yang sempat terpancar pada wajahnya. Tersenyum lantas melambai, Zeline kini berjalan girang mendekati sang pacar yang keliatan buru-buru. Entah mau kemana, Zeline sendiri penasaran.

"Mau pulang?" tanya cewek itu.

Mengangguk kikuk, Zeline lantas menjawab. "Ada urusan bentar,"

"Urusan apa?" Zeline terlihat tidak senang, kedua tangannya terlipat di depan dada dengan pandangan mengintimidasi. "Jangan bilang kalau kamu mau ketemu si jalang itu,"

Kasar Ze, Ray saja kaget dengan perkataan cewek itu barusan. Sejak kapan Zeline jadi sekasar ini? Apa semua cewek begitu pada orang-orang yang mereka benci? Raut wajah cowok itu langsung berubah, rahangnya terlihat mengeras dengan tangan mengepal di kedua sisi tubuh dan diam-diam mendengus menahan amarah yang sudah hampir meledak.

"Jangan panggil dia jalang, Ze. Namanya Adena,"

Adena mendecih, lalu tertawa sinis. "Oh? Apa aku lagi ngeliat seseorang yang belain jalangnya?" mengibaskan tangan di depan wajah, cewek itu lantas mengapit lengan Ray. "Ayo nonton, udah lama kita nggak jalan berdua. Hari ini aku traktir,"

Menghela napas, Ray mencoba melepaskan tangannya dari Zeline dan berujar lembut. "Aku beneran ada urusan, Ze. Jangan hari ini, ya?"

Alih-alih mengangguk mengiyakan dan seolah menjadi pacar pengertian, Zeline malah menggeleng dengan raut wajah terlihat kesal. Bibirnya mengerucut, sudah siap mengeluarkan jurusan andalannya; merajuk dan menangis.

"Aku mau egois dulu, aku nggak mau jadi cewek pengertian yang ujung-ujungnya malah diboongin lagi kayak dulu." meraih jemari Ray untuk dibawa saling bertautan dengan jemarinya, Adena tersenyum mencoba menyembunyikan perasaan sakit yang lagi-lagi datang ketika ingatannya kembali memutar kilas balik bagaimana Ray sering membohonginya dulu. "Ayo! Hari ini aku yang traktir, ada film yang udah lama aku tunggu baru aja tayang."

Dan Ray mencoba untuk tidak mengamuk, merasa sedikit konyol saat dia tiba-tiba menurut saja ketika Zeline mengatakan sesuatu yang membuatnya merasa bersalah. Tetap, selalu begitu. Sekhawatir apapun dia pada Adena, Zeline tetap menjadi prioritasnya. Apa saatnya dia untuk menerima keputusan Adena dan benar-benar menjauh? Entahlah, dia saja dilema.

To Be Continued

AbsquatulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang