"Hey, I want my best friend back because I'm in love with her."
-Dylan (Justin Timberlake)~•~
Entah kenapa pertengahan tahun yang seharusnya disambut dengan panasnya matahari, dengan cuaca cerah yang membuat mulut memaki karena suhu yang kelewat tinggi malah kebalikannya. Matahari yang biasanya selalu terlihat gagah di singgasananya, kini selalu tertutupi oleh awan kelabu sepanjang hari. Rembulan maupun bintang-bintang kecil tak lagi terlihat malam hari, yang ada hanyalah langit hitam yang mengerikan menggantung di atas bumi tempat manusia hidup saat ini. Langit biru yang membiaskan cahayanya pada lautan tak lagi terlihat, membuat lautan ikut terlihat sendu di sana.
Melangkahkan kaki dengan wajah pedih sehabis di obati oleh salep, cewek itu menundukkan kepalanya. Memperhatikan langkah kaki yang entah membawanya kemana, mengabaikan bagaimana rintik-rintik hujan mulai membasahi tubuh. Cuaca memang mendukung untuk memesan minuman hangat, semacam kopi ataupun coklat panas. Tapi opsi di mana coklat panas berakhir disiram tepat ke wajah orang lain bukanlah opsi menyenangkan, malah terkesan lucu sampai-sampai tidak bisa tertawa sangking lucunya.
Tak ada yang begitu perduli padanya, hanya beberapa orang yang melihat untuk sekadar mempersiapkan bahan gunjingan atau bahkan gosip saat berkumpul dengan teman-teman. Meski begitu, ada sedikit perasaan membahagiakan yang hadir di hati Adena saat orang-orang menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kelakuan Zeline. Si sempurna yang serba bisa, ternyata masih sebocah dan memiliki temperamental yang seburuk itu. Lucu sekali. Diam-diam di balik ringisan, Adena tertawa dengan bibur menyunggingkan decihan meremehkan.
Hanya saja, kenyataan kembali menampar cewek itu saat dia dan Zeline berada di ruang kedisiplinan. Duduk berhadapan dengan salah satu dosen yang terkenal garang, bahkan tak ada segaris pun senyum yang hadir guna menyambut untuk sekedar basa-basi pada dua pemeran utama kejadian konyol di cafe kampus. Yang beliau perlihatkan hanyalah wajah menyeramkan, tangan terlipat di depan dada dengan bibir melengkung ke bawah.
"Saya tidak mau basa-basi," katanya sambil menyodorkan secarik kertas dengan sebuah pulpen ke depan mereka. "Kalian mendapatkan masing-masing sepuluh poin penalti dan tanda tangani kertas perjanjian ini lalu cepat-cepat pergi. Memalukan sekali, sudah sebesar ini masih saja bertengkar karena laki-laki."
Bukankah seharusnya mendengarkan dulu penjelasan mereka? Adena hanya diam sambil memperhatikan lekat-lekat wajah sang dosen, sementara Zeline sudah hampir menangis lagi dengan tangan bergetar menggerakkan pulpen dan membubuhkan tanda tangan. Setelah Zeline, giliran cewek itu. Baru saja mau keluar dari ruangan, namanya kembali terdengar mengudara di ruangan. Berbalik dengan perasaan kacau, Adena tersentak saat sang dosen memberikan peringatan yang membuat dadanya terasa begitu sesak.
"Kalau tidak punya apa-apa itu jangan banyak ulah, beruntung kamu yang disiram dan bukannya Zeline. Jadi kamu masih punya kesempatan untuk menghirup udara segar, tanpa menambah masalah tentu saja."
Bukankah hidup itu adil? Konyol sekali saat orang-orang mengangguk mengatakan iya dan membenarkan pertanyaan itu, sementara yang terjadi sebenarnya malah kebalikannya. Hidup itu tidak adil, yang mana orang-orang berkuasa akan tetap menginjak mereka yang berada di kelas bawah. Piramida kehidupan. Sayangnya kehidupan semakin maju, mengubur semua orang-orang yang memang terlahir baik di dasar jurang ketidakadilan. Miris, tapi begitulah adanya.
Kedua tangan cewek itu terkepal di kedua sisi tubuh, mencoba berulang kali membuang semua rasa sakit yang dia rasakan. Apa memperjuangkan suatu harapan harus sesakit ini? Adena juga ingin bahagia, ingin menemukan sesuatu yang orang lain sebut belahan jiwa. Namun dia terlanjur terkurung bersama Ray, bukan hanya karena cowok itu adalah pertama dan segalanya namun karena hati serta pikiran cewek itu sudah terisi penuh oleh namanya. Kalau sudah begitu, dia saja tidak tahu bagaimana caranya untuk berhenti. Sekedar istirahat, berbalik badan dan bernapas dengan lega.
Memori ketika dia melihat Ray memeluk Zeline di cafe, pun saat dia menemukan dua sejoli itu sedang saling memagut bibir dengan mesra di koridor kampus yang sepi ketika dia baru saja keluar dari ruang kedisiplinan. Ada begitu banyak alasan untuknya pergi, namun dia hanya punya satu alasan untuk bertahan dan itu bodoh. Menjadi waras itu sulit, apalagi ketika dia sudah menjadi sebuta sekarang. Hanya karena dia berharap Ray berubah pikiran dan berbalik arah, cewek itu menahan semua perasaan sakitnya.
Ray ada saat Ibu pergi, Ray ada saat Ayah memukulinya. Cowok itu, menjadi orang pertama yang datang saat dia benar-benar membutuhkan bahkan tanpa dia minta sebelum cewek itu datang dan mengubah segalanya. Ray mencintai Zeline, tatapannya kentara sekali memancarkan perasaan kagum luar biasa sementara cowok itu selalu menatapnya dengan tatapan menyedihkan. Saat dia terjatuh, Ray lebih dulu mengulurkan tangannya. Mengesampingkan Zeline untuk beberapa saat dan bersama dengannya meski dalam waktu yang cukup singkat.
Tapi kenapa ya, Ray hari ini berubah? Apa ini waktunya untuk dia pergi? Tapi bagaimana caranya, Adena tidak tahu jalan untuk pergi. Terjebak pada piramid perasaan yang dia ciptakan sendiri, kesepian dengan tatapan kosong. Rasanya sakit, tapi dia menikmatinya.
Hujan semakin deras, pun akhirnya dia berlari kecil menuju minimarket di ujung jalan. Berteduh sebentar di teras minimarket, menoleh ke dalam untuk memastikan bahwa minimarket sedang dalam keadaan sepi dan benar. Di jam sekarang, orang-orang memang sudah ada di rumah, menghabiskan waktu mereka di balik selimut tebal apalagi dengan cuaca buruk seperti sekarang. Adena melirik pada pergelangan tangan, pukul delapan malam dan dia masih di luaran terjebak hujan. Menghela napas, cewek itupun masuk ke dalam minimarket.
Langkahnya pelan, menapaki keramik putih dengan lagu yang terputar lewat speaker yang ada di langit-langit ruangan. Sal Priadi, dengan lagunya Jangan Bertengkar Lagi. Perlahan tubuhnya sudah berada di rak-rak mie instan, berpikir sejenak untuk menimbang apakah dia harus membeli mie cup instan atau tidak. Dan cewek itu memutuskan untuk membelinya, karena ya, sejak kemarin malam dia belum mengisi perutnya dengan apapun. Hanya beberapa tegukan kopi dan itu bukan kabar baik untuk lambungnya.
Saat sampai di kasir, ada seorang wanita dengan laki-laki pun seorang bocah laki-laki. Bocah itu memegang banyak sekali makanan, dengan satu keranjang berisi bahan makanan. Mungkin keluarga kecil ini sedang berbelanja bulanan, pikir Adena. Pun bibirnya melengkung saat mendengar bocah itu berbicara, terlihat sangat cerewet dan tidak sabaran sampai sang Ibu sedikit meninggikan suaranya.
"Mau kerupuk Ibu, Adek mau kerupuk!"
"Ya, ampun Adek! Bentar! Ini mbak kasirnya lagi masukin ke kantong belanjaan,"
Tubuh cewek itu membeku saat mendengar suara itu, rasanya tidak familiar tapi dia tidak terlalu yakin. Memilih untuk diam dengan cup mie instan yang dia remat kuat, begitupun bibir bawahnya yang juga jadi korban. Cewek itu memundurkan langkahnya saat keluarga kecil tadi berbalik, tawa menggema dari si bocah pun senyum lebar dari si lelaki. Sementara Adena terdiam membeku, dengan mata menatap lekat pada wajah yang tak asing baginya.
"Ibu?" panggilnya lirih, terdengar tak yakin dengan wanita tadi yang juga tak kalah kaget dengan dirinya.
Wajah lelaki tadi langsung berubah, keningnya berkerut dengan mata menatap bergantian pada sang istri dan cewek asing di depannya. Tapi wanita itu buru-buru keluar dari minimarket, menarik tubuh sang suami dan anaknya. Adena berlari, mengejar dengan air mata yang berlinang. Kasir yang tadi melihat juga kebingungan, apalagi dengan satu cup mie instan yang sudah terjatuh ke lantai. Suara Adena menggema, memanggil nama sang wanita tapi tetap saja tak diperdulikan apalagi ketika mereka sudah melesat pergi dengan mobilnya.
"Ibu... Nana kangen."
To Be Continued
Aku ngerasa jahat banget sama Adena 😣
KAMU SEDANG MEMBACA
Absquatulate
General Fiction[M] Ketika pupus, kita tidak tahu pelukan siapa yang paling tulus. Ketika sedih, kita juga tidak tahu bahu siapa yang paling pantas untuk kita sandari. Senyuman palsu, bahkan terlihat begitu manis. Menarik diri untuk tenggelam dalam surga dunia, mel...