"Every place can be a bit lonely sometimes."
-Jamie (Mila Kunis)~•~
Apa yang diharapkan, ketika bahkan raga tak pernah ada barang sedetik saja merengkuh tubuh dan tenggelam dalam hangatnya ranjang untuk beberapa jam? Memejamkan mata, berbincang panjang lebar perihal masa depan apa yang diingkan. Sebab kenyataannya, ketakutan yang perlahan melahap habis sumbu bom dan sewaktu-waktu siap meledak guna menghancurkan semua hal yang menjadi angan. Rasanya pagi ini akan dihadapi dengan sebuah ketidaknyamanan, lagi. Entah yang keberapa kalinya, sebab Adena enggan untuk menghitung.
Berjalan gontai dengan kepala yang seperti mau meledak, sebab kelewat sakit dan juga pening. Maunya berbaring di atas ranjang, bermesraan dengan guling lalu kembali tenggelam pada mimpi indah yang merangkak menjadi harapan konyol tentang masa depan. Untungnya Ayah tak pulang, seingat Adena, lelaki gila setengah tak punya hati itu sudah tidak pulang selama tiga hari semenjak dia pulang dalam keadaan mabuk dan menghantam tubuh cewek itu dengan tendangan yang begitu kuat dan menyakitkan. Bukan hanya fisik, tapu juga batin.
Menggeleng untuk sekedar menjaga keseimbangan, cewek itu lantas duduk di bangku bis dan menyandarkan kepalanya di jendela. Matanya begitu berat, rasa-rasanya ingin terpejam terus tapi dia tidak mungkin untuk merengek meminta izin sebab hari ini ada presentasi penting yang jika tidak dihadiri maka berimbas pada nilai lalu beasiswanya. Dia tidak mau jadi gelandangan, apalagi harus sampai menjadi jalang guna menghidupi tubuh ringkihnya. Harapannya begitu besar, setidaknya di semester empat seperti sekarang.
Menghela napas berat yang terasa hangat, Adena menopang dagunya dengan tangan kiri sementara tangan kanan mencoba untuk menulis materi yang tengah teman sekelasnya presentasikan di depan sana. Padahal dia sudah minum obat sebelum berangkat tadi, obat flu sebab tadi malam malah membiarkan tubuh terguyur air hujan yang begitu dingin. Tiba ketika giliran kelompoknya yang maju, tepat saat Adena sedang membacakan materi, kepalanya kembali dirundung nyeri yang luar biasa. Mendesis pelan, kembali mencoba fokus meski berakhir dengan tubuh stagnan. Matahari di luaran sana seolah tepat di depan mata, menghadirkan afeksi luar biasa terang sebelum akhirnya yang terakhir kali dia lihat adalah kegelapan.
~•~
Seharusnya Ray tahu bahwa semalam, ketika dia menemukan Adena di pinggir jalan dengan hujan yang kembali datang, dia memberhentikan laju mobilnya. Mungkin sekedar basa-basi pada Zeline, mengatakan bahwa dia ingin memberikan tumpangan pada sahabatnya itu. Tapi entah apa yang merasuki diri cowok itu, sampai dia jadi begitu tega meninggalkan dengan pikiran takut-takut kalau Zeline mengetahui sesuatu tentang mereka. Mendadak Ray jadi begitu serakah. Egois. Menjijikkan dan menyebalkan.
Dan sekarang, hal paling mengejutkan ada di depan matanya. Sejak tadi pagi Ray memang merasa aneh dengan cewek itu, apalagi ketika melihat wajah murung dengan bibir pucat pasi dan tubuh yang terduduk lemas di atas bangku favoritnya di kelas. Mereka memang satu kelas, satu jurusan tentu saja yang sangat memudahkan mereka untuk bertemu. Meski ya, sangat sedikit momen interaksi yang mereka perlihatkan hanya untuk menjaga jarak agar orang-orang tidak mengetahui seberapa dekatnya mereka.
Tapi tadi, semuanya benar-benar hancur. Tatapan bingung, jijik dan bisik-bisik dari orang di kelas menjadi masalah baru yang datang tanpa permisi. Hanya saja Ray mencoba untuk tuli, mencoba untuk buta dan memfokuskan diri untuk menggendong cewek itu sampai ke pelataran parkir kelas fakultas mereka. Setidaknya, ada pulahan pasang mata yang menatap ke arahnya. Wajah penuh keringat, mata bergetar memerah, bibir terkatup dan telinga yang mengabaikan pekikan orang-orang untuk membawa Adena menuju Unit Kesehatan Kampus.
Ray tahu kalau dirinya berlebihan, entah datang dari mana kekhawatiran itu sampai membuatnya melajukan mobilnya sampai ke rumah sakit. Berteriak histeris guna meminta bantuan, sampai membuat heboh dan akhirnya menarik napas lega saat dokter mengatakan bahwa Adena hanya terserang demam dan juga flu. Sugaran pada rambut serta tarikan napas, menjadi awal kelegaan yang hadir bersama sebuah senyuman manis pada wajah cowok itu.
"Hai, udah bangun?" tanya cowok itu ketika Adena terlihat perlahan membuka matanya.
Cewek itu mengedarkan pandangan, sedikit kesulitan membiasakan dengan sinar yang kelewat terang. Kepalanya masih terasa sangat sakit, bau yang paling dia benci tercium begitu jelas. Pun ketika tubuhnya mencoba untuk bangkit dari ranjang, satu ringisan terdengar sebelum akhirnya terdiam menatap ke arah Ray yang ada di sisi ranjangnya dengan wajah khawatir yang terlihat begitu kentara.
"Mau pulang," menghiraukan bagaimana raut wajah itu terlihat kesal, atau bahkan pertanyaan basa-basi yang baru saja Ray lontarkan, cewek itu malah berujar kelewat dingin.
Satu helaan napas Ray lakukan, mengabaikan dan berakhir mengambil obat serta air putih di atas nakas. "Minum ini dulu, baru kita pulang."
Ray tahu betul bagaimana cewek ini tidak suka minum obat, paling benci dengan rasa dan baunya yang menyengat serta tak enak. Yang kemudian diperlihatkan dengan jelas oleh gestur cemberut dan tatapan menyalak tajam, menolehkan wajah kesamping guna memperlihatkan pemberontakan. Adena hanya bisa pasrah ketika Ray mengancam dengan nada suara begitu dingin. "Minum atau gue tinggal?"
Well, nyatanya Adena selemah itu.
~•~
Terhitung sudah sejam hujan kembali mengguyur kota metropolitan ini, menghadirkan decak sebal dari pejalan kaki yang terpaksa singgah di pelataran toko atau mungkin berdesakan di halte bis. Sementara dua orang itu masih terjebak dengan hening yang membuat dada terasa sesak dan leher tercekik. Cahaya yang disebabkan oleh kilat di atas sana bahkan tak membuat gentar sih cewek, bahkan sekedar memekik seperti cewek kebanyakan yang merasa takut. Bibirnya seolah terekat begitu erat dengan lem super, yang benar-benar membuat Ray frustasi.
Cewek itu hanya menyandarkan kepalanya pada jendela mobil, ingin tidur tapi entah kenapa matanya terus saja terbuka untuk memperhatikan hujan yang turun membasahi mobil. Padahal Ray ingat bahwa dokter mengatakan kalau obat yang cewek itu minum menyebabkan kantuk, tapi kenyataannya tidak. Suara berisik dari kantong belanjaan bahkan terdengar begitu menyebalkan, sementara cewek ini masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri. Sungguh, Ray tidak meminta balas budi atau semacamnya. Tapi setidaknya, dia ingin mendengar cewek ini mengatakan terima kasih atau basa-basi semacamnya. Sial!
Ketika roda empat itu berhenti di depan pagar besi berkarat milik keluarga Adena--yang sudah persis seperti rumah tua tak berpenghuni, yang bahkan sering jadi bahan ibu-ibu komplek untuk menakuti anaknya--cewek itu buru-buru melepas seat belt, hampir melangkah keluar tapi stagnan ketika lengannya di sentak oleh Ray. Cewek itu menoleh dengan wajah kecut, mata menyalak dan bibir terkatup rapat. Pemberontakan tak langsung dari gestur wajah, tentu saja.
"Tunggu di sini, gue antar. Gue gak mau lo pingsan lagi,"
Perkataan sarkas memang, tapi entah kenapa hal sepele seperti itu membuat Adena jadi tak karuan begini. Kehangatan itu kembali menggerayangi relung hati ketika mata menemukan Ray di depan wajah dengan payung yang siap menghalangi tubuhnya dari sentuhan air hujan, pun kedua pipi yang bersemu saat melihat dan merasakan telapak tangan itu menyentuh lengannya. Melangkah beringin, lantas membuka pintu rumah dengan kunci yang ada di tas. Beruntung ada teman sekelas mereka yang membawakan tas Adena ketika cowok itu kelimpungan membawa tubuh Adena menuju mobil, kalau tidak maka Adena sudah siap meringkuk kedinginan di teras rumah sampai esok pagi.
Ketika pintu terbuka, hanya gelap yang terlihat. Ray menghela napas dalam-dalam, meringis pelan sebab merasakan dingin yang masuk sampai ke tulang. Adena yang mendengar itu mencoba abai, tidak mau merusak tembok pembatas antara dirinya dan Ray yang selama ini dia bangun susah payah. Hanya saja, ketika tubuh berbalik dan menemukan bagaimana wajah dengan bibir bergetar di bawah temaram lampu itu, telah mencubit sisi hati Adena dan meloloskan satu kalimat yang menjadi awal dari kehancuran baru untuk dirinya.
"Ayo masuk, temenin gue malam ini."
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Absquatulate
General Fiction[M] Ketika pupus, kita tidak tahu pelukan siapa yang paling tulus. Ketika sedih, kita juga tidak tahu bahu siapa yang paling pantas untuk kita sandari. Senyuman palsu, bahkan terlihat begitu manis. Menarik diri untuk tenggelam dalam surga dunia, mel...