"I don't have a type, it's more about what inside."
-Dylan (Justin Timberlake)~•~
Hujan baru saja reda, mungkin sekitar pukul lima pagi tadi. Meski begitu, masih tersisa rasa dingin yang menusuk. Pun memori menyakitkan tentang tadi malam, tangisan perih yang Adena perdengarkan pada udara kosong melompong di rumahnya yang sepi. Namun, Ayah tiba-tiba saja pulang. Lelaki itu tidak dalam keadaan mabuk, tapi entah kenapa terlihat marah dengan tubuh basahnya lalu membuka pintu kamar cewek itu kelewat keras. Matanya menyalak, lantas menarik rambut puterinya dan memaki banyak hal.
Lengkap sudah, benar-benar malam sempurna yang indah untuk seorang Adena. Ray yang pergi, bahkan tak berbalik untuk mengatakan kalimat terakhirnya pada cewek itu. Lalu, Ayah yang pulang lalu memaki dan memukuli tubuhnya. Ujung bibir yang membiru, rambut sebahunya yang di tarik, mata sebelah kanannya yang terlihat bengkak dan perut yang terasa begitu sakit sebab ditendang oleh lelaki berstatus Ayah kandung itu.
Adena hanya diam sampai pagi kembali datang, sementara Ayah sedang tertidur di kamarnya. Lelaki itu tidak pernah memperlakukannya lebih, hanya memberikan pukulan menyakitkan. Ya, mungkin lelaki itu sedang menunggu waktu yang tepat untuknya. Waktu untuk benar-benar menghancurkan anak gadisnya, sampai babak belur tak tersisa. Keningnya mendadak kembali didera rasa sakit, berusaha mengurut kepalanya tapi tetap saja terasa sakit.
Bangkit dari tempatnya berbaring semalaman, cewek itu lantas memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Wajah yang menyedihkan terpampang jelas, belum lagi cairan merah kental terlihat mengalir dari lubang hidungnya. Mendesis, sebelum akhirnya mengusap dengan ujung lengan baju yang dia pakai. Masa bodoh jika kotor, masa bodoh dengan cairan merah yang mengotori pipinya.
Hanya saja, kedua maniknya malah bersirobok dengan kedua manik milik cowok yang tadi malam meninggalkan jutaan luka pada hatinya. Ray, berdiri di depan jendela kamar cowok itu. Rumah mereka bersebelahan, tetangga menyebalkan yang selalu menjahilinya dengan berteriak memanggil nama cewek itu ketika malam datang hanya untuk mengatakan hal-hal konyol seperti dia yang pernah melihat ufo di tengah malam. Buru-buru Adena mengalihkan pandangannya, menarik gorden yang terbuka hingga ruangan itu kembali gelap seperti tadi malam.
Buru-buru kakinya melangkah masuk ke dalam kamar mandi, cewek itu membasuh wajahnya dengan air. Meringis pelan saat merasakan perih, lantas terdiam guna memperhatikan penampilannya yang terlihat begitu menyedihkan. Jemarinya bergerak meraba belah bibir yang terlihat pucat, kering dan pecah-pecah. Benda itu, kenapa tidak mau berteriak mengatakan semua rasa sakit? Kenapa dia terus saja setia terkatup seperti ada yang menguncinya erat?
Adena lantas tersentak ketika pintu rumahnya seperti ada yang mengetuk, terlalu keras sampai Ayah yang sedang tidur terbangun dan berteriak sebal.
"Anak sialan! Bukain itu pintunya!"
Anak sialan, ya? Jadi, Ayah sialan? Haha, cocok sekali. Adena bergumam dalam benaknya, sebelum melangkah menuju pintu utama. Seketika dia menyesal, berharap bahwa pintu itu tetap terkunci. Sebab ya, cowok yang tengah berdiri di sana adalah dia yang tak mau di lihat hari ini. Hatinya mendadak ngilu, begitu sesak dengan mata bergetar hebat. Jangan tatapan itu, jangan lagi. Tapi gagal, kekutaan Ray lebih besar ketimbang dirinya yang terlalu lemah.
"Gue tahu Ayah lo masih di rumah," katanya, lantas menerobos masuk tanpa menghiraukan Adena yang berdiri membeku di ambang pintu. "Dan gue yakin seratus persen kalau pintu bakal di buka, apalagi kalau digedor kuat-kuat begitu."
Terdengar meremehkan, seolah cowok itu berusaha mengatakan kalau Adena akan terkena masalah. Menghela napas, cewek itu mengeratkan cardigan merah muda yang membungkus tubuhnya. Mencoba untuk abai, kaki cewek itu berusaha melangkah menuju kamar meski gagal sebab Ray sudah menarik lengannya lebih dulu untuk di seret menuju sofa sementara cowok itu terdiam dengan satu kotak berwarna putih di tangan. Tanpa bicara, Ray langsung mengobati luka-luka memar yang terlihat di wajah cewek itu.
Hening kembali merajai suasana, tak ada konversasi sebab Ray maupun Adena tidak tahu apa yang harus dikatakan. Perasaan bimbang, hancur dan sakit itu menyatu bersama rasa bersalah yang kelewat menyedihkan. Kalau saja sejak awal apa yang mereka lakukan tidak terjadi, mungkin semuanya tidak akan seburuk sekarang. Adena bahkan tak meringis, atau mungkin merengek seperti cewek manja. Bibirnya bahkan terkatup rapat sejak tadi, matanya tak teralihkan dari wajah Ray yang entah kenapa terlihat semakin tampan hari ini.
Setelah semua memar itu diobati, Adena buru-buru bangkit tanpa mengucapkan apa-apa. Membiarkan Ray dengan setumpuk rasa kesal, lantas bangkit dan menarik lengan Adena hingga menubruk dadanya. Saling merasakan detak jantung, terdiam dengan kehangatan yang merambat sampai ke kedua pipi. Sebuah kesalahan terindah yang pernah dirasakan, awalnya berpikir inu surga tapi semuanya lebih tepat pada neraka dunia yang sudah disetting sedemikian rupa oleh setan-setan.
"Jangan diam," Ray tiba-tiba berkata lagi. "Nggak apa-apa maki gue, mukul atau apapun itu."
Lucu sekali melihat keadaan yang sekarang, padahal Adena ingat betul bagaimana tatapan tak perduli yang Ray perlihatkan tadi malam. Mencoba mendorong tubuh Ray meski gagal, cewek itu terkekeh sinting setelahnya.
"Apa sekarang kita sedang berperan sebagai protagonis bodoh yang mencoba memperjuangkan antagonis?" tanyanya.
Kening cowok itu mengerut, tentu saja merasa bingung. Pelukannya terlepas, tapi kedua tangannya beralih menangkup kedua pipi Adena. Kedua maniknya seperti sedang mencari arti dari tatapan tajam milik Adena, berusaha mati-matian menyelami kedua manik dengan pupil memerah itu.
"Kenapa? Lo sange?" tanyanya lagi.
"Na...."
"Okey, mau ke kamar apa di sofa? Atau meja makan? Ah, kayaknya di kamar mandi menantang. Mau? Gue gak apa-apa, walaupun gue lagi...."
"Nana!"
Adena tersentak saat Ray berteriak tepat di depan wajahnya, sedikit terhenyak sebelum terkekeh lagi. "Kenapa? Mau sekarang? Nggak mau basa-basi?"
Ray terdiam, kedua tangannya terjatuh dan mengepal di kedua sisi tubuh. Wajahnya memerah, gigi bergemelatuk dengan rahang yang tiba-tiba nampak mengeras. "Jangan pernah mikir kayak gini lagi, Ra! Lo bukan objek seks gue!"
Cewek itu melangkah mundur, sedikit menjauh dari Ray sembari menelenglan kepalanya. Kedua tangan cewek itu terlipat di depan dada, lantas kembali terkekeh dengan pertanyaan yang terdengar seperti meremehkan. "Oh, ya? Bukan objek seks? Terus apa? Mainan? Sex doll?"
"Adena stop! Lo itu berarti buat gue!"
"Berarti, ya? Oh, gue ngerti sekarang maksud dari berarti yang lo bilang." Adena menjentikkan jarinya, "seorang sahabat memanfaatkan keadaan, yang mana dia make sahabatnya yang lagi mabok dan dijadiin seks objek kalau dia lagi sange. Berarti banget, ya?"
Plak
Telapak tangan Ray mendarat pada pipi cewek itu, suara tamparan lantas menggema dengan rasa panas yang mulai menjalar. Sakit, perih dan memilukan. Apa mengatakan kebenaran akan mendapatkan hal seperti ini? Katanya, kalau jujur akan mendapatkan hal indah. Lalu ini? Okey, sepertinya jujur sudah masuk ke dalam bullshit dictionary. Adena masih diam dengan posisi tadi, sementara Ray terlihat kaget dengan apa yang baru saja dia lakukan. Melangkah buru-buru untuk memeluk, meski gagal sebab Adena langsung mendorong tubuh cowok itu dan mengatakan kalimat yang lagi-lagi menyayat hati.
"Lo marah karna gue jujur? Atau karna perkataan gue bener?" tanyanya. "Apa yang salah? Gue bener, 'kan?" meski bibirnya memperlihatkan sebuah kurva yang kelewat lebar, tapi matanya malah berkata lain. "Lo bilang gue berarti, lo bilang kita sahabat. Tapi kalau lo beneran jujur ngomong dua hal itu, lo nggak bakal ngerusak gue dan ngambil kesempatan. Lo bangsat, Ray."
Lalu cewek itu berbalik, sebelum menghilang di balik pintu kamar miliknya meninggalkan Ray dengan perasaan kacau.
To Be Continued
Hey guys, maaf kalau banyak kalimat kasar. Aku udah ngasih tag mature lho ya 😖😬
KAMU SEDANG MEMBACA
Absquatulate
General Fiction[M] Ketika pupus, kita tidak tahu pelukan siapa yang paling tulus. Ketika sedih, kita juga tidak tahu bahu siapa yang paling pantas untuk kita sandari. Senyuman palsu, bahkan terlihat begitu manis. Menarik diri untuk tenggelam dalam surga dunia, mel...