Empty Room

2.4K 156 5
                                    

In this room without you, in this room the time has stopped. The thoughts of you are wetting my pillow.

~•~

"Pindah kuliah, gih. Kalau perlu, menghilang aja sekalian. Gue nggak mau liat lo ada di sekitar Ray lagi,"

Untuk pertama kalinya, Adena melihat bagaimana tatapan tajam dengan kalimat menjijikkan yang keluar dari mulut yang terkenal lemah lembut itu. Definisi cewek bermuka dua yang sebenarnya, kini ada di depan mata dan membuat muak. Semua orang punya dua sisi yang sama--baik dan jahat. Tergantung dengan manusianya saja, ingin menonjolkan sikap yang mana. Tapi tetap, kedua sisi itu akan terlihat sekalipun hanya dalam kurun waktu yang sebentar dan pada orang-orang tertentu saja.

Mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, Adena tertawa pelan ketika menyadari bagaimana Zeline yang baru saja mengatakan sesuatu yang membuat perut terkocok. Mengigit belah bibir, merotasikan bola mata dan mendengus sebal. Kenyatannya, Adena tengah menghadapi seseorang yang tak jauh beda dengannya. Memiliki obsesi gila pada satu orang, yang kenyataannya adalah manusia bajingan yang tak pantas di berikan kesempatan untuk mendapatkan cinta setulus itu.

"Apa lo sekarang lagi ngancam gue?" tanyanya tajam.

Zeline mencoba untuk tidak takut, masih berusaha mempertahankan tatapan tajam dan pongah serta sikap congkak. "Kalau masalah biaya, gue bisa urus. Lo nggak usah khawatir,"

Diam-diam kembali mengepalkan kedua tangan, begitu kuat sampai buku-buku kuku memutih. Langkahnya terhenti, menatap lurus pada manik coklat milik Zeline yang nampak bergetar. Ingin rasanya Adena memberikan pelajaran pada cewek bodoh seperti Zeline, sekedar menampar dan membuatnya sadar kalau apa yang mereka ributkan bukanlah sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Malah, seharusnya mereka malu.

"Gue nggak ada urusan apa-apa lagi sama Ray," sungutnya, "gue juga nggak ada urusan apa-apa lagi sama lo, jadi nggak usah urus hidup gue!" pun akhirnya amarah cewek itu meledak.

Zeline tersentak ketika mendengar teriakan Adena, tubuhnya bahkan membeku dalam beberapa detik dengan detak jantung yang mendadak berhenti. "Dasar cewek sialan!" umpatnya, lalu memberikan tamparan pada wajah Adena.

Rasa perih kembali datang, merambat ke hulu hati dan membuat rasa sakit itu kembali mendera. Adena enggan untuk membalas, memilih untuk bergeming dalam beberapa detik lantas berbalik untuk mengarah ke pintu keluar. Terlalu konyol jika harus terus meladeni sikap kekanak-kanakkan Zeline, padahal dia sama sekali tidak menginginkan Ray untuk ada di sekitarnya lagi. Bukan apa-apa, hanya muak saja melihat bagaimana sikap labil dan serakahnya Ray yang membuat perut bergolak mual.

Setiap hentakan kaki yang di ambil, terasa begitu berat dengan kepala yang mendadak pening. Pipinya terlihat memerah, telapak tangan nampak tercetak jelas di sana dan Zeline begitu kesal ketika upayanya untuk mengusir Adena malah berakhir jadi seperti sekarang. Seperti orang bodoh yang terdiam di dalam ruang kelas sendirian, menatap pintu keluar dengan mata bergetar dan jantung yang berdetak keras. Satu hal yang tiba-tiba muncul, sontak membuat Zeline menggertakkan giginya.

Kedua tangan yang terkepal kuat, kepala yang penuh dengan pikiran buruk soal Adena, cewek itu lantas berlari mengejar di koridor kelas yang sepi. Ketika Adena sudah sampai di tangga, cewek itu menoleh sebab telinganya mendengar suara gaduh dari kaki yang melangkah kencang mendekatinya. Di sana, Zeline berlari mendekatinya dengan tatapan mengerikan yang membuat bulu kuduk merinding.

Saat tubuh keduanya sudah kembali berhadapan, tangan Zeline terulur untuk siap mendorong Adena. Tapi cewek itu lebih sigap, langsung menghindar dan kaki Zeline kehilangan keseimbangan sampai akhirnya terjatuh. Terguling ke bawah, hingga terjatuh di lantai dasar dengan kepala mengeluarkan cairan berwarna merah pekat. Adena ketakutan, tidak pernah terpikirkan akan hal yang seburuk ini menimpa dirinya. Kaki cewek itu ikut kehilangan keseimbangan, tapi limbung ke belakang dan terduduk.

Nggak Na, biarian aja. Dia yang duluan cari gara-gara.

Tidak, Adena tidak bisa sejahat itu untuk membiarkan seseorang mati di depan matanya. Buru-buru mengambil ponsel yang ada di tangan yang bergetar hebat, Adena akhirnya bisa berbicara dengan petugas rumah sakit untuk segera membawa ambulance. Sekalipun dia merasakan sakit, takut dan bingung, Adena tetap saja di sana sambil memperhatikan lantas berharap ambulans untuk segera datang secepatnya. Suara cewek itu bahkan terdengar tidak jelas sangking takutnya.

Mengabaikan bagaimana rumah sakit yang tak pernah dia sukai, pun seseorang yang sedang bertarung mempertahankan naywanya yang dia benci sekarang menjadi orang yang dia harapkan untuk hidup. Segala macam pikiran datang, tapi Adena tetap di sana untuk menunggu kabar baik dari dokter yang tengah menanganinya. Aneh rasanya saat Adena tiba-tiba berharap kepada Tuhan, agar menyelamatkan orang yang hampir membunuhnya.

Seseorang dengan pakaian kantor, terlihat begitu anggun dengan perhiasan mewah pun lelaki yang mengikutinya di belakang menghampiri Adena. Wajah perempuan itu terlihat marah, tanpa babibu langsung mendaratkan tamparan keras pada pipi Adena. Lelaki tadi langsung bereaksi kaget, buru-buru menarik tubuh wanita itu untuk menjauh dari Adena yang sudah menegang. Kedua kali, untuk hari ini. Dia mendapatkan pukulan di tempat yang sama.

"Mama, sabar dulu. Kita tunggu kabar dari dokter dulu," katanya mencoba menenangkan, sembari memeluk tubuh sang wanita yang Adena yakini Mama dari Zeline.

Tak lama setelah itu, Ray datang dengan raut wajah tak kalah kacaunya. Keringat bercucuran, napas tersengal dan buru-buru menghampiri saat melihat kedua orang tua Zeline dan Adena. Berhenti sejenak, menatap tajam ke arah Adena yang kini menatapnya sendu, Ray langsung menghampiri Adena dengan sejuta pertanyaan yang siap dia muntahkan.

"Lo apain Zeline sampai bisa begitu, huh?"

Papa Zeline ikut kaget, dengan Mamanya yang sudah pasrah sebab kelelahan menangis. Sudah dua jam sejak dokter membawa Zeline ke ruangan itu, tapi belum juga ada kabar dan Adena kembali disalahkan dengan keadaan ini. Merasa menyesal sebab yang ada di sana bukan dirinya, tapi seseorang yang begitu berharga untuk orang-orang seperti Zeline. Kenapa tidak aku saja, ya? Adena bertanya dalam benak, mengabaikan bagaimana Ray yang terus melontarkan pertanyaan kepadanya dengan tatapan tajam.

Pintu terbuka, dokter dengan keringat bercucuran itu keluar dengan wajah yang sulit untuk di baca. Semua orang langsung berdiri, menghampiri dokter tadi dengan perasaan harap-harap cemas. Adena ikut berdiri, berharap lagi agar dokter memberikan kabar baik. Dan benar, senyum lembut yang hadir dari wajah dokter itu menjadi jawaban dari semua rasa khawatir. Adena menghela napas, begitupun ketiga orang tadi.

"Anak Anda sudah baik-baik saja, beruntung temannya ini langsung menghubungi ambulans. Kalau tidak, kita tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Kalau begitu, saya permisi."

Semua orang menangis terharu, tak terkecuali dengan Ray yang buru-buru membuka pintu guna melihat kondisi Zeline yang sudah baik-baik saja. Sementara Adena tetap di luar, memperhatikan dengan tatapan sendu dan senyum kecut. Apakah kalau itu aku, kamu bakalan sekhawatir ini Ray? Lantas setelahnya, cewek itu pergi untuk menghindari rasa sakit lain yang siap mendatanginya.

To Be Continued

AbsquatulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang