Every issues related to sex is a sin, so common law said who loves sex is a sinner.
~•~
#sensitive content
Pada akhir cerita di mana orang-orang yang percaya akan konsep surga dan neraka, mereka akan ditempatkan pada tempat yang pas sesuai dengan dosa yang mereka lakukan semasa hidup. Berbuat baik untuk mengharapakan surga, menghindari perbuatan jahat dengan pikiran yang selalu dicekoki oleh konsep neraka yang begitu menyeramkan sementara surga yang terkesan begitu indah untuk orang-orang yang mau bersabar. Ray juga seperti itu, setiap hari selalu diberikan petuah agar menjadi manusia baik dan bermanfaat bagi orang lain.
Konyol rasanya ketika katanya berbuat baiklah tanpa meminta balasan, sementara di dalam kepala ada perasaan dengan harapan besar agar menjadi orang yang berada di surga nantinya. Hidup terkekang, tapi berakhir dengan kebahagiaan di akhir dunia nantinya. Lantas, apa itu semua cukup untuk seorang bocah kelewat penasaran seperti Ray? Berbuat baik, mengindari segala macam hal yang dikatakan Papa dan Mama soal dosa dan semacamnya. Tapi sayangnya, semua hal itu malah membuatnya semakin mendekat.
Mengenal seks, dunia malam, pergaulan bebas, hangover dan bermain-main dengan banyak cewek untuk menemukan kebahagiaan yang selama ini dia cari. Tapi, tetap saja semuanya hampa. Kehilangan jalan, tak diperdulikan lagi karna sudah bosan memberikan petuah dan berakhir melihat Mama menangis tersedu-sedu karena merasa gagal mendidiknya. Ray, perlahan mulai sadar. Di usia belasan, yang seharusnya dia habiskan dengan belajar agar menjadi manusia yang masyarakat mau, malah berakhir menyedihkan. Hingga akhirnya, dia menemukan titik di mana semua bisa dirubah. Kesempatan, masih ada di depan mata.
Bertemu dengan Zeline, menjalin hubungan pertemanan yang baik hingga tenggelam pada pseona di mana ternyata cewek itu adalah sosok malaikat berperawakan bidadari tanpa sayap yang dielu-elukan orang lain. Merasa beruntung sebab ternyata cewek itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya, pun menjalin hubungan dan menjadi buah bibir ketika mereka lewat dengan jemari yang saling bertautan. Tersenyum malu-malu, kedua pipi bersemu dan jantung berdetak abnormal.
Tapi tetap saja, setan yang sudah lama mendiami diri Ray akan terus merecoki dirinya dan menghasut agar dia kembali tenggelam pada dosa ternikmat ketika Adena yang tiba-tiba datang merintih dan memohon agar dia selamatkan. Dengan kaleng bir di tangan, air mata yang mengalir dan bibir yang terus bergumam. Ray, menemukan suatu kebahagiaan lain yang nyatanya salah tapi tidak tahu bagaimana cara membenarkannya.
"Ayah mukul gue lagi," katanya saat itu. "Gue mau mati aja, Ray."
Tertegun, kedua bola mata yang membulat sempurna dengan rahang yang mulai mengeras. Ray mencoba mencari bermacam kalimat untuk dia katakan sebagai penyemangat cewek yang tengah mabuk di sampingnya ini, sementara TV yang memperlihatkan acara lawakan di tengah malam terlihat tak menarik. Hanya sebagai suara peredam, supaya orang-orang di luaran sana tidak mendengar pembicaraan konyol mereka.
"Jangan gampang ngomongin mati, Na. Hidup lo masih terlalu panjang,"
Adena yang masih setia menundukkan kepalanya karena didera rasa pening kini mendongak, menatap ke arah Ray yang terlihat tersenyum begitu manis. "Tapi gue nggak tahan lagi sama dunia yang kejam banget kayak gini,"
Diam untuk berpikir, hingga hening kembali merajai suasana untuk beberapa detik dan akhirnya kembali diisi oleh suara Ray yang menggema kelewat manis pada gendang telinga. Rasanya seperti seorang malaikat maut yang tengah berdiri, berbicara untuk memberikannya kesempatan kedua menikmati hidup dan keindahannya. Adena hanya bisa diam, mendengarkan dengan keadaan setengah sadar dan setelah itu tidak ingat apa-apa lagi selain tubuhnya yang sudah melayang lantas terhempas ke atas ranjang.
"Kita teman, 'kan? Teman itu saling membantu dan membutuhkan, Na. Dan gue di sini, ada buat lo yang lagi kacau. Gue janji bakal ngasih kebahagiaan buat lo, kebahagiaan yang nggak bakalan lo dapetin dari siapapun."
Tersadar dari lamunan, Ray akhirnya berdiri dari tempatnya duduk dan pergi ke arah kasir untuk membayar pesanannya yang bahkan belum tersentuh sedikitpun. Kedua maniknya menatap lekat, meneliti untuk mencari keberadaan Zeline yang sudah hilang dari pandangannya. Ketika Ray baru saja menemukan keberadaan pacarnya itu, Zeline sudah lebih dulu masuk ke dalam taksi dan menghilang bersama kendaraan lainnya.
Menggeram sebal, Ray pun memberhentikan taksi lain dan menyuruhnya untuk pergi ke rumah Zeline. Dia kenal cewek itu, mau bagaimanapun bagi Zeline rumah tetaplah tempat persembunyian terbaik. Bergumam dalam benak sebab merasakan bagaimana jantungnya berdetak begitu kuat, teringat kembali akan ucapan Zeline di cafe tadi dan kembali membuatnya menggeram sebal. Beberapa menit berlalu, akhirnya cowok itu sampai di depan pintu rumah Zeline yang terkatup rapat. Berharap di dalam hati bahwa dia akan menemukan pacarnya di sana, pun jemari itu menekan tombol bel di sisi pintu.
Beberapa menit tak ada suara, akhirnya Ray memilih untuk membuka tanpa memikirkan bagaimana pandangan orang lain tentang dirinya yang begitu kurang ajar membuka pintu yang beruntungnya tidak terkunci. Apa Zeline lupa mengunci pintu? Ray masuk dengan hati-hati, memanggil dengan suara lembut sampai akhirnya cowok itu berada di depan pintu kamar Zeline. Suara tangisan terdengar dari dalam, membuat Ray kembali terenyuh dan didera rasa bersalah.
"Zeline Sayang? Boleh Ray masuk?" tanya cowok itu, perlahan membuka pintu dan menemukan Zeline yang tertelungkup di atas ranjang sambil menyembunyikan wajahnya di antara bantal.
Cewek itu sudah tidak lagi menangis, diam-diam mengukir senyum ketika wajahnya masih bersembunyi di antara bantal. Ray menghela napasnya, perlahan melangkah dan bersujud di tepi ranjang tepat ketika Zeline bangun dan memperlihatkan wajah kacau serta bengkak sehabis menangis. Air wajah bersalah nampak tercetak di wajah Ray, membuat Zeline senang bukan main dan rasanya ingin berhenti berakting dan berteriak senang saja. Tapi, dia tidak mau semua rencananya hancur begitu saja.
"Maafin Ray, ya Ze? Ray salah," lirih cowok itu lagi. "Harusnya Ray nggak mikirin cewek itu lagi dan bikin kacau kencan kita, sekali lagi maaf. Ray nggak mau putus,"
Mengigit pipi dalam untuk menahan senyum, Zeline lantas bersedekap dengan mata menatap kesal ke arahnya. "Bohong, kemaren juga Ray ngomongnya gitu. Zeline nggak mau percaya,"
"Seriusan, kali ini serius. Ray nggak bakal ngecewain Zeline lagi," dengan dua jari membentuk V sign, Ray mencoba meyakinkan.
Zeline mulai melunak, senyumnya lantas terukir dengan jari kelingking yang sudah dia perlihatkan di depan wajah Ray dan cowok itu langsung menyambutnya dengan senang hati. "Tapi ada satu syarat," kata cewek itu lagi.
Kening berkerut, tapi tetap saja Ray mengangguk. "Apapun itu, Ray bakal sanggupin. Bahkan kalau Zeline nyuruh Ray buat berenang ke pulau seberang, Ray bakal lakuin."
Cewek itu terkekeh, menggeleng-gelengkan kepalanya lantas menatap serius. "Ayo making love sama Zeline."
Rasanya campur aduk, antara senang dan kaget dengan efek suara petir yang membuat Ray hampir mati pingsan. Kedua maniknya bahkan terlihat bergetar, bibir yang terkatup lantas kembali mengudarakan protes. "Ze, aku bukannya nggak mau tapi...."
"Jahat kamu, Ray. Aku bahkan udah beraniin diri buat ngomong gini dan ngancurin harga diri aku,"
Demi apapun yang ada di dunia ini, Ray benar-benar kaget saat melihat wajah memelas dengan kedua pipi bersemu milik Zeline. Dengan senyuman manis yang mengembang di wajahnya, Ray lantas berdiri dan duduk di sebelah Zeline. Mengelus pipi pacarnya pelan, mengecup semua sisi wajahnya dan berakhir pada pucuk bibir. Ray pun berkata kelewat lembut, berbisik dan mendatangkan afeksi yang membuat Zeline merinding.
"Tapi kamu harus tahan, soalnya kalau pertama itu sakit. Ya, Sayang?"
Nyatanya, siapapun lupa akan adanya dosa dan neraka ketika sudah tenggelam pada kenikmatan yang dihadirkan dunia. Terlalu masa bodoh, sementara setan-setan sudah terbahak ketika melihat mereka. Ray menggeram kenikmatan, dengan Zeline di bawahnya yang merintih kesakitan tapi tak ingin cowok itu untuk berhenti. Cinta itu buta dan itu benar adanya.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Absquatulate
General Fiction[M] Ketika pupus, kita tidak tahu pelukan siapa yang paling tulus. Ketika sedih, kita juga tidak tahu bahu siapa yang paling pantas untuk kita sandari. Senyuman palsu, bahkan terlihat begitu manis. Menarik diri untuk tenggelam dalam surga dunia, mel...