Feelings Fade

3.8K 210 3
                                    

"The sad thing is, I actually thought you were different."
-Jamie (Mila Kunis)

~•~

Pillow talk itu berbahaya untuk dua orang yang tak memiliki hubungan apa-apa, sebab kegiatan itu bisa melahirkan perasaan galau kelewat menyebalkan yang membuat dada terasa sesak tak karuan. Namun malam ini, dengan di temani temaram lampu kamar, rintik hujan yang tak sebising tadi (meski masih menghadirkan dingin yang membuat tubuh mengigil), Adena mendadak kembali menjadi cewek jahat yang egois. Di dalam benak terus berdo'a agar Tuhan menghadirkan perasaan yang sama seperti yang dia rasakan, yang membuatnya jadi manusia munafik sebab tiba-tiba mengingat keberadaan Tuhan yang telah lama mati dalam keraguan.

Tak ada pagutan yang menghadirkan suara decapan, tak ada tubuh panas yang seolah terbakar, tak ada tatapan kagum dengan kabut nafsu yang mendominasi, yang ada hanyalah pelukan hangat di bawah selimut yang sama dan bantal yang sama di atas ranjang sempit milik Adena. Saling membagi kehangatan lewat tatapan, terkadang juga sebuah senyuman hadir tersungging pada bibir yang terkatup rapat sejak masuk ke dalam rumah.

Ayah tidak ada, mungkin tidak lagi pulang. Rumah dengan perabotan yang semakin sedikit sebab sering jadi bahan hantaman pukulan lelaki itu terasa begitu asing untuk Ray, terlebih lagi bagaimana dinding yang terasa kosong melompong tanpa ada satupun figura yang memperlihatkan senyuman manis Adena dengan kedua orang tuanya. Kenyataan yang menohok adalah Adena hancur dan Ray malah hadir ditengah-tengah, mendeklarasikan diri untuk menjadi obat meski pada akhirnya menjelma menjadi belati yang siap menusuk relung hatinya.

Tak ada makan malam hangat yang dulu pernah ada, diiringi tawa kecil sebab Ayah dan Ray yang menggoda Adena karena kebiasaannya memilih makanan dan membuat Ibu kesal setengah mati. Semuanya terlewati dengan hening, hanya ada obrolan kecil berupa; lo mau tambah nasi? Atau, lo masih gak suka brokoli? Hanya obrolan singkat yang dijawab anggukan, sebab tanpa Ray sadari, cowok itu kembali membuat Adena mengingat bagaimana memori lama yang terasa begitu hangat dan indah.

"Cantikan mana gue sama Zeline?" dan obrolan mereka dimulai dengan pertanyaan aneh dari Adena.

Menimang sejenak perihal jawaban apa yang tepat untuk diucapkan, Ray tersenyum manis sambil merapikan anakan rambut yang menutupi kening Adena lantas menjawab. "Cantik itu relatif, Na."

Klise. Jawaban yang tepat untuk menghindari perdebatan. Lantas dia kembali bertanya, dengan tangan yang masih setia melingkari pinggang Ray. "Menurut lo, kenapa cowok gak mau have sex sama cewek sebelum nikah?"

"Karena menurut gue, cewek yang bener-bener disayang itu kudu di jaga. Bukan malah di ajak zina,"

Adena terdiam, menghela napas sambil menjilat bibir yang terasa kering, cewek itu tertawa miris di dalam hati. Benar, dia itu hanya cewek hina yang jadi tempat Ray melampiaskan kebutuhan biologisnya. Siapa yang tahu kalau yang Ray bayangkan saat sedang menghentak adalah Zeline dan bukan dia, 'kan? Kenyataan menyakitkan, namun Adena hanya bisa diam tanp berontak. Bodoh kalau dia tiba-tiba marah. Konyol kalau tiba-tiba dia kesal. Seba nyatanya, dia tak jauh berbeda dari jalang yang menjajahkan tubuhnya. Hanya saja, jalang mendapatkan lebih banyak keuntungan sementara dia malah mendapatkan lebih banyak kerugian.

"Jadi, Ray...." cewek itu menghentikan ucapannya, menjeda guna memberikan satu kecupan pada bibir sebelum akhirnya melanjutkan. "Lo gak sayang sama gue? Iya, 'kan?"

Tersedak air liur sendiri, Ray tercekat dengan tenggorokan yang mendadak sakit. Tubuhnya membeku, mata menyorot ke arah jendela dengan tatapan kosong. Dia masuk perangkap. Adena yang menyadari perubahan dari cowok yang masih setia dia peluk itu terkekeh, terdengar sinting dan seperti meremehkan sebelum akhirnya agak menjauhkan tubuhnya dan menatap lekat pada manik milik Ray yang terlihat melebar.

"I know, we're just in a friend with benefit. We're nothing," ujar Adena dengan nada suara kelewat datar, pun tatapannya tak lagi terlihat jenaka ataupun menghujam. Hanya ada tatapan sendu, sakit dan kecewa yang kelewat nyata.

Ray buru-buru kembali menarik tubuh Adena untuk dia peluk, mengecup pucuk kepala milik cewek itu dan mengabaikan sejenak bagaimana telinganya menangkap suara isakan pelan dan tubuh yang bergetar. Adena menangis, untuk kesekian kalinya cewek ini menangis karena dia. Rasa-rasanya Ray sudah sangat cocok jadi karakter pria antagonis dalam serial sinetron, atau mungkin karakter pria terkutuk yang memanfaatkan kerapuhan seorang gadis untuk dia rengkuh dan keruk habis semua yang dia miliki untuk kesenangan pribadi.

Hanya saja cowok itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya apa yang benar-benar dia inginkan. Dia kelewat egois untul mengakui tentang perasaannya pada Adena, tiap hari terus saja menepis segala hal yang hadir menginvasi isi kepala sampai rasanya mau meledak. Apalagi ketika melihat presensi Zeline yang tak kalah membuatnya menggila, membuatnya kembali jadi begitu jahat dan tak mau melepaskan cewek kelewat sempurna itu. Tanpa tahu bahwa manusia tak bisa menjadi serakah dan menggengam semuanya, sebab manusia harus merelakan atau mereka akan kehilangan semuanya.

"Lo tahu Ray, alasan kenapa gue terus lari sehabis kita have sex?"

I know, tapi semua hanya dibalas oleh gelengan palsu sarat akan kebodohan. "I'm just scared, I'm falling deeper in you. I'm just scared, I become selfish and want to have you completely and don't want anyone else to have you. I'm just scared, my heart is really filled with you."

Adena tidak tahu kenapa semua yang tersimpan apik di dalam otak, tiba-tiba terucap begitu saja olehnya. Suaranya bergetar, dia terlihat begitu lemah untuk saat ini. Topeng yang dia perlihatkan di mana dia yang selalu terlihat begitu kuat, kini telah retak. Hancur lebur, menyatu bersama isakan pedih yang mengoyak relung hati. Ray hanya bisa diam, mendadak jadi bodoh dengan apa yang baru saja dia katakan. Perlahan tapi pasti, semua sel pada otaknya merekam dengan jelas dan mencerna semuanya. Adena benar-benar sudah jatuh Cinta padanya dan itu benar-benar diluar dugaan.

Selama ini, Ray pikir dia hanya menyediakan tempat untuk Adena agar bisa melampiaskan semua kesakitan dan kepedihan yang dunia berikan padanya. Tapi dengan bukti buku diary, serta perkataan dengan tangisan ini, semuanya jadi nyata dan tak bisa lagi dibantah. Ray yang egois, kini meraung kegirangan di dalam hati. Diam-diam merasa bangga terhadap dirinya sendiri, hanya saja dia tidak tahu bahwa dia akan dihadapkan oleh sesuatu yang paling membingungkan.

Adena tak lagi menangis, perasaannya sudah begitu tenang. Kelabilan dirinya, pun Ray dan semua perkataan yang terucap tadi menjadi kelegaan tersendiri untuknya. Tersenyum manis sambil mengusak wajah pada perpotongan leher Ray dengan hidung yang menghirup rakus feromon yang memabukkan, sementara Ray malah terkekeh gemas karena baru kali ini melihat Adena yang begitu manja. Menarik tubuhnya untuk kembali diberi dekapan yang lebih erat, pun kedua orang itu terperanjat kaget ketika bel rumah yang terdengar nyaring berbunyi.

"Ayah lo?" tanya cowok itu.

Adena tentu saja menggeleng, sebab tahu betul bagaimana tabiat lelaki menjijikkan itu yang tak mungkin memencet bel rumah. Tidak mungkin juga tiba-tiba berubah jadi begitu sopan setelah tidak pulang berhari-hari, terlalu konyol untuk dipercaya tentu saja. Pun akhirnya Adena beranjak dari ranjang untuk membukakan pintu, diikuti Ray di belakangnya. Hanya saja di sana mereka menyesali keputusan membukakan pintu, sebab ketika pintu itu terbuka dan menampilkan presensi yang tak pernah terpikirkan akan ada di sana, dunia Ray seolah baru saja dijatuhi bom nuklir.

Bukan, bukan seperti ini.

Keserakahanpun perlahan memakan semua angan-angan. Bodoh!

"Jadi... dugaanku bener, ya, Ray?

To Be Continued

AbsquatulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang