When I Leave

2.4K 190 12
                                    

Being a fools can make your happy ending life.

~•~

Seharusnya, plot twist yang terjadi adalah Adena yang memaafkan orang-orang yang menyakiti dirinya. Lalu menjadi gadis baik, patuh dan fokus pada kuliah. Setelah itu, mencari pekerjaan dan menemukan tambatan hati lalu hidup bahagia selamanya. Oh, konyol sekali. Bukankah itu hanyalah plot twist yang dimiliki oleh cerita dengan genre roman picisan atau mungkin kisah di masa SMA. Nyatanya, Adena bukanlah karakter pada kedua kisah itu. Bukanlah gadis polos yang akan menerima semuanya selayaknya cerita teenlit, bukan pula karakter wanita bijaksana seperti di cerita roman picisan. Dia adalah pemeran antagonis pada kisah hidupnya dan hidup orang lain.

Banyak yang bilang, kita adalah pembohong pada versi orang lain. Bahkan, penjahat pada versi mereka. Namun, Adena adalah kebenaran yang absolut. Dia jahat, dia pembohong dan dia pesakitan pada versinya sendiri dan versi orang lain. Bukankah menyenangkan jika pada akhirnya mewujudkan fantasi orang lain terhadap diri kita? Mari bertepuk tangan atas kehebatan yang sudah Adena dapatkan, tunggu... apa ini sebuah kehebatan? Atau malah sebuah kebodohan? Entahlah.

Ketika dikejar, bukannya terus berlari sampai terbebas, Adena malah berhenti dan berbalik sambil memperlihatkan wajah dengan senyum congkaknya. Lantas, berakhir mendesah hebat di bawah kuasa lelaki asing yang ternyata seorang lintah darat. Yang memberikan uang pada pejudi, lalu mematok bunga yang bisa mencekik sampai korbannya mati tak berdaya. Ayah salah satunya, yang berakhir menjual dirinya sendiri. Lelaki yang berusia di awal tiga puluh tahun, terkenal dengan komplotan gila berbadan kekar luar biasa menyeramkan di kotanya.

Adena bukanlah cewek polos yang tidak mengenal siapa lelaki yang tengah memujanya, mendesah hebat sambil menggeram dan tersenyum puas ketika mencapai puncak kenikmatan itu. Dia tahu. Tapi tidak terlalu mengenalnya dengan baik, hanya sekedar melihat sekali lewat saat tak sengaja bertemu di supermarket kota. Gila rasanya, ketika dalam hati memaki ketika melihatnya yang nampak seperti orang mesum tidak waras dan sekarang malah berada di bawah selimut yang sama tanpa sehelai pun benang membalut tubuh.

Matahari sudah kembali memperlihatkan eksistensinya, suara deru mesin mobil kembali terdengar berisik dari luaran sana. Menggeliat untuk memperbaiki posisi berbaring, Adena lantas menghela napas ketika merasakan tempat di sebelahnya sudah kosong. Lelaki itu, sudah pergi. Tadi pagi, dengan keadaan setengah sadar karena mengantuk dan kelelahan sayup-sayup dia mendengar suara dari lelaki itu yang tengah berbicara dengan seseorang lewat sambungan telpon. Mungkin istrinya, perempuan menyebalkan yang terlihat seperti penguasa di kota ini. Merasa paling kaya, padahal uang yang dia gunakan untuk membeli semua barang mewah itu adalah uang haram.

Hey, haram? Tidak ada istilah haram untuk orang-orang seperti itu, apalagi hidup di zaman serba menggunakan uang.

Namanya Raka, Tuan Raka. Dan semenjak tadi malam, Adena resmi menjadi peliharaan yang baik hati serta penurut. Tidak apa-apa, yang terpenting adalah bagaimana kebebasan dia dapatkan. Orang-orang akan bertekuk lutut padanya, tidak akan ada lagi mereka yang berani menggunjing di depan wajah. Masa bodoh kalau ada yang berbicara di belakang, yang penting dia tidak mendengar. Adena terkekeh, pun bangkit dari tidurnya sambil menyugar rambut sebahunya yang kusut.

"Sialan," makinya pelan saat merasakan perih pada pusat tubuh, pun ketika mata memperhatikan pakaiannya yang berantakan di atas lantai kamar.

Memilih untuk beranjak, merasakan dingin pada telapak kaki saat berciuman dengan lantai sebelum akhirnya menuju kamar mandi untuk mencuci wajah dan memakai bathrobe. Setidaknya, sebelum memilih untuk membasahi tubuh di bawah guyuran air dingin, pilihan mencari makan di dapur lebih baik meski dia tidak ingat apakah di dapur ada makanan atau tidak. Baru saja masuk kamar mandi, cewek itu sudah mendesah lagi saat melihat ruam merah pada permukaan kulit terutama dada. Laki-laki itu benar-benar bermain gila tadi malam, tapi anehnya Adena menyukainya.

Kalau boleh membandingkan dengan cara bermain Ray, Raka lebih membuat ketagihan. Rasa sakit yang lelaki itu berikan, seolah menghapus semua sentuhan lembut yang Ray berikan. Ray bermain lembut, itu faktanya. Pemuda itu tidak egois, tidak mencari kenikmatan untuk dirinya sendiri tapi benar-benar membagi kenikmatan itu bersama-sama sampai mereka mendesah panjang berbarengan.

Cewek itu pergi ke arah dapur, namun terhenti saat mendengar ketukan pada pintu. Si tamu tentu saja bukan Ayah, lelaki biadab itu tidak akan pernah tahu bagaimana caranya bersopan santun untuk sekedar berbasa-basi mengetuk pintu semenjak hari di mana Ibu pergi untuk mencari kebahagiaannya. Lagipula, Adena ingat betul kalau lelaki itu sudah lari tunggang langgang saat dia dikejar oleh Raka dan bawahannya tadi malam. Jadi, siapa? Memilih untuk mengabaikan bagaimana otaknya mencoba berpikir siapa, Adena lebih dulu berlalu menuju pintu dan membukanya.

"Bukankah terlalu pagi untuk melakukan seks?" pertanyaan sarkas yang cewek itu keluarkan dari mulutnya ketika pintu sudah terbuka, memperlihatkan seraut wajah kacau milik Ray. "Morning wood, right?"

Ray awalnya terdiam, terlalu kaget sampai bingung ingin bereaksi seperti apa hingga akhirnya wajah itu berubah marah. Memperlihatkan jelas raut wajah kesal dengan gigi bergemelatuk di dalam mulut yang tertutup rapat, pun tangan terkepal di kedua sisi tubuh. Memilih mengabaikan Adena yang terlihat ketakutan dengan perubahan sikapnya, Ray masuk setelah mendorong tubuh Adena ke pintu hingga suara dentuman pintu tertutup menggema. Punggung cewek itu terasa sakit, ringisan tak terelakkan untuk keluar dari belah bibir pun mata terpejam karena kaget.

"Gue khawatir sama lo! Asal lo tahu itu! Dari kemaren sore gue nyariin! Tahu-tahunya lo malah jadi pelacur buat lintah darat tua bangka itu!"

Okey, terdengar berlebihan. Bolehkah Adena tertawa sekarang? Membuka kedua matanya, menatap dengan sorot bingung pada sosok Ray yang nampak memerah pun tersengal. Seperti menahan sesuatu yang mulai bergejolak. Hanya saja di sini, apa yang Ray katakan malah terdengar menggelikan. Membuat perut tergelitik, sampai akhirnya Adena benar-benar terbahak. Kedua bahu yang terasa sakit karena di tekan begitu kuat oleh Ray malah bergetar, memperlihatkan reaksi di luar dugaan ketika kedua matanya kembali terpejam sangking lucunya lelucon yang baru saja Ray katakan.

Apa Ray sedang mencoba belajar menjadi stand up comedian?

Setelah puas tertawa, Adena menyilangkan kedua tangannya lagi pun memperlihatkan senyum congkaknya lagi. "Apa sekarang lo cemburu?" tanyanya, menjeda sejenak sebab bibirnya yang terasa kering sedikit menganggu. "Cemburu karna peliharaan yang harusnya nurut sama lo, malah berakhir jadi peliharaan manis orang lain dalam semalam. Iya, 'kan?"

Ray tercekat, merasa bingung harus menjawab apa. Sumpah, cowok itu benar-benar tidak tahu apa yang sedang dia lakukan sekarang. Bersikap kelewat kasar, tiba-tiba marah dan berakhir stagnan seperti orang idiot. Tapi benar, dia mencari Adena sejak kemarin sore. Dia merasa bersalah, niatnya ingin meminta maaf karena kelakuannya yang kelewat kasar. Pun, meminta maaf atas nama Zeline. Tapi, cewek itu menghilang. Di cari tidak ketemu dan ketika pulang ke rumah malah mendengar suara menjijikkan dari arah kamar cewek itu, dengan lampu redup yang memperlihatkan bayangan tubuh keduanya.

"Gue temen lo, Na. Gue khawatir sama lo,"

Hahah, lo ngarepin apa Adena? Tertawa miris, cewek itu mendorong tubuh Ray dan berjalan menuju dapur. Pada akhirnya, Ray tidak akan pernah mewujudkan ekspektasinya. Tidak akan pernah berpaling dari cewek baik hati nan sempurna seperti Zeline, untuk dirinya yang terlalu kotor bahkan untuk sekedar diberikan pelukan hangat menenangkan. Bahkan anjing peliharaan saja diperlakukan lebih baik, ironi.

Ray lagi-lagi hanya bisa diam ketika memperhatikan punggung sempit itu mulai berlalu menjauh darinya, pun terhenyak ketika Adena menghentikan langkahnya dan berkata.

"Kita temen 'kan, Ray?" ada jeda sejenak sebelum Adena kembali melanjutkan dengan suara bergetarnya, "tapi temen nggak ngelakuin apa yang kita lakuin. Jadi... ayo berhenti dan berbahagia dengan pilihan masing-masing."

Lantas, reaksi seperti apa yang harus Ray berikan?

To Be Continued

Mungkin mulai sekarang sampai selanjutnya, aku nggak pakai quotes film FWB lagi karna stoknya udah habis hehe

AbsquatulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang