Peringatan untuk menjauh dari masalah.
Masalahnya, masalah-masalah itu yang mendekat.
[Catatan 2016]
×
Kantor Allies terletak tak jauh dari sebuah studio tari di Distrik Mapo. Bangunan empat lantai yang cukup megah, sudah berdiri sejak lama, dan dikenal sebagai salah satu kantor media ternama. Dicat dengan nuansa kelabu, dikelilingi oleh semak hias yang kecokelatan termakan musim gugur. Baliho-baliho bertuliskan jargon perusahaan dipasang di sisi lahan parkir, tempat di mana sejumlah mobil perusahaan dipanaskan mesinnya dan bersiap untuk beroperasi.
Kemudian, dua kendaraan baru saja memasuki kawasan, berhenti di samping gedung yang gelap oleh bayangan.
Dari salah satu mobil, seorang pemuda berkacamata melompat turun dari bangku pemudi. Ia hanya memakai kaus putih, celana panjang, dan jaket seadanya—tampak terlalu tipis untuk musim gugur yang semakin dingin. Dilemparnya identity card pada gadis berambut pendek yang duduk di kursi penumpang, lalu menutup pintu dengan gusar, membuat gadis itu menangkap panik dan buru-buru menyusul turun.
"Hei! Kamu ini kenapa?"
"Mau pulang."
"Kamu marah, kan?" Si gadis menatap takut-takut sembari menyelidik.
"Marah buat apa?" Sudut bibir pemuda itu terangkat sebelah, tersenyum penuh arti. "Kamu bisa membereskan laporan sendiri, kan? Katakan saja pada si Bos sebuah alasan; urusan lain, sakit, atau bilang saja aku sudah mati."
"Tapi, Direktur Kang bisa marah padamu kalau—"
"Memang aku pernah peduli?" Ia memalingkan wajah pada mobil yang satu, mengetuk jendela, dan berujar setengah teriak tanpa menunggu respons. "Aku pulang, bro! Perhatikan Im Bada supaya tidak teledor saat kerja. Bye!"
Gadis berambut pendek itu, yang disebut sebagai Im Bada, menatap penuh rasa khawatir. "Direktur Kang bisa marah!"
Si pemuda cuma melambaikan tangan. Seiring langkah kaki, ia memakai hoodie dan keluar dari kawasan kantor. Punggungnya semakin menjauh, membaur di antara lautan manusia, dan menghilang tepat setelah lampu hijau untuk pejalan kaki menyala terang.
Im Bada bergeleng. Ditatapnya identity card yang dilempar tadi sambil menunduk. Milik Kang Daeho. Terpasang foto diri di sana, sosok dengan rahang tegas, rambut acak-acakan, serta mata tajam yang balas menatapnya dingin.
"Mirip sekali," desah Bada. "Mirip ayahnya."
Lantas gadis itu menjinjing tas ransel ke dalam gedung. Suka atau tidak, dia patuh menuntaskan pekerjaan sendirian. Sementara sekian kilometer dari kantor, hampir satu jam kemudian, Kang Daeho terus mengumpat dan menendang pelan apa saja yang ada di depannya.
"Daripada marahnya si Tua Bangka, nasib saldo tabunganku jauh lebih seram." Ia mendengus keras, sempat berencana melempar tong sampah kalau saja tak ada bocah bertopi kuning yang mendadak berlari melintas di depannya. Sambil berhenti bergerak dengan sebelah kaki terangkat, matanya mengerjap.
Sejak tadi Kang Daeho sama sekali tidak memperhatikan jalan. Ia hanya terus melangkah tanpa melihat jalur mana yang diambil kakinya. Lucu sekali bagaimana perpustakaan kota mendadak sudah menyambut di seberang.
"Wah ...." Daeho menunduk memandangi sepasang running shoes-nya yang sudah hampir robek. "Kuat juga dipakai jalan sana-sini."
Lalu terdengar nyanyian riang yang memekakkan telinga, berasal dari sekelompok bocah TK berpakaian serba kuning. Mereka tampak heboh berbaris di taman perpustakaan, mengikuti instruksi guru untuk bergandengan satu sama lain. Ujung bibir Daeho terangkat, selagi ia berpikir mungkin bocah serupa kumpulan itik sedang ada kunjungan studi, perkenalan lingkungan literasi di taman baca khusus anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONLOOKER [2024]
FanfictionBintang ternama Negeri Ginseng ditemukan tewas di kediamannya tepat sebelum malam Natal yang meriah pada musim dingin 2004. Penyidik menetapkan kematiannya sebagai kasus bunuh diri. Pemakaman berlangsung dan hidup berlanjut. Namun, belasan tahun kem...