Hal-hal baru yang membuka mata.
Lalu membuat hanyut dan terapung.
[Catatan 2016]
×
Sepanjang umurnya ini, Jimin memang sering bertemu orang-orang menyebalkan.
Seperti Seungyoon, bocah klub olahraga yang sangat tenar di sekolah menengah; dia selalu berlagak hebat, sok jagoan, mengencani semua gadis cantik yang dikenal. Lalu, ada Pak Jihyeon yang mengajar Sejarah; beliau suka sekali mengadakan ujian tulis secara tiba-tiba, memberi tugas lebih dari sepuluh lembar, dan mengadakan studi membosankan ke museum-museum. Mungkin juga seperti Ryeonnam, gadis ranking satu di kelas yang sangat membenci Jimin hanya gara-gara nilai Matematika pemuda itu lebih tinggi; dia hobi bertingkah sinis dan menggunakan seribu cara agar bisa meraih posisi pertama, termasuk menyembunyikan lembar ujian milik Jimin.
Meski menyebalkan setengah mampus, ternyata Jimin masih bisa hidup berdampingan tanpa banyak protes. Malah, sekali melihat mereka dengan lebih hati-hati, pandangan Jimin berubah. Mereka tidak pernah seburuk itu.
Saat Seungyoon terlambat pulang karena berlatih sepak bola sendirian, kemudian tak sengaja berpapasan dengan Jimin di aula dan tanpa diminta malah bermurah hati mengajarinya trik menambah kecepatan lari untuk ujian praktik. Saat Pak Jihyeon tidak mengajar selama seminggu sampai seisi kelas bersorak kegirangan, lalu Jimin tak sengaja melihatnya di klinik dan mengetahui fakta kalau istri Pak Jihyeon sedang sakit keras. Saat Ryeonnam menangis sendirian di kelas sampai Jimin berinisiatif menghampiri, membantu gadis itu untuk belajar, mendengarkan cerita Ryeonnam tentang orang tuanya yang kaku dan ambisius.
Namun, yang satu ini berbeda.
Ketika bayangan wajah angkuh Cho Hana melintas di kepala—tentang bagaimana si gadis mengerutkan dahi, memandang tak enak pada keramahan Jimin, dan membalik tubuh seraya mengibaskan rambut brunette yang kelihatan halus itu—mendadak Jimin merasa jengkel. Ia tidak pernah suka pada orang yang tak tahu bagaimana cara bersikap. Sangat boleh kalau Hana tak tertarik padanya dan merasa tak punya urusan, tapi memangnya sesulit itu basa-basi ketika mereka makan malam di meja yang sama?
"Maafkan a—eh?"
Jadi, ketika takdir membawanya bertemu si gadis sekali lagi, Jimin hanya mengerutkan dahi dan memandangi tanpa minat.
Hana baru saja menabrak bahu kirinya. Tengah memeluk tiga buku setebal kamus dengan rambut acak-acakan menutupi separuh wajah, mantel hijau lumut berukuran raksasa, dan sepatu kanvas warna cerah yang mengecup sepatu Jimin. Dia tampak terkejut, irisnya yang cokelat terang terlihat jelas ketika mata bulatnya semakin membola. Kemudian, pandangan mereka bertemu.
Jimin kaget, kok. Sangat. Ia hanya cukup sanggup mengendalikan diri.
Di sisi lain, pikiran Hana seakan kosong untuk beberapa saat. Pemuda yang dia tabrak—lagi-lagi—terbungkus pakaian serba tertutup sampai tak bisa dikenali. Bahkan tak sehelai pun rambutnya keluar dari topi beanie kelabu itu. Memang terhalang kacamata biru gelap, tetapi Hana jelas melihat sepasang mata yang melirik dingin.
"Ji ... min?"
Empunya nama berdecak. "Volume."
"M-maaf." Hana memelankan suara, menyapu pandangan ke penjuru untuk memastikan orang lain tak dengar—terus terang, Jimin berterima kasih gadis itu cukup peduli untuk berhati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONLOOKER [2024]
FanfictionBintang ternama Negeri Ginseng ditemukan tewas di kediamannya tepat sebelum malam Natal yang meriah pada musim dingin 2004. Penyidik menetapkan kematiannya sebagai kasus bunuh diri. Pemakaman berlangsung dan hidup berlanjut. Namun, belasan tahun kem...