Derella mengernyit dan sedikit merinding saat berjalan menyusuri lorong yang menghubungkan rumah utama dengan pondok tempatnya tinggal. Derella kira Matilda mengantarkannya pada pondok seperti bayangannya, rumah kecil yang hangat dan nyaman yang bisa membuatnya bebas merancang busana-busana yang akan keluarga Wellington kenakan pada acara pernikahan tiga bulan lagi.
Tapi pondok yang dimaksud ini adalah rumah besar yang ada di bagian belakang rumah utama dengan taman mawar yang luas, rumah ini tidak terlihat dari depan karena tertutup bangunan utama rumah ini.
Derella mengernyit saat melangkah menyusuri lorong ini. Lorong ini begitu suram, gelap dan dingin. Seperti saat dulu waktu kecil ketika ibunya menyuruhnya untuk mengantarkan kue pesanan ke tempat bibinya.
Kembali ia berjengit kaget saat terdengar suara jendela yang terbanting terkena tiupan angin kencang.
"Maaf Miss Byren, mungkin sedikit tidak nyaman tapi di rumah ini yang memiliki banyak kamar kosong..." Matilda menenangkan dirinya dan berjalan di depannya.
"Apakah anda sudah lama disini Mrs. Matilda?"
"Hampir seumur hidupku..." sahut Matilda cepat.
"Lorong ini seperti tanpa ujung..." gumam Derella sambil sesekali merapatkan kedua tangannya yang terasa dingin.
"Tentu saja ada ujungnya Miss Byren. Bagian paling ujung adalah kamar Mr. Wellinton..." Matilda menjelaskan dan kemudian berhenti.
"Disana kamar Mr. Wellington..." tunjuk Matilda.
Jantung Derella berdesir menatap kamar yang ditunjuk Matilda. Kamar dengan dua pintu besar dan tinggi itu memiliki dua lampu di masing-masing sisinya yang terkesan itu adalah kamar utama.
"Siapa saja yang menempati kamar-kamar disini Mrs. Matilda?"
"Panggil saja Matilda..." sahut Matilda dengan suara berat lalu membuka pintu dihadapannya dengan sedikit kesulitan.
"Aku akan meminta John memperbaiki kuncinya. Memang sedikit susah..." kata Matilda lagi.
Saat pintu di buka udara lembab langsung menyerbu hidung Derella. Kamar ini mungkin tidak pernah dihuni.
Kamar ini hanya memiliki satu tempat tidur kecil—bukan, itu lebih mirip sofa panjang dengan sprei berwarna cream yang sudah terlihat lama.
Di samping tempat tidur ada meja kecil dengan patung Bunda Maria, Rosario yang sudah lama dan ada beberapa lilin kecil untuk berdo'a.
Satu-satunya hiasan yang tergantung di dinding kamar ini adalah Salib Yesus berwarna cokelat tua dengan lapisan emas di bagian tepinya dan terlihat sangat kuno sekali.
"Aku sudah meminta agar anda di tempatkan di kamar lain, tapi Mr. Wellington berkeras untuk menempatkan anda disini..."
Derella mendesah panjang, tentu saja pria itu tidak akan menempatkannya di tempat yang lebih layak dari ini. Pria itu membencinya—yah, dia layak membenci Derella.
"Baiklah, selamat beristirahat..." Matilda tersenyum dan mundur.
"Um, Matilda..." Derella memanggil Matilda yang sudah hampir sampai di pintu.
Matilda berbalik dan menatap dengan wajah lelah.
"Umm,—"
"Oh, iya. Di sisi sini hanya anda dan Mr. Wellington yang menempati..."
Derella mengatupkan bibirnya rapat-rapat, jantungnya terus memacu extra dan dia membayangkan dirinya terjebak di kadang harimau kelaparan.
"Ini sangat buruk..." bisik Derella pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Cinderella
HumorKalau Cinderela kehilangan sepatu kacanya di sebuah pesta, berbeda halnya dengan Derella Byren. Mahasiswi jurusan hukum itu kehilangan segalanya di sebuah pesta-kebebasannya. Dan kini yang bisa dia lakukan hanyalah lari dan lari sejauh yang dia bisa...