Bab 1

5.5K 517 22
                                    

Hari menjelang sore ketika Derella selesai mengepak semua baju-bajunya. Dia tidak punya banyak waktu di kota ini, perasaan diawasi itu membuatnya menjadi was-was dan tidak tenang. Terlebih sejak kematian ayahnya satu bulan yang lalu karena patah hati berkepanjangan setelah hampir sepuluh tahun menjadi duda.

Derella sudah kehabisan akal untuk menyemangati ayahnya yang menderita demensia. Setiap hari ayahnya selalu menganggapnya asing atau terkadang menganggap dia adalah ibunya.

"Ini yang terbaik..." dia mendesah panjang lalu menutup kopornya.

Yah, menutup butik bajunya yang sudah dikenal banyak orang adalah hal gila menurut beberapa kenalannya. Tapi tidak bagi Derella, ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin terkenal karena ketenaran akan membuatnya semakin mudah ditemukan.

Penjahat? Bukan, dia bukan penjahat. Hanya saja—sulit dikatakan.

"Miss Derella..." dia menoleh dan mendapati Joana, salah satu pekerjanya itu masuk ke kamarnya.

"Taxi anda sudah datang..." Joana menatap Derella dengan mata berkaca-kaca seolah ada seseorang yang baru saja meninggal.

"Baiklah. Terima kasih Joana..." Derella tersenyum lalu berdiri dan mengamati ruangan kamarnya. Kamar yang sudah di tempatinya selama hampir lima tahun.

"Aku akan merindukanmu Miss Derella..." Joana memeluknya dan terdengar isakan tangisnya.

"Aku juga akan merindukanmu..." bisik Derella sambil tersenyum.

"Dengar, Eliz tetap akan membuka toko ini dan kau tetap bekerja disini... hanya aku yang pindah..." Derella menepuk bahu Joana dan kemudian mengurai pelukkan mereka.

"Kita akan lihat tiga bulan lagi..." Derella menaikkan bahu tidak yakin dengan apa yang baru diucapkannya.

Kembali ke kota ini dan was-was seseorang mengintaimu bukanlah keputusan yang bijak. Dia tidak mau kembali ke masa suramnya. Masa yang mati-matian ia lupakan. Dia tidak ingin bernasib sama seperti ayahnya.

Derella menatap ke jendela, lagi-lagi dia melihat mobil hitam itu terparkir di depan toko sekaligus rumahnya. Kemarin lusa dia juga mendapati dua orang pria mengamati tokonya dan terlihat mencurigakan. Derella beranggapan mencurigakan karena salah satu diantara mereka sempat bertemu dengannya di cafe dekat rumah Sebastian.

"Sesampainya di rumah Mrs. Wellington aku akan menghubungimu..." Derella mengibaskan rambutnya yang panjang dan sudah waktunya di pangkas, tapi kesibukkannya setelah kematian ayahnya tidak bisa ia atasi. Ditambah gerak-gerik mencurigakan dua pria yang seolah mengawasinya itu membuatnya bergidik ngeri.

"Baiklah... segera kabari aku Miss Derella..." Joana kembali memeluk Derella.

"Dengar, aku hanya merancang dan membuat baju untuk seluruh keluarga besar Wellington, Joana. Jangan menangisiku—aku tidak sedang pergi berperang melawan Rusia! Ok?!" Derella menggeleng lalu mengangkat kopernya. Dia kembali menoleh sekali lagi lalu berbalik dan melangkah meninggalkan tokonya.

"Semua akan baik-baik saja. Ini pasti hanya perasaanku saja..." Derella meyakinkan dirinya sendiri lalu masuk ke dalam taxi yang akan mengantarkannya menuju ke stasiun kereta.

Selamat tinggal New York.

-

Derella menarik napas panjang setelah menurunkan kopernya. Dia menggerakkan tubuhnya yang terasa lelah setelah lama tidak pernah bepergian jauh. Dulu di awal dia tinggal di New York setelah meninggalkan Manhattan, Sebastian yang merupakan boss sekaligus gurunya dalam merancang baju sering mengajaknya keliling Amerika bahkan Sebastian sering mengajaknya ke Canada untuk menjenguk neneknya yang menurut Sebastian sangat cerewet dan pemilih.

Not CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang