Part 2

4.5K 140 0
                                    


Suasana hati Serena benar-benar buruk hari itu. Kemarahan, rasa terhina, kebencian bahkan kesedihan karena dia begitu tidak berdaya campur aduk dalam hatinya. Serena merasa tubuhnya begitu kotor akibat pelecehan yang dilakukan Mr. Damian tadi siang dan dia masih menahan tangis ketika memasuki ruang perawatan intensif di Rumah Sakit itu, yang sudah sangat familiar dengannya.

Apapun yang ada dipikirannya tadi langsung buyar begitu melihat Suster Ana menyongsongnya dengan wajah pucat pasi.

"Kemana saja kau nak?! Aku mencoba menghubungimu sejak dua jam tadi, tapi kau tak bisa dihubungi!"

Wajah Serena langsung berubah seputih kapas, secepat kilat dia berlari menelusuri lorong menuju kamar tempat Rafi dirawat. Suster Ana tergopoh-gopoh berlari mengikuti di belakangnya. Serena terpaku di depan ruangan Rafi dengan napas terengah-engah, dokter dan perawat masih ada di ruangan itu, sedang berusaha menstabilkan kondisi Rafi. Suster ana tiba dibelakang Serena dan menyentuh pundaknya lembut, mencoba menenangkannya,

"Dia sudah tidak apa-apa Serena, kondisinya sudah stabil. Tadi dia mengalami serangan lagi tapi dokter sudah menanganinya dengan cepat, kenapa kau tadi tidak bisa dihubungi? Aku mencoba menghubungimu saat Rafi dalam kondisi paling kritis, saat itu kau pasti ingin bersamanya."

Air mata mengalir di pipi Serena. Tadi baterainya habis dan karena sibuk dengan pikirannya, dia tak sempat mengisinya. Astaga, betapa bodohnya dia. Rafi kelihatan stabil dan baik-baik saja dan Serena mulai lengah, melupakan bahwa serangan bisa terjadi setiap saat. Ya Tuhan, seandainya tadi Rafi....

Serena memejamkan mata rapat-rapat, air matanya mengalir semakin deras, dia tak berani membayangkan semua itu. Suster Ana memeluknya dengan penuh keibuan sementara Serena menumpahkan airmatanya.

Ketika dokter datang, tatapan hati-hatinya malah membuat hati Serena makin cemas.

"Bagaimana kondisinya dokter?" suara Serena gemetar, ketakutan.

Dokter itu menarik napas panjang. "Rafi pria yang kuat, sungguh suatu keajaiban dia mampu bertahan sampai sekarang, tetapi kecelakaan itu telah merusak organ dalamnya. Kami berusaha memperbaikinya dengan obat-obatan dan penanganan medis terbaik, tapi hal itu berakibat pada ginjalnya,kami harus mengoperasi ginjalnya Serena."

"Mengoperasi ginjalnya?" Serena mengulang pernyataan dokter itu dengan histeris.

"Mengoperasi ginjalnya?! Ya Tuhan!!" Tubuh Serena menjadi lunglai, untung suster Ana menyangganya, air mata mengalir semakin deras dipipinya.

"Apakah... Apakah tidak ada cara lain ...?"

Dokter itu menarik napas prihatin. "Rafi dalam kondisi yang tidak lazim, dia dalam keadaan koma, dan apapun tindakan medis yang kami lakukan padanya memiliki resiko tinggi. Tapi akan lebih beresiko lagi jika kita tidak melakukan operasi itu, operasi itu harus dilakukan sesegera mungkin Serena"

Serena menarik napas dalam dalam, dan menatap dokter itu dengan penuh tekad.

"Baik dokter, lakukan operasi itu, apapun agar Rafi selamat." Suaranya mulai gemetar.

"Berapa biaya yang harus saya siapkan untuk melakukan operasi tersebut dok?" Seluruh tubuh Serena menegang, tangannya terkepal seolah olah menanti hukuman.

Dokter itu menatapnya sedih, rasa kasihan tampak jelas di matanya ketika menjawab. "Untuk prosedur operasi ginjal dan perawatan atas kemungkinan terjadi komplikasi lainnya, kau setidaknya harus memiliki tiga ratus juta, Serena."

***


Hujan turun lagi dengan derasnya, bahkan payung itupun tak bisa melindungi dirinya dari percikan air hujan. Tapi Serena tak peduli.

A Romantic Story About Serena by Santhy AgathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang