Part 13

2.8K 98 0
                                    

Serena berlari, tanpa sadar melepaskan diri dari pelukan Damian, dia berlari penuh airmata, ke kamar perawatan Rafi, kerinduannya membuncah, rasa syukurnya tak tertahankan.
Ketika sampai di depan pintu perawatan nafasnya terengah, dia berhenti karena pintuitu masih di tutup rapat, suster Ana tergopoh-gopoh mengejarnya,
"Serena, jangan masuk dulu, dokter baru menstabilkan kondisinya."
Penantian itu terasa begitu lama, sampai kemudian Serena diijinkan masuk, hanyalima menit untuk sekedar menengok Rafi, setelah itu dokter harus mengevaluasi kondisinya Rafi lagi.
Dadanya sesak tak tertahankan ketika mata itu balas menatapnya, mata yang selama initerpejam, tertidur dalam damai, membuat Serena menanti, mata itu sekarang terbuka, hidup, dan balas menatapnya,
"Rafi,"


suara Serena serak oleh emosi, dan tangisnya meledak, dia menghampiri tepi ranjang, kearah Rafi yang masih terbaring, pucat dengan alat-alat penunjang kehidupan yang masihmenopangnya, tapi hidup dan membuka mata.
Serena meraih tangan Rafi dan menciumnya, lalu menangis. "Rafi."Banyak yang ingin Serena ungkapkan, dia ingin mengucap syukur karena Rafi akhirnyabangun, dia ingin merajuk karena Rafi memilih waktu yang begitu lama untukterbangun, dia ingin menangis kuat-kuat, tapi semua emosi menyebabkan suaranyatercekat di tenggorokan.
Air mata tampak menetes dari pipi Rafi, lelaki itu mencoba berbicara, tetapi tampakbegitu susah payah,
"Stttt...Kau tidak boleh bicara dulu," gumam Serena lembut, mencegah Rafi berusaha terlalu keras, "mereka memasang selang di tenggorokanmu, untuk makanan, kau komaselama kurang lebih dua tahun."
Mata Rafi menatap Serena, tampak tersiksa, dan dengan lembut Serena mengusap airmata di pipi Rafi,
"Nanti, setelah mereka yakin kondisimu membaik, mereka akan melepas selang itu dankau akan bisa berbicara lagi, tapi sekarang, kau cukup mengangguk atau menggeleng
saja ya, sekarang..." Serena menelan ludah, menahan isak tangis yang dalam, "Sekarang kita harus mensyukuri karena kau akhirnya terbangun, ya?"
Rafi menganggukkan kepalanya, dan seulas senyum dengan susah payah muncul daribibirnya,
"Sekarang istirahatlah dulu, dokter akan mengecek kondisimu lagi" bisik Serena lembutketika melihat isyarat dari dokter yang menunggui mereka.
Ketika Serena akan beranjak, genggaman Rafi di tangannya menguat, Dengan lembutSerena menoleh dan memberikan senyuman penuh cinta kepada Rafi,
"Aku tidak akan kemana-mana, aku harus menyingkir karena dokter akan memeriksamulagi, tapi aku tidak akan kemana-mana, aku akan berada di dekat sini sehingga saat kaubutuh nanti aku akan langsung datang."


Pegangan Rafi mengendor, lelaki itu mau mengerti. Dengan lembut Serena mengecupdahi Rafi dan melangkah menjauh keluar ruangan perawatan. Air matanya mengucurdengan derasnya ketika dia melangkah menghampiri suster Ana. Suster Ana masihberdiri di sana dan Serena langsung berlari ke arahnya, menangis keras-keras.
"Dia sadar suster...dia akhirnya sadar...aku masih tak percaya, selama ini aku hampir kehilangan harapan. Mulai berpikir kalau Rafi memang tidak mau bangun, mulaiberpikir kalau semua perjuanganku ini sia-sia... Tapi sekarang...", Serena terisak, "Aku tak percaya bahwa pada akhirnya dia sadar... dia kembali dari tidur panjangnya, dia adadi sini untuk aku..."
Dengan lembut Suster Ana mengelus rambut Serena,
"Ini semua karena perjuanganmu Serena, Tuhan melihat keyakinanmu maka iamengabulkannya." mata suster Ana juga berkaca-kaca, terharu melihat pasanganyang sudah hampir menjadi legenda karena kekuatan cintanya di rumah sakit ini,akhirnya akan berujung bahagia.
Tapi kemudian, suter Ana menyadari kehadiran Damian di ujung ruangan, masihbersandar di pintu lorong ruang perawatan, dengan wajah tanpa ekspresi.
Dengan lembut dilepaskannya Serena dari pelukannya,
"Eh mungkin aku harus pergi dulu Serena, mungkin masih ada hal-hal yang ingin kalianbicarakan?" suster Ana mengedikkan bahunya ke arah Damian,
Baru saat itulah sejak pemberitahuan suster Ana tadi, Serena menyadari kehadiranDamian di ruangan itu. Pipinya langsung memerah mengingat pernyataan cinta Damian, sesaat sebelumnya. Tapi dia sungguh tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah Suster Ana meninggalkan ruangan itu, suasana menjadi canggung, dalamkeheningan yang tidak menyenangkan.
"Dia sadar." gumam Damian akhirnya, memecah keheningan. Serenamenganggukkan kepalanya, belum mampu bersuara. Damian tampakberfikir,"Kau bahagia?" tanyanya kemudian, lembut.


Serena mengernyitkan keningnya, Damian telah berubah, menjadi sedikit lebihmanusiawi, menjadi sedikit mudah disentuh. Damian yang dulu tidak akan mungkinmenanyakan itu padanya. Damian yang dulu pasti akan langsung memaksa membawanyapulang tanpa peduli perasaan Serena.
"Ya, aku bahagia." seulas senyum kecil muncul di bibir Serena, membayangkanRafi.
Damian mengernyit melihat senyuman itu. Senyuman itu bagaikan pisau yang menusukhatinya, senyuman yang diberikan Serena ketika membayangkan lelaki lain, ketikamembayangkan Rafi.
"Bagus," gumamnya datar, kemudian menatap Serena lembut, "mungkin kita harusmelakukan pengaturan kembali dengan perkembangan yang mendadak ini, tetapi akutidak mau mengganggumu dulu, kau pasti ingin fokus dulu dengan kondisi Rafi... jadi kupikir aku akan kembali lagi saja nanti."
"Terima kasih Damian." akhirnya Serena bisa berkata-kata, pelan. Damiantersenyum miring,"Aku meminta maaf, dan kau malah menjawabnya dengan ucapan terima kasih, Serena yang aneh." dengan hati-hati Damian mendekat, lalu setelah yakin bahwa Serena tak akan menjauh, dia merengkuh Serena ke dalam pelukannya,
"Ingat kata-kataku tadi." bisiknya lembut, lalu menunduk dan memberikanSerena sebuah ciuman yang singkat tetapi menggetarkan kepada Serena.
Dan pergilah Damian, meninggalkan Serena yang masih berdiri terpaku, memegangibibirnya yang terasa hangat, bekas ciuman Damian.
***
"Dia sadar." Damian menyesap minumannya sambil berdiri terpaku menatap kepemandangan dari jendela lantai atas kantornya.
Vanessa, yang masih bersama Freddy hanya diam terpaku. Damian sudah menceritakansemuanya kepada mereka tadi, tentang sadarnya Rafi dari komanya. Dan sekarang lelakiitu hanya terdiam dan mengulang-ulang kata 'dia sadar' 'dia sadar' sambil menatap keluar.
Vanessa menarik napas mulai tak sabar, sedangkan Freddy hanya mengetuk- ketukkan tanggannya di lutut. Damian masih belum menunjukkan tanda-tanda memaafkannya jadidia memilih diam dan tidak mengatakan apa-apa.



"Kurasa karena perkembangan baru yang tidak terduga ini, kau akhirnya memutuskanuntuk melepaskan Serena?"
Pertanyaan Vanessa itu membuat Damian mendadak memutar tubuhnya dengan tajammenghadap Vanessa dan menatapnya dengan mata menyala-nyala.
"Dia belum memilih," gumam Damian setengah menggeram. "detik terakhir sebelumnya,dia menerimaku dalam pelukannya, membalas pelukanku dan aku yakin akan menerimaajakanku untuk pulang bersamaku."
"Sudahlah Damian, sekarang kan tunangannya yang setia ditungguinya selama duatahun sudah sadar, kau tidak bisa......" tanpa sadar Freddy bersuara memberikanpendapat seperti kebiasaannya sebelumnya. Tapi langsung berhenti mendadak ketika menerima tatapan tajam penuh permusuhan dari Damian, "Aku....aku hanyamencoba memaparkan kenyataan di depanmu." suara Freddy hilang tertelan karenatatapan Damian makin tajam.
Vanessa menghela napas sekali lagi,
"Damian, Freddy benar, sadarnya Rafi ini bukankah merupakan tujuan hidup Serenaselama ini? Biarkan mereka berbahagia Damian, mereka pantas mendapatkannyasetelah tahun-tahun penuh penantian dan ketidakpastian yang menyiksa."
"Tidak!" Damian tetap bersikeras, "aku tidak bisa menyerah begitu saja danmembiarkan Serena salah memilih. Dia mencintaiku. Perasaannya pada Rafimungkin hanya kasihan."
"Kenapa kau tidak bisa berpikir kalau perasaannya kepadamulah yang mungkin hanyaperasaan sesaat karena keadaan yang dipaksakan? Kau pernah dengar apa ituStockholm Syndrome?" sela Vanessa jengkel.
Damian tercenung, tentu saja dia tahu apa itu Stockholm Syndrome, dan menyakitkan kalau menyadari bahwa perasaan Serena kepadanya mungkin ditumbuhkan oleh situasi keterpaksaan. Dengan gusar diusapnya rambutnya,
"Aku akan menanyakan langsung padanya. Nanti. Setelah kondisi tunangannya lebihbaik."
Vanessa tidak berkata-kata. Dan Freddy hanya diam, tak tahu harus bicara apa lagi.
***

A Romantic Story About Serena by Santhy AgathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang