Keesokan harinya, adalah pelajaran favorit kesayangan yang paling gue suka(bayangkan betapa ketidak efektifannya kalimat gue!). Yaitu IPS. Pelajarannya Bu Ningsih. Uuu, dari kelas orok gue emang suka pelajaran satu ini.
Kayak biasa. Baris. Berdoa. Literasi sesaat. Habis itu jam pelajaran pertama. Gue ngeluarin benda pusaka alias LKS gue yang emang udah lecek dan penuh coretan gambar asburd khas gue. Beda sama temen-temen gue yang lain, yang masih kinclong karena jarang kesentuh.
Biasa aja kali. Selow.
Gue duduk di bangku, ngeluarin LKS dan gue baca-baca bagian Samudra. Btw, kadang-kadang gue suka kebalik kalau baca Atlantik sama Artik. Ashiaap. Auk. Ah. Wikwik.
Ngerjain dikit-dikit. Habis itu diterangin. Simpel aja neranginnya, tapi gue suka cara Bu Ningsih nerangin. Gak gelap aja gitu, kan diterangin. Serah gue lah ya, kan yang nulis gue.
Pokoknya gue mulai paham aja. Habis itu, di sela waktu Bu Ningsih curhat.
"Ya ampun, Rizal," Bu Ningsih senyum sambil geleng-geleng kepala kepada Rizal, sang pembuat miniatur pocong. "Kemarin itu kamu bikin semua orang heboh tahu nggak!"
"Gimana, tuh?" tanya Yustin kepo.
"Tadi itu Ibu istigfar loh, waktu lihat pocong-pocongan di meja. Ibu kira ada yang nyantet," curhat Bu Ningsih. "Guru-guru pada nanya, pada heboh. Bu Bunga akhirnya cerita yang sebenarnya. Pada ngasih saran suruh ngasih sangsi lah, ini lah. Ya ampun, ada-ada aja kamu."
Rizal malu-malu kucing. Mesem.
Yang lain ketawa.
Membayangkannya saja sudah ketawa. Apalagi saat membayangkan Bu Sastro, guru PKN yang bener-bener penakut ngelihat miniatur pocong kayak begitu. Soalnya, letak meja Bu Sastro dan Bu Ningsih ini berdekatan. Jadi kemungkinan Bu Sastro ya ngelihat.
Kok gue belibet ya?
Oke lanjut.
"Huuu, Rizal nih gara-garanya!" sewot Setya di bangku belakang sana. Bu Ningsih melotot melihatnya.
"Setya! Kamu belum bayar kas dari bulan November, ya..." jawab Bu Ningsih sambil senyum aneh. Tangannya mengeluarkan sebuah ponsel. "Mau ibu hubungi ibu kamu?"
"JANGAN, BUUU!!!" ucap Setya. "Oke, selow Bu, selow."
"Selow selow!" Bu Ningsih sewot. "Pokoknya uang kas jangan dipakai buat fotokopi!"
"Ya, Bu..." jawab Melia, bendahara kelas sambil mencatat sesuatu di buku kas.
"Mel, si Setya tagih setiap hari! Kelamaan nggak bayar nanti," ucap Bu Ningsih. Setya meringis. Melia ngangguk. Gue melongo.
Temen-temen sekelas gue curhat ke Bu Ningsih. Beliau itu guru yang baik dan segala ucapannya itu jadi quotes yang bener-bener ngena dan keren. Mungkin beliau motivator tak sampai.
"Kalau ada yang nggak menghargai kamu, atau apapun, jangan marah. Jangan kesal! Jangan dendam. Kalau kita juga dendam, kita nggak ada bedanya dengan orang jahat itu," nasihat Bu Ningsih yang bikin hati gue adem. "Tapi doakan saja yang terbaik. Meskipun hati kita jengkel, biasanya doa orang jengkel itu... Dikabulinnya bertolak belakang."
Tips! Berdoalah yang baik-baik buat orang yang nyakitin kita, karena doa baik itu akan meleset menjadi kejelekan untuk dia. Singkatnya, dia bakal kena azabnya sendiri.
Siapa tahu kita masuk Indosiar dalam acara Azab Cintaku Kesandung Molen Gilingan Pocong. Lalu dapet royalti, kaya tujuh turunan, ashiaap.
Yang lain ketawa.
"Kalau kurang, kita cukup kasih hadiah ke orang jahat itu, kasih dia sajadah. Bilangin, jangan lupa sholat. Begitu yang baik," nasihat Bu Ningsih. Kami nggangguk semua, tanda setuju. Wali kelas gue ini baikkk banget.
Kelamaan di kelas normal, biasa aja dan monoton membuat gue menutup mata bahwa nggak semua makhluk Tuhan itu normal. Contoh kecilnya, kelas gue ini.
Gue bersyukur. Entah apa jadinya kalau gue enggak di sini, selama ini.
"Anak-anak, besok kita nyocokin LKS bab Samudra, sebelum lanjut ke bab berikutnya. Selamat pagi."
"Pagi."
"Oh ya, Rizal, persiapkan dirimu karena bentar lagi Ibu akan manggil orangtua kamu," tutup Bu Ningsih sambik menutup pintu kelas.
Blam.
Semuanya kembali kasak-kusuk, tinggallah Rizal bersama keheningan yang menyerangnya. Andai dia bisa puter waktu, dia nggak mau bikin miniatur pocong itu. Gue ngerti.
Bel berdentang, jam IPS berakhir dengan dramatis dan cielah, gue langsung sedih gimana gitu. Waktu berasa begitu cepatnya. Gak terasa. Nggak kira-kira. Gue masih rindu pelajaran satu itu.
Tiba-tiba. Bu Bunga melewati pintu kelas gue dengan senyam-senyum.
"Rizal mana, ya?" tanya Bu Bunga.
Deg! Rizal jadi tegang. Dia bener-bener takut orangtuanya dipanggil sekarang, dia kan belum siap mental buat dengerin konser emaknya. "Ke-kenapa, Bu?"
"Oh, masih normal. Nggak apa-apa, ngecek doang." Bu Bunga ketawa kecil.
"Yee... Emangnya saya mau kesurupan, apa!" Rizal protes. Bu Bunga ketawa sambil geleng-geleng kepala, lalu pergi meninggalkan kelas kami.
Ya... Ini memang bukan jam Matematika, sih.
Kelas gue emang kreatip. Otaknya rada miring. Kelasnya rada-rada, keturunan alien semua. Ventilasi jebol, jamnya pecah dan ilang. Sapu berserakan di pojokan. Hebatnya, Bu Ningsih nggak menyerah. Hebat.
Letak kreatip kelas gue adalah membuat miniatur pocong dan memajangnya di jendela kelas, dan sukses membuat seisi ruang guru istigfar. Jika mereka bisa lebih berjiwa wirausaha, mereka bisa bikin lebih banyak miniatur pocong dan menjualnya buat pajangan rumah-rumah penduduk.
Atau buat media santet mantan. Serah.
Terlepas dari ruang kelas yang gue tempati ini beneran angker atau enggak, atau berbagai makhluk tak terlihat ngawasin kita dalam diam atau enggak, gue bangga nggak jadi indigo.
Gue lebih suka menjalani hari-hari biasa dengan teman-teman luar binasa. Gue lebih suka jadi orang biasa aja, dan bisa bersahabat dengan orang-orang yang gue sayang. Cuma itu yang gue mau.
Bumi, 15 Feb 19.
Nastarzf, masih jomblo dan masih hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Si Munyuk (TAMAT) √
Short Story(Rank 28 in #SMP) Ini diary gue, Munyuk mengenaskan di kelas yang penghuninya peranakan setan semua. Udah nggak kehitung berapa guru yang resign dari ngajar kelas neraka satu ini. Bahasanya alay parah. Mata minus tidak disarankan membaca. ❗Sebagia...