"Jika malammu terasa sunyi, akan kuramaikan dengan merdunya suaraku. Jika dinginnya pagi menusuk tulangmu, akan kuhangatkan dengan pelukan lembut tubuhku. Janjiku"
-Ragha Anggaraksa-
Pagi yang cerah, namun tak secerah raut wajah Gavin saat ini. Mengenakan kaos putih polos yang dibalut dengan kemeja oversizenya, celana jeans dan sepatu hitam vanz bergelanyut di kakinya. Wajahnya terlihat murung, mungkin efek perdebatan semalam. Namun, yang ia syukuri malam itu Ayahnya belum pulang dan Mak Sum telah terlelap di kamar belakang, sehingga tak ada yang mengetahui kemarahan Sabrina. Vas bunga yang Sabrina pecahkan sudah Gavin bersihkan semalam.
Hatinya bergemuruh, ada rasa khawatir yang ketara. Tadi malam Gavin sudah berusaha meminta maaf pada Sabrina, tapi tak ada jawaban. Yang Gavin dengar hanya isakan lirih yang tertahan, memilukan. Dan tadi sebelum menuju meja makan, ia sempatkan menengok sebentar kamar Sabrina, namun masih tertutup rapat. Bahkan lampu kamar masih mati, artinya Sabrina masih terjaga. Gavin membiarkannya, Sabrina butuh waktu.
" Ga, Sabi mana?"
Gavin hanya menatap Ayahnya malas dan mengedikkan bahunya. Ayahnya yang melihat itu hanya menggelengkan kepala, ia yakin pasti ada yang salah.
Dari tangga terlihat Mak Sum membawa bed cover bermotif bunga mawar putih. Milik kamar Sabrina. Kening Gavin mengkerut, bukankah Sabrina belum bangun?
" Mak, kok bedcover nya Sabi di ambil? Bukannya Sabi masih molor?" tanya Gavin yang sontak menghentikan langkah Mak Sum.
" Lho den Gaga don't know po kalau non Sabi udah berangkat tadi morning-morning sekali?"
" hah? Sama siapa?"
" Yo together with den Ragha the one and only"
Gavin menghembuskan nafasnya kasar.
" oh Ragha udah balik?" Gavin menulikan pendengarannya dan mengacuhkan pertanyaan ayahnya.
Ayah Gavin beralih ke Mak Sum.
" Sum, bedcovernya kenapa dilepas? Ntar malemkan Sabi masih tidur di sini" tanya Ali lembut.
" nuwun sewu ndoro, non Sabi minta kamarnya dibersihkan, katanya entar malem nggak pulang"
" nggak pulang? Padahal Juna baru pulang besok" Ali berpikir.
" permisi ndoro, nyuwun pamit" Ali mengangguk sebagai persetujuannya, kepalanya beralih ke anak laki-laki nya yang entah sedang melamunkan apa.
" Ga" tak ada balasan, Ali hanya mendengus pelan dan menggelengkan kepalanya.
" Gavindra" panggilan kedua berhasil memecahkan lamunan Gavin.
" Ya yah?"
" Marahan sama Sabi?"
" Sabi yang marah sama Gaga Yah"
Ali kembali mengerutkan keningnya. Ali tau sejak dulu semarah apapun Sabrina hanya Gavin yang bisa melunakkannya, seperti yang pernah terjadi dulu.
" ajakin makan ice cream juga entar baikan lagi, ya kan?" ucap Ali lalu tersenyum.
" kali ini kayaknya nggak yah"
" kenapa?"
Gavin termenung, apakah ia juga harus memberitahu Ayahnya mengenai pertemuan nya dengan seseorang kemarin. Cukup lama hingga Ali menyadarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLOT
Teen FictionKisah ini adalah susunan cerita masa lalu. Potret-potret yang berjejer terbentuk menjadi sebuah kaset, yang akan terputar kembali tanpa diminta. Luka, sesal, suka dan cita terekam baik di dalamnya. Untuk saat ini, Bagi Sabrina mencintai Ragha bukan...