" sesuatu yang lebih membunuh dibanding sianida, Sendirian"
-Sabrina Ghaliya-Seminggu berlalu setelah kematian Arjuna. Sabrina menepati janjinya, tak ada air mata. Dia melakukan aktivitas seperti biasa.
Namun, ternyata hal itu membuat Sabrina semakin terlihat memilukan. Tak ada lagi celoteh Sabrina yang dulu, tawanya yang menggebu. Tatapannya semakin kosong tiap harinya, wajahnya memucat, bibir keringnya tak pernah terpoles lipstik lagi.
Sabrina tidak lagi hancur, tapi jiwanya benar-benar mati.
Pagi ini di meja makan, semua terasa sunyi. Sabrina hanya mengaduk-aduk makanannya. Sedangkan Gavin, menatap khawatir Sabrina.
" Bi, entar ikut Ayah ya" ucap ali dengan hati-hati.
" Sabrina nggak papa Yah" ucap Sabrina.
" Iya Ayah tahu, cuma ngobrol bentar sama temen ayah ya" bujuk Ali sekali lagi.
Teman yang Ali maksud adalah psikiater. Akhir-akhir ini Sabrina semakin tidak terkontrol, kadang dia bercerita hingga tertawa terpingkal-pingkal tapi setelahnya isakannya akan mendominasi.
Ekspresi Sabrina berubah.
" Sabrina nggak butuh mereka, Sabrina nggak gila Ayah" ucap Sabrina dengan mata berkaca-kaca.
Brakk
Gavin merasa jengah dengan pembicaraan kedua manusia di depannya, jadi dia memutuskan untuk pergi.
" Ga, anterin Sabrina!" Teriak Ali.
" Nggak minat semobil sama mayat hidup" jawab Gavin sinis.
Mendengar ucapan sadis Gavin, Sabrina hanya bisa tersenyum tipis. Sedangkan Ali sudah mulai pusing dibuatnya.
" Sabi bareng Ayah aja ya" ajak Ali yang dijawab Sabrina dengan anggukan.
Gavin sudah benar-benar tidak bisa membiarkan ini. Seharusnya Gavin merasa senang, karena sejujurnya ini memang yang dia tunggu. Ragha menghilang, jadi kesempatannya bersama Sabrina akan lebih besar. Tapi entah mengapa, melihat Sabrina hancur seperti ini terlalu mengganggu pikirannya.
" Mana Ragha?" tanya Gavin to the point.
Kini dia berada di rumah Ragha.
" Bandung" jawab Riga dengan wajah datarnya, membuat Gavin memutar bola matanya lalu tersenyum sinis.
" Lo kira gue goblok?" Tanya Gavin dengan volume yang meninggi.
" Riga? Siapa tamunya?" Suara Reta dari dalam rumah.
" Temen Riga Ma, nggak papa" jawab Riga sedikit berteriak.
" Bisa santai dikit nggak sih lo? Nggak sopan" kata Riga.
" Sabrina udah kaya mayat hidup gara-gara Kakak sialan lo! Dan gue harus santai? Emang keluarga Lo gila semua" ucap Gavin semakin menggebu.
Riga semakin mengeratkan kepalan tangannya. Mendengar kalimat terakhir Gavin membuat hatinya mencelos.
" Ikut gue" ucap Riga menahan marah.
Setelah 5 menit, keduanya sampai di cafe milik Ragha. Awalnya Gavin kaget dengan tulisan tutup di delan pintu, tapi dia mengabaikannya.
" Ragha ngumpet di sini?" Tanya Gavin sinis.
" Bisa nggak lo ngomongnya biasa aja?" Kata Riga berusaha tenang.
Gavin hanya memutar bola matanya lalu mengedikkan pundaknya tidak peduli.
" Gue udah ke Bandung, nyari Ragha"
KAMU SEDANG MEMBACA
PLOT
Teen FictionKisah ini adalah susunan cerita masa lalu. Potret-potret yang berjejer terbentuk menjadi sebuah kaset, yang akan terputar kembali tanpa diminta. Luka, sesal, suka dan cita terekam baik di dalamnya. Untuk saat ini, Bagi Sabrina mencintai Ragha bukan...