[-19] Suara di Tengah Hutan Belantara

67 12 5
                                    

Vote dulu sebelum baca, yuhuuu :)

"Gelap, malam ini rindunya semakin menjadi"

-Rain-

***

Aku menatap mobil - mobil yang berlalu lalang. Ada yang berbaris rapi demi keselamatan diri, ada pula yang berebut  karena sang waktu meminta untuk bergelut.

Siang ini, menjelang pukul dua, aku sudah berada di dalam mobil bersama anak - anak sastra lainnya. Aku duduk di kursi tengah, paling pojok sebelah jendela. Jadi aku bisa menatap jalanan kapan saja.

Butuh tiga mobil untuk membawa 20 anak sastra dan 4 anak SCC. Ditambah dua pendamping yaitu Bu Fitri dan Pak Luthfi. Serta kakak - kakak alumni yang dulu juga menjamah ekstrakurikuler sastra. Mbak Kanaya dan Mbak Theo.

Pukul empat ban mobil berhenti bergerak. Kini aku ada di Bumi Perkemahan dan Wisata Pandansari. Hamparan rumput hijau seperti karpet yang digelar berhektar - hektar. Beberapa tenda sudah disiapkan dari pihak bumi perkemahannya. Sudah ada musala, warung, juga kamar kecil.

Aku satu tenda dengan Reva, Najma, Cinta, dan Nofah. Tidak ada yang merasa sempit di sini, karena kami bukan orang yang berisi.

Sebelum maghrib, semua anak sastra berkumpul di tengah - tengah rumput hijau. Kami bermain game di sini. Dibagi menjadi dua kelompok, dan game ini benar - benar membutuhkan kerja sama total dari seluruh anggota kelompok.

Beberapa menit menjelang maghrib, tiap kelompok mempersiapkan pentas seni yang akan ditampilkan nanti malam ketika acara api unggun.

Petang tenggelam, maghrib tiba. Seluruh anak sastra, SCC, pembina dan pendamping memasuki musala. Salat berjamaah, kemudian mengaji bersama. Setelah kegiatan religius, dilanjutkan makan malam di pondok - pondok kecil sembari menikmati jutaan taburan bintang di angkasa. Juga mendengar kodok yang bernyanyi di malam hari.

Sebelum menyalakan api unggun, semua anak duduk di tengah lapangan. Sekarang masuk materi sastra dan jurnalistik. Juga materi kamera untuk SCC.

"Jadi gini adek - adek. Yang namanya menulis itu harus pakai rasa. Menulis itu ibarat memberikan nyawa pada tiap aksaranya. Biar tulisan itu hidup, kalian harus memberi energi ke tulisan itu." Jelas Mbak Kanaya.

"Oke ini bikin kalian pusing. Kalian pernah nggak baca buku sampai nangis? Sampai nangis sesegukan, atau juga ketawa yang benar - benar bikin perut sakit?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Mbak Kanaya.

"Nah itu dia! Itu yang namanya aksara memiliki nyawa. Feel dalam tulisannya itu dapar gitu loh. Dan kalau kalian pernah membaca buku sampai nangis, kalian harus memberi apresiasi sama penulisnya. Dia berarti hebat. Dia udah memberi nyawa ke tulisannya." Mbak Kanaya tersenyum begitu bahagia di depan walaupun wajahnya tidak terlihat sebab pekatnya malam.

"Nah kalian - kalian di sini 'kan calon - calon sastrawan, calon penulis, aku mau ngasih tau ya ke kalian, hal pertama yang kalian lakuin untuk menjadi penulis adalah mencintai sebuah karya. Kalau kalian tidak mencintai karya, entah itu karya sendiri atau karya orang lain, ya kalian juga susah untuk memulainya."

"Aku berdiri di sini tuh bukan kayak kebanyakan omong, sok tau atau apa, tapi di sini aku, Kanaya cuma ingin memberi sebuah hal yang mungkin buat orang di luar sana tuh enggak berguna. Kalian anak - anak hebat. Kalian dengan hati yang tulus mau menjamah sastra, sebuah bidang yang sangat diremehkan sama banyak orang di luar sana. Aku mau bilang, tetap jalani apa yang kamu jalani. Kamu ikut aja plot yang udah diatur. Jangan dengar apa kata orang, kamu bisa berjalan dengan cinta yang kamu punya. Karena aku yakin, Tuhan nggak akan menciptakan tanpa tujuan yang bermakna."

RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang