Aku Benci Kota Baru

122 13 7
                                    

Kupandangi awan hitam menggumpal yang bergerak pelan di atas sana. Pagi yang seharusnya aku menyaksikan mentari, hari ini aku tak dapat menjumpainya. Seolah ketidakhadirannya menandakan bahwa ia telah menantiku di tempat lain. Rasanya hari ini memang beda.

Semilir angin menembus jendela kamarku, menyeruakkan dingin ketika bertubrukan dengan kulit. Tidak bisa kupastikan bahwa aku benar-benar sudah dalam keadaan baik. Masih ada beribu keraguan, kebingungan, kekesalan, dan kebencian. Tetapi aku tidak punya pilihan lain. Inilah episode tersulit dalam hidupku ketika aku harus menjalani sesuatu karena keterpaksaan.

Hari ini adalah hari keberangkatanku menuju kota baru yang akan menjadi tempatku menimba ilmu selama kurang lebihnya empat tahun ke depan. Berat sekali rasanya. Jika seharusnya meninggalkan rumah untuk kuliah di luar kota adalah hal yang menggembirakan bagi setiap mahasiswa baru, aku justru merasakan sebaliknya. Aku sama sekali tidak ingin pergi. Apa lagi pergi ke kota asing yang tidak pernah menjadi cita-citaku.

"Oke selesai. Sudah siap?" Tanya Bunda setelah selesai menyiapkan perlengkapan yang akan ku bawa ke Jember.

Iya, aku akan kuliah di Jember, di salah satu Universitas yang ada di Jember. Pada waktu itu jalur pendaftaran reguler sudah habis, kemudian Ayah mendaftarkanku lewat jalur mandiri. Sebenarnya Bunda sudah beberapa kali menanyaiku ingin kuliah di mana, mengambil jurusan apa, tetapi karena aku sangat kacau, bahkan aku tidak ingin kuliah. Akhirnya Bunda serahkan semuanya kepada Ayah.

Ayah memilihkan Jember karena di sana aku akan tinggal di rumah Pakdeku, kakak laki-laki dari Bunda. Kata Ayah rumah Pakdeku dekat dengan kampusku. Jadi Ayah dan Bunda tidak perlu khawatir karena akan ada yang memantau aktifitasku di sana. Ayah harus memastikan bahwa aku harus kuliah dengan baik, rajin belajar, tidak boleh pacaran, tidak boleh keluyuran bebas. Sama halnya dengan Bunda, Bunda tidak berhenti mengingatkanku untuk rajin beribadah dan yang paling Bunda tekankan aku tidak boleh melepas Jilbab jika ke luar rumah.

Pakdeku memiliki tiga anak, perempuan semuanya. Yang pertama namanya Mbak Arini, sudah menikah dan ikut suaminya di Pasuruhan. Yang kedua Mbak Septi, sekarang sedang menempuh S1 semester akhir di Universitas Negeri Malang jurusan Psikologi. Yang ketiga Ratna, masih kelas 2 SMA. Jadi sekarang di Rumah Pakde Rahmat hanya ada Bude Rima dan Ratna karena mbak Septi ngekost di Malang.

Meski kehidupanku di Jember sudah begitu terjamin, aku tetap tidak berminat kuliah di sana. Harapanku telah kuberikan sepenuhnya pada kampus impianku, dan yang kuterima adalah kekecewaan. Ahh, mengingatnya kembali hanya membuat dadaku sesak.

"Bunda, gimana kalau aku nggak betah di Jember?" Tanyaku pada Bunda yang masih mengecek perlengkapanku di dalam koper. "Apa Ayah akan marah?" Bunda menghampiriku yang berdiri di dekat jendela.

"Harus betah." Ujar Bunda. Aku mendesah panjang, melirik ke luar jendela. Alunan gemericik gerimis seolah mengiringi resah yang kian membuatku gelisah.

"Lila, lihat Bunda." Bunda menangkup wajahku, menghadapkan kearah wajahnya. "Kamu masih ragu?" Aku mengangguk pelan.

"Aku nggak ada minat kuliah di Fakultas Pertanian Bun, apalagi jurusan Ilmu Tanah. Aku nggak tau sama sekali tentang dunia pertanian. Gimana kalau aku nanti nggak bisa, terus teman-temanku cerdas-cerdas begitu?" Bunda malah tertawa.

"Kalau sudah cerdas ngapain kuliah? Gini ya La, Ayah sama Bunda pilihin Fakultas Pertanian itu bukan asal-asalan. Kami mempertimbangkan dengan sangat hati-hati, karena ini masa depan kamu. Sudahlah, jalani saja. Nanti kamu akan berterimakasih kepada Ayah dan Bunda karena kami memilihkan jurusan yang tepat untuk kamu."

"Bunda, Kak Lila, udah di tunggu Ayah di mobil. Cepetan gih." Kedatangan Harris menghentikan obrolanku dengan Bunda.

"Ya udah, yuk. Ris bawain kopernya kakakmu ya, Bunda ambil bekal di dapur dulu. Kamu bawa sisanya ya Lil, cepat sana. Jangan cemberut gitu." Ucap Bunda sambil mengelus pipiku.

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang