“La, Bude nggak masak. Soalnya Bude baru sampai rumah ini tadi. Kamu beli nasi goreng di depan aja ya. Ratna juga pulang malem, dia pasti udah makan di luar.” Ujar Bude selepas aku sampai di rumah.
Serangkaian kegiatan kuliah hari ini cukup melelahkan. Mengayuh sepeda dari kampus sampai rumah Bude membutuhkan energi yang cukup banyak, dan kini energiku telah terkuras habis. Perutku sudah benar-benar membutuhkan asupan sehingga aku langsung membeli nasi goreng tanpa sempat mandi terlebih dulu.
Warung penjual nasi goreng bertempat di samping komplek perumahan. Sebenarnya tidak jauh, tetapi karena tubuhku telah kehilangan banyak tenaga, mengayuh sepeda menuju samping komplek terasa sejauh Jember-Surabaya.
Sesampai di warung, aku mendapati antrean pembeli nasi goreng yang cukup banyak. Sepertinya aku harus lebih bersabar. Pas lagi lapar-lapar begini banyak pembeli. Pas lagi tidak pengen beli saja warungnya sepi. Aku tidak punya pilihan lain selain harus mengantre karena warung nasi goreng ini adalah warung terdekat dari rumah Bude.
Aku masuk ke warung dengan langkah gontai, berusaha menahan kerewelan perut yang sudah berdangdut ria sejak tadi. Tak sengaja, penglihatanku menangkap objek yang rupanya cukup familiar. Kurasa dunia memang sangat sempit. Lagi-lagi aku bertemu Mas Gusti pada sebuah kebetulan. Aku menghentikan langkahku. Jadi beli tidak ya? Sudah lapar pula. Tapi tidak enak kalau ada Mas Gusti. Ahh, ngapain juga sih aku harus menghindar terus.
“Mas, nasi goreng satu ya, di bungkus.” Pesanku pada penjual nasi goreng.
“Pedes mbak?”
“Nggak mas.”
“Ditunggu ya mbak. Silakan duduk.”
Hening. Hanya suara spatula dan alat penggorengan yang saling bertubtukan. Sejujurnya aku ingin duduk, tetapi satu-satunya tempat duduk yang tersisa hanya disebelahnya Mas Gusti. Kebetulan macam apa lagi ini.
“Duduk mbak. Capek lo nanti berdiri terus.” Ujar mas-mas penjual nasi goreng, aku tak menyahutnya.
Setelah kurasa tubuhku butuh penopang, akhirnya aku memutuskan untuk duduk juga. Tidak ada percakapan, Mas Gusti diam saja sambil sibuk menatap layar ponselnya. Dia mengenaliku atau tidak sih? Ahh iya, sebenarnya aku masih punya utang maaf. Ngomong tidak ya? Aku terus dihantui rasa bersalah.
"Soal kemarin, saya minta maaf." Meski perlu berulangkali menunda kumengutarakan kalimat ini, akhirnya terutarakan juga.
Aku mendengar sahutan cekikikan dari sebelahku yang ternyata adalah Mas Gusti. Aku mengernyit bingung. Apa mungkin ada yang aneh dengan penampilanku? Atau jangan-jangan ada sesuatu di wajahku? Ahh sepertinya tidak.
"Kok malah tertawa?" Tanyaku. Entah apa yang terlihat lucu disaat kini aku benar-benar butuh keberanian untuk mengatakan maaf kepadanya.
"Lucu kalau ingat kemarin." Katanya. Aku mengerutuki diriku, bodoh sekali memang. Aku kan jadi malu sekarang. Benar dugaanku, pasti aku sudah diasumsikan yang macam-macam sampai sekarang aku ditertawakan.
"Kemarin saya bener-bener nggak nyangka. Saya nggak tau kalau Mas Gusti tinggal di depan rumah bude. Jadi kan saya ngiranya macam-macam."
"Iya-iya, sudah saya maafkan kok." Sambungnya. Aku cukup lega, walaupun jika kubayangkan lagi kelakuanku memang memalukan. Tetapi tetap saja, kejadian ini bermula dari Mas Gusti. Aku tidak bisa benar-benar melupakan kejengkelanku hari itu, ujung-ujungnya aku kesal ketika mengingat-ingat dia memarahiku dengan kata-kata yang menyakitkan.
"Sebegitu bencinya ya kamu sama saya?" Eh, rupanya aku perlu berhati-hati. Dia benar-benar bisa membaca pikiranku.
"Hah? Enggak kok, siapa yang benci?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Fiksi RemajaTerdampar di Jember bukanlah pilihan Alila. Ia tak pernah bercita-cita masuk Fakultas Pertanian, apalagi berangan akan terjun di antara liat untuk mengetahui asam dan basa tanah. Pilihannya untuk mengejar gelar S1 di sana seringkali membuatnya menye...