Tetangga

30 6 12
                                    

Aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan sedang. Hari ini cuaca cukup panas, namun hembusan angin yang menerpa memberikan kesejukan bagi tubuh yang terpapar langsung terik matahari. Aku mencoba menikmati pemandangan yang kutemui disepanjang perjalanan pulang. Tidak ada yang begitu mengesankan, atau mungkin aku belum menemukan yang berkesan.

Hari ini aku merasa beban kuliah lebih ringan, sebab kuliah tidak sampai sore hari. Jadwal mata kuliah memang masih berupa teori-teori, belum sampai praktikum. Namun ya tetap saja, berpikir itu juga lelah. Jadi, tidak ada salahnya menikmati pulang lebih cepat, setidaknya aku bisa lebih lama tidur atau bersantai di kamar.

Jam segini kira-kira Ayah dan Bunda sedang apa ya? Kalau Harris masih di sekolah. Ahh, jadi rindu. Ingin dimasakkan Bunda soto ceker ayam. Ingin nonton bola dengan Ayah. Ingin bersepeda dengan Harris di area pematang sawah. Aku ingin pulang, sekarang juga. Tapi jarak memenjarakanku di sini. Membiarkan rindu menumpuk, lalu tersampaikan melalui angan atau bayang.

Ehh aku nggak salah lihat?

Saat aku hendak menyebrang dan menengok kebelakang, aku melihat seseorang yang memiliki wajah mirip dengan Mas Gusti, dia mengayuh sepeda di belakangku. Mas Gusti bukan ya? Bukan deh kayaknya. Tapi aku penasaran. Akhirnya aku menengok ke belakang lagi dan dugaanku… benar. Dia Mas Gusti.

Cobaan apa lagi ini ya Allah. Kenapa dia bisa mengikuti aku coba? Kuayuh sepedaku dengan lebih kencang. Rumah Pakdeku terasa pindah lebih jauh karena tak sampai-sampai. Pikiranku berdebat lagi. Kenapa aku harus menghindar? Oke. Kalau begitu akan kupastikan apa maunya ini orang yang terus mengusikku. Kupelankan kecepatanku untuk mensejajari sepedanya. Dengan santainya dia malah menyalipku. Aku mengejar sepedanya.

“Eh tunggu.” Dia tidak menoleh padaku sama sekali. Aku langsung menghadangnya dengan sepedaku supaya dia menghentikan sepedanya.

“Ada apa?” Tanyanya.

“Saya yang seharusnya tanya kamu. Kamu ngapain ngikutin saya?” Aku tidak tahu mendapatkan keberanian dari mana untuk bertanya selancang ini kepada kakak tingkatku sendiri.

“Ngikutin kamu? Ngapain saya ngikutin kamu?” Cowok itu tampak santai sambil terkekeh.

“Ya mana saya tau. Terus tadi di belakang saya, apa namanya kalau nggak ngikutin? Kamu mata-mata ya? Atau... Penguntit?” Jujur, sebenarnya aku tidak ingin mempermasalahkan kenapa Mas Gusti mengikutiku. Tetapi rasanya hatiku terus terusik dan ingin memastikan untuk apa dia membututiku. Bahkan ini sudah sampai masuk di area perumahan.

“Hhhh. Kamu dendam sekali ya sama saya? Sampai menuduh saya mata-mata dan penguntit?" Ujarnya sambil tertawa kecil. "Baru kali ini ketemu cewek aneh.” Sepedanya langsung menerobos. Mengataiku cewek aneh? Dia lebih aneh dari aku.

“Eh apa kamu bilang?” Teriakku dan berusaha mengejarnya.

“Sekarang siapa yang ngikutin coba?” Katanya menoleh ke belakang sambil tetap mengayuh sepedanya. Kok jadi begini sih? Siapa yang ngikutin siapa?

“Ihh, ini emang jalan menuju rumah saya.” Jawabku kesal.

“Ya udah kalau gitu, ini juga jalan menuju kontrakan saya. Kenapa mesti marah-marah sama saya coba?”

What?”

Aku langsung terkejut. Ahh lebih tepatnya malu. Sangat memalukan. Kemudian sepeda Mas Gusti berbelok di sebuah rumah minimalis tepat di depan rumah Bude Rima.

“Lho kamu tinggal di situ?” Tanyanya yang tampak kaget juga. “Wah nggak nyangka tempat tinggal kita berseberangan gini. Salam kenal tetangga baru.” Ucapnya sambil terseyum. Baru pertama kali aku melihat senyumnya yang seperti ini, entahlah namanya senyum apa. Kemudian dia membawa sepedanya masuk ke dalam gerbang.

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang