Aku melangkah ragu, menimbang kembali apa aku perlu menemuinya. Kembali kuperikasa suasana disekitarku, tidak ada siapaun yang tertangkap penglihatanku. Gerbang tertutup rapat. Melalui celah-celahnya, kuperhatikan suasana di dalamnya. Tidak ada siapapun juga.
"Ah. Aku ini ngapain sih?" Gumamku setelah merasa tidak seharusnya aku mencarinya. Aku mendengus pendek.
"Cari saya?" Aku terpanjat kaget. Mas Gusti sudah berdiri tegap di belakangku saat aku hendak berbalik untuk menyebrang.
"Eee... Anu ̶ "
"Apa itu?" Aku mengikuti arah pandangnya ke bawah, pada sebuah benda persegi panjang yang kugenggam.
"Emm. Ini... oleh-olehnya." Aku menyodorkannya pada Mas Gusti, benda berbungkus plastik warna ungu itu. Dia menatapnya untuk sepersekian detik, kemudian mengambil alih dari genggamanku. Sesaat kemudian dia terkekeh. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Merasa tidak mengerti apa yang sedang dia tertawakan.
"Cokelat itu biasanya cowok yang ngasih ke cewek. Kok ini kebalikannya?"
"Ya... Nggak apa-apa kan?"
"Ya nggak apa-apa. Lagian, ini kan banyak di sini?"
"Tapi aku belinya di Surabaya, deket rumahku. Beda Mas sama yang ada di sini." Mas Gusti tersenyum lebar. Entah kenapa aku juga ikut tersenyum.
"Ya udah, makasih ya. Padahal waktu itu aku nggak serius minta dibawain oleh-oleh."
"Iya. Sama-sama. Dimakan ya, aku balik dulu." Aku segera bergegas untuk meninggalkan Mas gusti. Lama-lama aku bisa diabetes malah ribet jadinya.
Sejujurnya aku sempat dilema sekali harus membawakan oleh-oleh apa untuk Mas Gusti. Aku tahu kalau cokelat bukan pilihan yang cukup tepat untuk diberikan kepada laki-laki. Entahlah, tadi pagi saat hendak berangkat ke stasiun aku mampir ke supermarket untuk membeli beberapa perlengkapanku dan sebatang cokelat yang biasa mengisi tasku. Karena aku tak bisa berpikir lama, akhirnya aku memutuskan untuk membelikan cokelat juga untuk Mas Gusti.
Apa yang ada di pikirannya ya? Apakah aku dianggap ewek aneh? Atau... ahh terserahlah. Aku beralih mengecek ponselku karena sudah berkali-kali bergetar. Beberapa pesan di grup WhatsApp dan satu pesan teratas dari Mas Ifan.
Mas Irfan
Kok yang dikasih oleh-oleh cuma Gusti to Lil. Buat aku mana? Ini Gusti gak mau bagi2 lho. Langsung dibawa ke kamar gitu. Pasti cokelatnya disimpen tuh, ga bakal dimakan.Aku tersenyum lebar, seraya menahan euforia entah tersebabkan apa. Pipiku pasti sudah mirip kepiting rebus, ahh inikah yang namanya cinta? Iya, aku dapat menyimpulkannya sekarang. Aku jatuh cinta Mas, sungguh ini bukan rasa kagum biasa.
~~~
Serangkaian praktikum yang berlangsung hari ini cukup membuatku lelah. Belum berakhir, masih ada satu kali lagi praktikum jam tiga nanti. Total hari ini ada tiga kali praktikum. Luar biasa sekali. Sekarang aku percaya bahwa anak pertanian itu memang memiliki jadwal yang sangat padat. Disaat mahasiswa-mahasiswa lain setelah pulang kuliah bisa nongkrong, malam mingguan, santai-santai di kost, kami harus mengerjakan laporan praktikum yang seabrek. Sungguh derita anak pertanian yang cukup mengenaskan.
"Kayaknya malem ini aku terancam gagal kencan deh." Ujar Vita sambil melipat jas labnya. "Dan ini gagal yang ketiga kalinya. Bayangin deh, Dika tuh sampe nuduh kalo aku bohong. Padahal emang bener-bener banyak tugas."
"Kalo Abizar sih udah paham gimana resikonya punya cewek anak pertanian." Ujar Farah.
"Iyalah, kamu kan LDR Farah. Cowokmu di Jakarta, kalian kan nggak perlu ketemu. Bedalah sama kita yang cowoknya sekampus. Kalo Falah sih sibuk juga, aktif di organisasi gitu. Malah lebih susah lagi karena kalo pas ketemu harus menyesuaikan jadwal masing-masing. Kesel juga sih, kita jarang banget ketemu akhir-akhir ini." Timpal Diana. Itulah curhatan para cewek yang mengeluhkan padatnya jadwal anak pertanian. Itu mereka yang memiliki pasangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Teen FictionTerdampar di Jember bukanlah pilihan Alila. Ia tak pernah bercita-cita masuk Fakultas Pertanian, apalagi berangan akan terjun di antara liat untuk mengetahui asam dan basa tanah. Pilihannya untuk mengejar gelar S1 di sana seringkali membuatnya menye...