Terik matahari terasa membakar ubun-ubun. Setelah dari jam 6 pagi berdiri di tengah lapangan kini akhirnya tiba waktu istirahat. Para mahasiswa baru bubar memencar dari barisan dan mencari tempat berteduh di sekitar lapangan yang sangat luas ini. Sedangkan aku memilih berteduh di bawah pohon trembesi.
Kepalaku terasa berat, kakiku sudah pegal-pegal, padahal ini baru hari pertama. Masih ada tiga hari lagi yang akan kulewati. Aku tidak bisa membayangkan kelelahanku dengan serangkaian acara yang menurutku tak begitu berfaedah ini. Sedari pagi hanya mendengarkan panitia orasi sedangkan aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang diorasikan.
"Hei, boleh duduk di sini?" Seorang gadis berparas cantik yang mengenakan seragam sama sepertiku tiba-tiba menghampiriku. Aku langsung mengagguk sambil tersenyum.
"Siapa namamu?" Dia adalah orang pertama yang menanyakan namaku. Padahal di barisan tadi aku sudah banyak menjumpai teman-teman, tetapi tak satupun yang menanyakan namaku. Aku hanya sempat berbincang tanpa memperkenalkan diri.
“Alila. Panggil aja Lila. Kamu?" Tanyaku balik. Gadis itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Aku menjabat tangannya.
"Aku Tiara. Kamu anak pertanian juga ya?"
“Iya. Kok tau?”
“Tadi aku ada di barisan sebelahmu. Tapi, kenapa kamu nggak pakai pita merah?”
“Hmm. Pitaku hilang.” Jawabku dengan dipenuhi kerisauan. Kekhawatiranku masih belum usai, bisa saja ada panitia yang tiba-tiba menghampiriku dan langsung menghukumku.
“Kok bisa?”
“Iya pokoknya hari ini aku sial banget.” Kataku kesal mengingat kejadian tadi pagi.
“Nih buat kamu!” Tiara menyodorkan pita merah yang sepertinya ia ambil dari dalam tasnya. “Aku bawa dobel, buat jaga-jaga kalau punyaku hilang. Ini kamu pakai aja, entar kalau ketahuan kena hukum.”
“Serius nih?”
“Iya, cepetan pakai.”
“Makasih ya Ra. Sebenernya tadi aku udah dimarahin kok sama panitia, untungnya sih nggak dihukum.”
“Ohh ya? Syukur deh. Tadi aja lumayan banyak yang disuruh ke depan, disuruh nyanyi atau ngapain gitu. Pokoknya ditanya-tanya sama panitia yang di depan. Kasian mereka. Kalau kamu tadi kayak mereka gimana coba?”
“Eh serius? Yang nggak pakai atribut lengkap dihukum di depan barisan?”
“Iya. Nggak lihat tadi?”
“Barisan aku paling belakang Ra. Boro-boro lihat, denger panitia ngomong aja nggak jelas. Pikiranku kacau gara-gara pitaku hilang. Sebel banget deh aku.”
“Udah ih jangan marah-marah, sekarang kan udah dapat pitanya. Eh kamu jurusan apa?”
“Ilmu Tanah. Kamu?”
“Alhamdulillah sama, asik teman baru. Kamu asal dari mana?” Tanya Tiara.
“Surabaya. Kamu?”
“Lahir di Samarinda. Tapi Pas SMA pindah ikut Ayah di Pasuruhan. Jadi sekarang tinggal di Pasuruhan.”
“Ohh. Tiara kos di mana?”
“Di jalan Kalimantan.”
“Oh. Nggak tau, hehee. Kalau aku ngekos di rumah Pakdeku, di Perum Puri Bunga Nirwana.”
“Aku juga nggak tau tuh daerah mana.”
Memang Tuhan itu perencana terbaik. Meskipun hari ini aku menemui beberapa kesialan, tetapi disisi lain aku juga menemui keberuntungan. Tiara namanya, teman pertamaku di sini. Dia sepertinya ramah dan baik. Yang paling membuatku lebih bersyukur lagi dia satu jurusan denganku, kemungkinan kami akan satu kelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Teen FictionTerdampar di Jember bukanlah pilihan Alila. Ia tak pernah bercita-cita masuk Fakultas Pertanian, apalagi berangan akan terjun di antara liat untuk mengetahui asam dan basa tanah. Pilihannya untuk mengejar gelar S1 di sana seringkali membuatnya menye...