Hari ini adalah hari pertamaku OSPEK. Dengan penuh kemalasan pagi ini aku segera bangun dan bersiap untuk berangkat pagi-pagi. Sembari mempersiapkan atribut OSPEK, aku teringat masa-masa sebelum pengumuman SBMPTN, saat aku membayangkan aku akan kuliah di kampus pilihanku. Dengan percaya diri aku begitu yakin kalau aku akan diterima di sana. Aku terlalu bersemangat sampai aku lupa jika berharap resikonya adalah dikecewakan. Baru sekarang aku menyadarinya.
Jujur aku masih mengkhawatirkan perkuliahanku nanti. Aku takut tidak cocok dengan dunia pertanian yang selama ini tak pernah kubayangkan aku akan berkecimpung di dalamnya. Belum lagi aku tak mengenal siapapun di sana. Keraguan-keraguan semacam itu semakin menggangguku sejak awal aku sampai di Jember.
“Pfftttt. Kamu hanya perlu menjalani semua ini Lila. Kamu pasti bisa.” Gumamku di hadapan cermin untuk memberi semangat pada diriku sendiri. Kurapikan jilbabku sebentar kemudian segera keluar dari kamar untuk bergabung dengan keluarga Pakde Rahmat yang sudah berkumpul di meja makan.
“Hari ini kamu diantar Pakde dulu ya La. Besok-besok kalau sudah hafal jalan di sini kamu bisa naik sepedanya mbak Septi itu, dari pada dianggurkan kan mending kamu pakai.” Kata Bude Rima sambil menata beberapa piring di meja makan.
“Semangat ya kak hari pertama OSPEK. Hehee. Oiya hati-hati, biasanya senior-seniornya serem.” Ujar Ratna yang duduk di sebelahku. Dia sudah berseragam putih abu-abu lengkap.
“Ratna! Kok kamu malah nakut-nakutin kakakmu begitu? Nanti dia tambah gugup lho. Sekarang itu sudah tidak ada La senior-senior yang menggembleng juniornya sampai keterlaluan seperti berita di tv-tv itu. Lagi pula sekarang tidak ada senior dan junior. Semuanya sama, sama-sama mahasiswa pula. Tidak usah grogi, tidak usah minder. Jangan lupa berdoa.” Tutur Pakde yang cukup memberiku ketenangan. Sejujurnya aku memang nervous, aku tidak mengenal siapapun di sana nanti, aku benar-benar sendirian.
“Sarapannya sudah siap. Ayo langsung saja, keburu siang nanti Lila telat.” Ujar Bude. Kami segera menyantap sarapan pagi.
Pakde dan Bude memperlakukanku sudah seperti anak mereka sendiri, akupun mulai terbiasa dengan itu. Kedekatan yang sempat merenggang kini telah mulai merapat. Kecanggungan yang awalnya melekat kini mulai berganti dengan keakraban. Semuanya mulai kembali seperti dulu.
~~~
Welcome Alila. Inilah rutinitas barumu. Kampus baru, teman baru, dan lingkungan baru.
Aku tidak menyangka bahwa di sini sudah tercipta lautan manusia. Entah berapa ribu jiwa, yang jelas ramai sekali dan semuanya mengenakan atribut OSPEK seperti yang ku pakai. Tak ada satupun wajah yang kukenali. Kurasa hampir semuanya merasakan hal yang sama denganku. Terlihat raut-raut wajah bingung kemana tempat yang akan dituju. Aku melangkah ragu, mengikuti langkah-langkah yang ada di depanku.
Brukkk.
Sebuah benturan dari belakang membuat beberapa atribut OSPEK terpental dari tanganku.
“Eh maaf mbak. Maaf ya, buru-buru.” Ucap seorang gadis yang mengenakan seragam sama sepertiku. Ia langsung berjalan kembali tanpa mempedulikan barang-barangku yang berjatuhan. Menyebalkan sekali bukan?
“Ahh, come on Lila. You can.” Gumamku. Aku segera membuang jauh-jauh mood burukku dan menata kembali dengan sepenuh tenaga. Dengan kesal aku memunguti atribut OSPEK yang jatuh berserakan. Kemudian aku segera mengikuti langkah mahasiswa baru yang lainnya.
Ketika aku memerhatikan teman-temanku yang lain, sepertinya ada yang berbeda denganku. Kupastikan lagi dengan memerhatikan lebih jelas. Jantungku mulai berdegup kencang. Kulihat bagian lengan kananku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Teen FictionTerdampar di Jember bukanlah pilihan Alila. Ia tak pernah bercita-cita masuk Fakultas Pertanian, apalagi berangan akan terjun di antara liat untuk mengetahui asam dan basa tanah. Pilihannya untuk mengejar gelar S1 di sana seringkali membuatnya menye...