Empat.

142 11 0
                                    


Kelas sudah sangat sepi. Hanya tersisa Naya dan juga beberapa teman-temannya.

Sudah 1 jam sejak bel pulang sekolah berbunyi, tapi Naya masih betah duduk diam di dalam kelas. Dia sedang tidak belajar, hanya malas untuk pulang sedangkan teman-temannya tak ada yang mau di ajak jalan.

Naya hanya duduk diam sambil membaca novel yang sengaja di bawanya dari rumah. Tapi posisi duduknya tidak di bangkunya lagi, melainkan di sisi kiri kelas dekat dengan jendela.

Naya membuka jendela itu lebar-lebar. Sengaja agar angin dapat masuk kedalam nya. Naya larut dalam novel yang di bacanya hingga tidak sadar Agam sedang memperhatikannya sejak tadi.

"Nay, gapulang?"

"Eh." Naya menoleh. "Engga ah, males."

"Ngapain disini?" Agam beranjak dari duduknya setelah memakai sepatu. Dia baru saja selesai sholat ashar dan mendapati Naya sedang duduk sendirian di pinggir jendela.

"Bisa-bisa kamu dikira hantu, Nay." Kata Agam sesaat setelah mendaratkan bokongnya di sebelah Naya.

"Ya engga lah, ngaco kamu."

"Emang ga takut? Sendirian di kelas gini."

"Engga lah.. Setannya udah temenan sama aku, kok."

"Waahh namanya siapa?"

"Apanya? Setannya?"

"Iya."

"Namanya Agam, nih lagi duduk disebelah aku."

Agam tertawa kecil. Lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Dia menghela napas lelah. Mengalihkan perhatian Naya dari novel yang masih setia di bacanya.

"Capek ya, Nay."

"Emang kamu abis ngapain?"

"Kadang, yang terlihat baik-baik aja di luar, belom tentu baik-baik aja di dalam, Nay." Agam mengacuhkan pertanyaan Naya.

"Karna kamu terlalu sering berpura-pura baik-baik aja, jadi orang ngira kamu selalu baik-baik aja, padahal enggak."

Jawaban Naya membuat Agam tertegun.
Tak menyangka jika Naya merespon ucapannya dengan kalimat yang seperti itu. Bahkan Naya tak bertanya dia kenapa.

"Emang salah Nay?"

"Enggak, nggak salah. Tapi nggak baik buat kamu, juga buat orang-orang di dekat kamu."

"Kok gitu?"

"Iya. Karna berpura-pura baik-baik aja itu melelahkan, Gam. Kamu nggak mungkin ngelakuin itu selamanya. Dan mungkin, tanpa kamu sadari, ada orang-orang didekat kamu yang kecewa karna tak bisa tahu saat kamu terluka."

"Tapi kadang mereka cuma pengen tau, Nay. Bukan pengen bantu."

"Bukan masalah mau atau enggaknya, tapi disini, setidaknya, kamu bisa luapin apa yang kamu rasa. Kamu nggak harus lagi mendam semuanya sendirian."

Agam terdiam mendengar kalimat Naya. Iya, Naya benar. Selama ini dia sudah terlalu sering berpura-pura. Salahkah dia jika ingin sedikit meluapkan apa yang sedang di rasakannya sekarang pada Naya?

"Aku..." Agam menggantungkan kalimatnya.

"Kenapa?"

"Kalo aku mau berbagi sama kamu, boleh?"

Naya tersenyum.
"Boleh, dong. Apalagi kalo berbagi duit, dengan senang hati aku terima kok."

"Yeee.. Itu mah maunya kamu."

"Ehehe, becanda. Sok atuh ngadongeng."

Agam tertawa karna ucapan Naya. Kemudian melanjutkan. "Kamu tau, Nay? Hidup aku, nggak sesempurna yang orang lain liat. Aku nggak sebahagia itu."

Naya masih diam, sengaja membiarkan Agam menyelesaikan ceritanya.

"Mungkin orang-orang nggak banyak yang tau, tapi, setiap hari sepulang sekolah, aku kerja Nay. Bisnis Papa aku nggak berjalan dengan baik--sejauh ini aku nggak bisa menyebut kalau bisnis Papa aku bangkrut karena itu terlalu menyakitkan-- Mama aku bukan wanita karir. Dia hanya bisa jadi Ibu rumah tangga yang baik buat suami dan anak-anak nya." Agam menghela napas berat, seolah menarik oksigen akan menggores paru-parunya.

"Aku mati-matian cari uang buat bantuin mereka, Nay. Kalo boleh jujur, sebenernya aku capek Nay. Aku pengen bisa kaya yang lain, yang bisa nikmatin waktu sepuas mereka." Agam tertawa miris sebelum melanjutkan. "Kenapa hidup aku gini banget, Nay?" Agam menoleh pada Naya yang tertegun melihat kedua matanya memerah.

"Em.. Hmm.." Naya mendadak gugup.

Agam tertawa kecil. Tawanya lirih, menyiratkan betapa banyak dia sudah terluka. Dia kembali melarikan pandangannya kedepan.

"Gam, it's ok."

"Semua hal dalam hidup aku mulai saat itu nggak ada yang baik-baik aja, Nay."

Sekali lagi Naya bingung harus bilang apa. Jadi dia hanya diam, membiarkan Agam meneruskan kalimatnya.

"Aku bingung Nay harus kaya gimana sekarang. Aku capek, tapi ga berani bilang ke orang lain."

"Tapi, kamu bilang ke aku?"

"Iya. Karna aku tau kamu bisa di percaya."

Agam tersenyum, lalu bangkit dari duduknya.

"Ayo, aku anterin pulang."

"Hng-- nggak usah, Gam. Aku pulang sendiri aja."

"Aku ga terima penolakan, Nay. Udah ayok, anggap aja ini tanda terimakasih karna kamu udah mau dengerin aku curhat."

"Tapi aku cuma dengerin, dan ga bisa bantu apa-apa. Bahkan ngasih saran pun enggak."

"Kadang, ada orang-orang yang hanya perlu di dengarkan, contoh nya aku. Udah yuk ah keburu sore."

"Hng-- yauda deh, boleh."

Keduanya berjalan beriringan keluar kelas. Berlatar senja di lagit nun jauh disana, Agam menemukan alasannya untuk tetap bertahan.

AgamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang