Sembilan.

105 7 0
                                    

Agam berjalan menyusuri jalanan menuju rumahnya. Beberapa kali harus menghindari kubangan air yang bertebaran dimana-mana. Hujan sepanjang hari benar-benar menyusahkan seluruh penduduk kota. Untung tidak banjir.

Hari ini, dia tidak ada jadwal bekerja di cafe, jadi dia memutuskan untuk berangkat sekolah dengan naik angkot. Jalan raya dari rumahnya berjarak tidak terlalu jauh, jadi Agam hanya perlu berjalan kaki sebentar hingga sampai ke pelataran rumahnya.

Sebenarnya, itu bukan rumahnya. Itu rumah kakek dan nenek nya. Rumah yang ditinggali keluarga besar. Termasuk keluarganya.

Rumah yang biasanya ramai itu, entah kenapa kini sepi. Agam mengernyit. Tak biasanya rumahnya sesepi ini.

Sampai didepan kamarnya, Agam makin dibuat terheran-heran. Ada suara seseorang sedang menangis disana. Suara seorang perempuan.

Tiba-tiba Agam merinding. Jangan-jangan itu mahluk halus penunggu kamarnya? Ragu-ragu Agam menempelkan telinganya di pintu. Dia masih tak berani membukanya. Takut kalau-kalau 'sesuatu' didalam sana akan menyergapnya ketika dia membuka pintu.

Tapi demi rasa penasarannya, Agam memberanikan diri membuka pintu. Perlahan. Hingga akhirnya pintu itu terbuka dengan lebar. Kemudian--- Agam membatu.

Itu bukan mahluk halus penunggu kamarnya, atau setan. Itu ibunya. Ibu yang sangat ia sayangi, ibu yang tak pernah lelah menghadapinya, ibu yang selama ini menjadi penopang hidupnya, ibu yang selama ini ia panggil Mama.

Dia, wanita itu, ibunya, sedang menangis tersedu sedu. Kelihatan sekali ia berusaha tak mengeluarkan suara isakan yang tampaknya gagal ia lakukan.

Ada yang retak dalam dada Agam.
"Ma.. Kenapa?" Agam menghampiri ibunya. Duduk berlutut didepan wanita itu.
"Ma.. Kenapa?" Agam bertanya lagi. Kali ini berusaha mati-matian agar suaranya tak pecah.

Melihat ibunya menangis seperti ini, tentulah memberi efek yang sangat besar bagi dirinya. Hatinya pedih tak terkira.

"Enggak.. Mama nggak papa." Ibunya menggeleng, sambil berusaha mengeringkan air mata di pipinya.

"Mama bohong. Nggak mungkin kalo Mama nggak kenapa-kenapa."

Wanita itu tersenyum lembut. Menatap anak pertamanya yang masih mengenakan seragam sekolah.
"Nggak. Mama nggak papa. Kamu ganti baju ya, terus makan."

Agam menggeleng.
"Aku gamau pergi dari sini sebelum Mama cerita." Harusnya, ibunya tahu bahwa Agam memang keras kepala.

Mama balik menggenggam tangan Agam yang memegang tangannya. Lalu berbicara dengan penuh kelembutan. "Tadi, mama memang kenapa-kenapa. Tapi sekarang, setelah ada kamu, mama jadi nggak kenapa-kenapa."

"Mama tau? Mama nggak perlu sembunyiin apa-apa dari aku." Agam membalas tak kalah lembutnya.

"Iya. Mama tau. Sekarang kamu ganti baju ya, terus makan." Mama menepuk nepuk tangan Agam lalu pergi meninggalkannya sendirian dikamar.

Agam termenung. Kenapa Mama harus menyembunyikan sesuatu darinya?

Lama Agam memikirkannya. Tapi tak menemukan jawaban yang menurutnya bisa dibenarkan. Setelah bosan merenung, ia memutuskan untuk ganti baju, lalu berlalu keluar menuju teras rumahnya.

Tadinya cuma mau ngecek, hujan turun lagi atau tidak. Tapi ketika sampai di teras, dia menemukan adik semata wayangnya sedang duduk termenung sendirian.

"Dek, ngapain?" Agam memutuskan bertanya.

Adiknya menoleh. Lalu menepuk-nepuk bangku disebelahnya. Agam yang mengerti pun langsung duduk disana.

AgamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang