Delapan.

116 6 0
                                    

Hari itu mendung. Matahari tak bersinar seterik biasanya. Mengirim suasana muram sekaligus dingin yang menusuk tulang.

Pagi itu, sama seperti sebagian besar orang lain diluar sana, Naya masih bergelung dalam selimutnya. Jika tidak dituntut oleh kewajibannya berangkat ke sekolah, Naya lebih memilih melanjutkan tidurnya. Menarik selimutnya sampai menutupi kepala, kemudian memasuki alam mimpi lebih dalam.

Tapi kewajiban adalah kewajiban. Tetap harus dilaksanakan. Akhirnya Naya pun bangun, berusaha sekuat tenaga melawan energi magnet dari kasur yang menariknya untuk tetap tidur.

Dia mandi dengan tergesa, bukan karena kesiangan, tapi hawa dingin yang membuatnya tidak tahan. Setelah bersiap memakai seragam juga perlengkapan sekolah, Naya bergegas berangkat kesekolahnya. Tak lupa berpamitan kepada ibu dan ayahnya. Ibunya sempat bertanya apakah Naya tidak ingin sarapan terlebih dahulu, tapi Naya bilang dia bisa sarapan di sekolah.

Sebenarnya, sejak dirumah, ibunya sudah mengingatkan Naya agar tak lupa membawa payung, atau setidaknya jaket. Berjaga jaga jika hujan turun, mengingat langit diatas sana yang kian mendung.

Tapi Naya keras kepala, bilang jika mendung belum tentu hujan. Kini dia menyesal tidak mendengarkan ibunya. Karena saat ditengah jalan, Naya terjebak dalam angkot yang dinaikinya. Hujan tibatiba mengguyur kota.

Sebenarnya tidak masalah, karena dia berada didalam angkot, jadi dia terhindar dari air hujan yang akan membuatnya basah. Masalahnya adalah, saat turun dari angkot, jarak gerbang sekolah dengan jalan raya ini cukup jauh. Tak sampai satu menit berjalan dibawah hujan deras seperti ini cukup membuatnya basah kuyup.

Naya gelisah. Teman temannya dalam satu angkot yang sama mulai melepas sepatu. Ada juga yang mengeluarkan payung dari dalam tasnya.

Bagaimana caranya dia bisa sampai dikelas dengan keadaan yang tak basah kuyup? Beruntungnya, semesta seakan tahu kegelisahannya.

Hujan perlahan reda, hanya menyisakan rintik kecil namun cukup untuk membuat siapa saja yang berjalan dibawahnya basah.

Naya bergegas turun dari angkot. Berlari-lari kecil bersama murid lainnya. Setelah menembus gerimis kecil akhirnya Naya sampai di koridor kelasnya.

Dia terlalu terburu-buru hingga tidak memperhatikan lantai yang dipijaknya licin terkena air hujan. Lalu begitu saja, Naya terpeleset.

"Ahh.." Naya sempat mengeluarkan seruan tertahannya. Bersiap menghadapi kemungkinan pantatnya menghantam lantai koridor yang dingin.

Tapi sepersekian detik sebelum itu terjadi, ada yang memegang lengannya. Menariknya agar tetap berdiri tegak, tak jadi menghantam lantai koridor.

"Duh.. Ati-ati dong, Nay."

Naya masih diam. Nafasnya menderu. Kejadian itu berlangsung sangat cepat, membuat Naya sedikit shok karenanya. Lalu suara itu terdengar lagi.

"Shh..You safe now. Keep calm my darling."

Naya menoleh. Eh ternyata Agam yang menyelamatkannya.

"Eh.. Em.. Sori." Naya salah tingkah. Melepaskan tangannya yang entah sejak kapan sudah menggenggam lengan baju Agam erat-erat.

"Kenapa buru-buru banget, Nay?" Agam bertanya lagi.

"Eh.. Itu.. Takut telat, Gam. Kamu ngapain disini?" Naya bertanya basa-basi, bingung juga melihat Agam yang tiba-tiba ada disampingnya.

"Tadinya mau ke toilet. Eh terus nemu orang mau jatoh disini, yaudah aku tolongin."

"Oh.. Gitu." Naya meringis malu.
"Makasih ya."

AgamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang