Sepuluh.

101 8 2
                                    

Dulu, Naya sempat berpikir bahwa dialah satu-satunya orang didunia yang menggunakan topeng untuk bersandiwara. Tapi semakin kesini, Naya paham, ada banyak yang orang-orang sembunyikan dibalik senyumnya.

Mungkin, satu dua orang memang pandai memperlihatkan emosi mereka, bagai buku yang terbuka, mereka mudah dibaca. Tapi tak sedikit yang memilih menggunakan topeng tak kasat mata. Menutup segala duka yang mereka rasa, menyamarkannya dengan tawa.

Ada orang yang tersenyum padahal hatinya sedang porak-poranda. Ada orang yang tertawa padahal separuh dunianya sirna.

Semua itu pilihan. Naya sendiri lebih memilih untuk senantiasa memasang senyumnya, tak membiarkan semesta tahu bahwa ia sedang berduka.

Dan sepertinya, itu juga pilihan yang diambil oleh Agam. Buktinya, saat seharusnya dia sedang menangis, hatinya luluh lantak, porak-poranda, dia masih bisa memasang tawa serenyah biasanya.

Naya sedang berada di kelas dengan Rara, seperti biasanya. Jam kosong, dan itu adalah satu anugerah tak terkira bagi Naya dan kawan-kawannya.

Naya sih, lebih memilih tidur, ya. Mengganti jam tidur tadi malam yang terpotong karena digunakannya untuk mengerjakan pr. Lagipula, tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya tidur didalam kelas. Betul tidak, wahai handai taulan yang suka tidur dikelas?

Rara beda lagi, gadis itu tengah sibuk berkutat dengan buku akuntansi nya. Mencoba mengerjakan beberapa soal yang tadi diberikan sang guru. Mencoret-coret selembar kertas, menulis lagi, menghapus lagi. Hingga napas beratnya terembus.

"Hhh.. Gimana sih, ga balance-balance. Capek gue."

Naya --yang tak tertidur sepenuhnya--tersenyum geli. Dia mengganti posisi tidurnya menghadap Rara.

"Udaahh ntar aja ngerjainnya. Mending bobo." Naya berujar iseng.

Setan memang.--- Author.
Diem dah Thor.--- Naya.
Oke, maap.--- Author.

"Gabisa. Harus ketemu pokoknya. Harus ini mah." Rara kekeh dengan pilihannya.

"Yaodah, semangat ya. Nanti aku nyontek ke kamu, oke?"

"Iyaa sip. Pokonya kamu tinggal tau beres."

Ini yang Naya suka dari Rara. Selain semangat yang membara tiada tara, Rara juga sangat baik. Dia mau berbagi dengan sesama. Berbagi contekan ini, misalnya.

Rara kembali berkutat dengan bukunya, Naya kembali memejamkan mata. Tapi Rara tiba-tiba beranjak, sambil membawa buku dan pensilnya, Rara meninggalkan Naya sendirian. Entah pergi kemana. Naya tak terlalu peduli juga, dia sudah ngantuk berat. Ingin tidur sekali rasanya.

Baru saja gerbang alam bawah sadarnya terbuka, ada seseorang yang tiba tiba duduk disampingnya.

"Nay.. Jangan tidur."

Naya yang sudah akan terlelap, akhirnya terpaksa membuka mata. Matanya bertemu dengan mata cokelat terang milik Agam, yang juga sedang memperhatikannya. Naya hampir salah tingkah, tapi segera ia tutupi dengan bangkit dari posisi tidur ala spidermannya, lalu pura-pura memperbaiki posisi duduk.

Naya berdehem sejenak, kemudian mengalihkan atensinya pada Agam. Ia menopang dagu, memandang Agam dengan mata yang masih sedikit berat akibat kantuk.

"Jangan tidur." Agam mengulang kalimatnya.

"Kenapa?" Naya bertanya dengan suara serak, sebelum dia berdeham kembali untuk melegakan tenggorokannya.

"Aku mau cerita nih."

"Iya, ini aku dengerin kok."

"Jadi gini..." Agam diam sejenak.
Sedetik, dua detik, tiga detik, lima detik, tujuh detik, sepuluh detik. Naya tetap setia mendengarkan. Tapi tak ada cerita yang mengalir dari mulut Agam.

AgamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang