"Kakak, mau ke mana sih?"
Gue spontan noleh ke belakang waktu denger suara adik gue tiba-tiba memecah suasana sepi teras rumah. Tali sepatu yang dari tadi lagi gue pasang pun gue lepas saking kagetnya. Seinget gue, dia masih di dalem kamarnya tadi, lagi baca-baca buku. Entah gimana caranya dia udah berdiri di ambang pintu, sambil bersidekap kayak hansip.
"Ngapain kamu di situ?"
Dia memutar bola matanya. "Selalu ya, pertanyaan aku dibales pertanyaan lagi. Jawab dulu pertanyaanku, Kak."
Diem-diem gue mendengus. "Kakak mau nongkrong dulu sama temen-temen."
"Masa sih?" tanyanya.
Adik gue satu-satunya itu, Nanda, justru memandang gue dengan tatapan tidak percayanya sambil berpindah tempat ke kursi di deket pintu. Dia masih pakai kacamata dan bawa buku Biologi, itu artinya dia masih belajar buat ulangan harian besok. Seharusnya dia pindah ke kamarnya bukan ke kursi itu.
"Kenapa sih? Kamu mending belajar lagi sana," ucap gue sambil ngelanjutin masang tali sepatu. Gue tau ke mana arah pertanyaannya itu bakal berakhir, jadi lebih baik bersikap seolah-olah gak denger.
"Enggak, enggak. Aku mau tanya dulu, Kakak nongkrong sama siapa?"
"Sama temen-temen lah."
"Bohong," balasnya dengan sok tau. "Setahuku Kakak kalau mau nongkrong sama Kak Radian dan yang lain gak pernah wangi, dan lebih sering pas pulang kerja. Berangkat juga gak bawa mobil, pasti bawa motor. Sekarang Kakak gak lagi nunjukin kalau Kakak mau nongkrong bareng mereka."
Kadang, gue gak suka adik gue terlalu tau dengan gerak-gerik dan kebiasaan yang sering gue lakuin. Dampaknya kayak gini, pas gue mau ketemu Farah, dia bakal curiga dan tentu aja kecurigaannya berdasar. Akhirnya gue gak pernah bisa ketemu Farah secara sembunyi-sembunyi, dia pasti tau. Dan dia bener.
Kalau aja malam ini gue ngajak Farah bukan untuk merangsang otaknya biar ingatan dia balik, gue gak bakal balik dulu ke rumah buat mandi dan ambil dompet. Pulang kerja pasti gue langsung jemput dia di kampusnya.
Tapi, mau gimana lagi. Gue emang harus balik ke rumah buat persiapin semua yang berkaitan dengan hal-hal yang mungkin bisa diinget sama Farah. Mulai dari baju, mobil, sampai parfum yang dia suka. Namanya juga usaha, kan? Siapa tahu dia inget lagi, atau setidaknya dia ngerasa de javu.
"Jadi, temen yang Kakak maksud itu Kak Farah, kan?"
Gue kebetulan udah selesai pake sepatu, terus berdiri dan benerin posisi jam tangan yang kurang nyaman. Di tempatnya, Nanda ngeliatin gue penuh selidik. Dia masih nunggu jawaban pertanyaannya itu.
Sebelum jawab pertanyaannya, gue kasih jempol dulu ke dia, kayak yang biasa dia kasih ke gue. "Farah udah nungguin Kakak, keburu larut malem."
Lagi-lagi dia memutar bola matanya. "Kalau ada orang yang nanya siapa manusia yang paling gak bisa diomongin, aku bakal jawab nama Kakak. Serius."
"Kamu lanjut belajar aja." Gue usap-usap poninya, biar dia gak terlalu galak gitu. Terus tanpa aba-aba lagi, gue beranjak ke arah mobil.
Dari sudut mata gue, gue ngeliat Nanda mau gak mau beranjak dari kursinya. Dia menghentakkan kakinya cukup kencang sebelum dia berdiri lagi di ambang pintu.
Dan saat gue liat dia dari balik pintu mobil, Nanda balikin badan. Natap gue sayu.
"Apa?" tanya gue.
"Aku cuma mau ingetin kata-kata yang ibu bilang, kalau Kak Farah inget semuanya lagi, dia gak bakal berubah kayak yang Kakak harapin."
Setelah ngomong gitu, dia bener-bener masuk ke dalam rumah dan nutup pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Ultimatum
HumorJika ada award kategori atasan paling menyebalkan di kantornya, maka Lala akan menulis nama atasannya itu besar-besar di dalam kolom pengisian. Bagaimana tidak? Setiap hari, ia diberi ultimatum. Mulai dari yang Lala hafal, hingga yang tidak masuk ak...