Nasabah gue ngeliatin aplikasi yang lagi dia pegang. Dari matanya sih gue tau dia pasti lagi meninjau ulang data-data yang dia isi, soalnya tatapan dia serius banget kayak mesin scanner. Runtut banget arah pandangan dia, dari atas ke bawah. Terus sesekali balik ke atas lagi, kayaknya ada data bagian atas yang gak dia yakin. Tapi setelah dia selesai, aplikasinya dia kasih ke gue.
"Ini, Keala. Coba kamu cek dulu deh, ada yang miss apa enggak. Saya lupa bawa kacamata tadi, jadi gak tau udah keisi semua apa belum. Tapi kayaknya sih udah."
"Saya liat dulu ya, Pak," gue langsung merhatiin kolom yang ada di aplikasi itu satu-satu, mastiin semuanya terisi dan gak ada huruf yang keluar dari garis kolom. "Ini nama Ibu kandungnya sudah benar ya, Pak? Lucinta?"
"Itu Lusinta, Keala, bukan Lucinta."
"Oh, ini huruf s ya berarti?"
"Iya."
"Kalau nama Pak Yadi ini di KTP gak ada gelarnya kan, Pak?"
"Gak saya cantumin."
"Oke," mata gue nyari data lain yang harus gue pastiin, "Nomor extension HRD perusahaannya gak ada, Pak?"
"Gak ada, biasanya nomor itu langsung tersambung ke HRD-nya, La. Jadi gak ada nomor extension-nya."
"Oh, iya deh," balas gue. "Ini udah semua kok datanya. Pak Yadi tinggal stay ponselnya aja ya selama masa pengajuan, nanti ada tim analis yang bakal telepon bapak buat nyocokin data. Nanti Pak Yadi jawab aja sesuai yang ada di aplikasi, harus bener-bener sama persis. Kalau mau, foto dulu aja aplikasinya, takut Pak Yadi lupa."
Tanpa ngomong apa-apa, Pak Yadi ngeluarin ponselnya terus ngefoto aplikasi yang ada di atas meja. Selama Pak Yadi foto-foto, gue ngecek berkas-berkas yang dia lampirin, dan ternyata lengkap banget, sampe materai pun dilebihin sama dia.
"Kira-kira analis telepon berapa hari ya, La?"
"Biasanya sih tiga hari, Pak. Termasuk kerabat dekat sama kantor. Tapi kadang-kadang ada juga lusanya langsung ditelepon, jadi setelah datanya di-input, besoknya langsung check BI."
"Oh, gitu. Oke deh, semoga pengajuan saya diterima full ya. Data kartu kredit saya bagus kok di BI, di bawah lima kali dari jumlah limit juga kan pengajuannya."
"Iya, makanya langsung angkat aja ya Pak kalau ada telepon kantor," berkas-berkas yang ada di atas meja langsung gue susun rapi ke dalem map, "Emang jadi buat bangun usaha kulinernya, Pak?"
"Saya sih maunya gitu, tapi istri saya minta dipake buat renovasi rumah aja uangnya."
"Yah, sayang dong, Pak. Tempat kemaren gak jadi sewanya?"
"Ndak jadi," Pak Yadi muter-muter kunci mobilnya di atas meja, "Padahal strategis tempatnya. Tapi ya gimana, istri yang minta masa gak dituruti."
"Iya sih," jawab gue. "Ya udah, nanti kalau ada waktu lain aja buka usahanya, Pak. Bukan waktunya berarti. Mungkin setelah selesai angsurannya bisa ngajuin lagi ke saya, ya."
Dia ketawa. "Bisa aja. Ya udah, saya balik ke kantor lagi, ya. Udah semua kan?"
Gue ngangguk. "Udah."
"Oke, makasih ya, La. Nanti saya hubungi kalau udah ada telepon."
"Siap, Pak Yadi."
Helaan napas panjang langsung terdengar waktu Pak Yadi udah beranjak beberapa meter dari tempat gue. Sumpah, pura-pura biasa aja tuh capek juga ya ternyata. Gue paling gak bisa nahan-nahan ekspresi, apalagi sampe dimanipulasi gitu. Kalau bisa ya paling gak terlalu lama. Untung ya Pak Yadi tuh fokus banget pas ngisi, dia gak ngeliatin muka gue waktu gue lagi bad mood parah. Jadi gue gak terlalu lama pura-puranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Ultimatum
HumorJika ada award kategori atasan paling menyebalkan di kantornya, maka Lala akan menulis nama atasannya itu besar-besar di dalam kolom pengisian. Bagaimana tidak? Setiap hari, ia diberi ultimatum. Mulai dari yang Lala hafal, hingga yang tidak masuk ak...