"Gimana milkshake-nya, enak gak?"
"Enak, gak terlalu manis. Lo sering ke sini, La?"
"Enggak juga sih, gue kadang-kadang aja sama Andien mampir ke Oliver. Dua bulan ini belum sama sekali, eh sekarang malah sama lo datengnya."
"Lo gak awkward kan dateng sama gue?"
"Sedikit, sih, Bang." Jelaslah, gak mungkin gue gak canggung dateng sama Molan. Ini pertama kalinya gue jalan berdua sama dia, biasanya kan rame-rame sama yang lain.
"Santai aja," balas dia. "Jangan panggil gue dengan embel-embel 'Bang', panggil nama gue aja biar berasa temen sendiri. Di luar kantor kan gue bukan atasan lo."
"Oke, Lan." Ih apaan sih lidah gue gak enak manggil dia pake nama doang. Gue gak terbiasa, kan suasananya malah kerasa awkward banget jadinya.
"Milkshake itu awal yang bagus buat obrolan kita yang I think ... bitter? Oke, apa yang mau lo ceritain?"
"Gue sebenernya gak tau harus mulai cerita dari mana, Bang," mata gue sedikit terbelalak pas sadar dan mau ngeralat, "Eh, Lan, maksudnya."
Dia malah ketawa garing sambil nyeruput milkshake-nya lagi. "Kenapa lo gak mau ketemu bokap lo?"
"Hah?"
"Kemaren gue ajak lo ke dalem gedung lagi lo gak mau, kan? Kenapa lo gak mau ketemu bokap lo?"
Molan pinter banget mancing ya, padahal baru aja gue mikir mending gue gak jadi cerita. "Gue masih kecewa sama sikap yang diambil bokap gue dua tahun lalu."
"Sikap?"
Gue neguk ludah. Ini kesekian kalinya gue cerita masalah keluarga gue, dan gue masih ngerasa gugup. Perlahan-lahan jantung gue mulai deg-degan pas nyoba inget-inget kejadian itu. "Jadi, tiga tahun lalu kedua orang tua gue pisah. Gue gak ikut nyokap, soalnya dia lebih milih tinggal di Luxembourg daripada di Indonesia. Saat itu gue masih kuliah, ya tanggung aja rasanya kalau gue ikut nyokap ke sana. Mana gue lagi skripsi, kan. Lo ngerti lah."
"Akhirnya lo milih tinggal sama bokap? Tapi di apartemen lo kemaren gue gak liat tanda-tanda keberadaan bokap lo?"
"Dia sama keluarga barunya."
Alis Molan mengkerut. "Itu artinya mereka juga keluarga baru lo?"
Gue tatap mata Molan sekilas, terus secara gak sadar gue geleng-geleng kepala. "Enggak. Gini, Lan, coba lo bayangin. Baru setahun pisah, bokap dateng ke rumah bawa cewek yang dia kenalin sebagai tunangannya. Gue belum terima dengan keputusan bokap, karena menurut gue, status bertunangan itu terlalu cepet untuk seseorang yang baru pisah. Dan perasaan gak terima itu berlanjut sampai sekarang, gue belum bisa nganggep mereka keluarga baru gue."
"Hipotesis gue, lo kecewa karena bokap lo terlalu cepet dapet pengganti nyokap lo? Dan lo ga terima?"
"Not really," jawab gue, "Ada banyak alasan kenapa gue kecewa sama bokap. Pertama, sebelum dia tunangan, bokap belum pernah ngenalin cewek itu ke gue, bahkan dia tunangan pun gue gak tau. Gak ada proses adaptasi sama sekali sebelum mereka tunangan, siapa yang gak shock, coba?"
"Terus?"
"Terus ... kalau emang dia mau cari pengganti nyokap gue, gue sebenernya ada pilihan sendiri. Dia nyokapnya temen kuliah gue. Waktu awal-awal gue down, dia selalu bisa bikin gue tenang. Dia bisa jadi sosok ibu yang gue butuhin. Dan yang terpenting, dia lebih ngertiin gue dan paham tentang gue."
"Lo egois kalau misalnya mau ngenalin nyokapnya temen lo di saat lo ga mau ada orang lain yang gantiin posisi nyokap lo," kata Molan.
"Ya, I know, gue juga gak berniat ngenalin nyokapnya temen gue itu dalam waktu dekat, karena saat itu gue belum siap dan nyokapnya temen gue pun fine aja," jelas gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Ultimatum
HumorJika ada award kategori atasan paling menyebalkan di kantornya, maka Lala akan menulis nama atasannya itu besar-besar di dalam kolom pengisian. Bagaimana tidak? Setiap hari, ia diberi ultimatum. Mulai dari yang Lala hafal, hingga yang tidak masuk ak...