"Stop, stop, gue berhenti di sini aja, Lan."
"APA?" balas dia teriak dari balik helm.
"GUE BERHENTI DI SINI AJA!" gue ikutan ngegas.
Setelah itu, motor sport yang dikemudiin sama Molan perlahan-lahan bergerak minggir, dan akhirnya berhenti di pinggir jalan. Dia ngelepas helmnya dan nengok ke arah gue, dengan tatapannya yang bingung. Sementara gue harus berhenti bernapas selama beberapa detik. Muka dia deket banget ke muka gue!
"Kenapa berhenti di sini?"
Arwah gue kembali, dan gue tersadar. Gue buru-buru turun dari motornya. "Itu—ah, gue, gue mau beli snack dulu buat ngemil di kantor nanti. Lo duluan aja."
"You kidding me?" alis Molan naik satu. "Gue tungguin. Nanti lo naik apa?"
"Ya elah deket kok tinggal seratus meter. Gue jalan aja sekalian olahraga pagi."
"Sana, beli dulu. Masih setengah jam lagi kok buat briefing pagi. Gue tunggu di port depan tokonya nanti."
"Haduh," gue berdecak, terus garuk kepala gue yang gak gatel. "Lan, lo tau kan kalau di depan kantor biasanya banyak cowok yang lagi ngerokok sambil main game? Dan rombongan Ibu-ibu lagi pada nungguin go-food?"
Kepala Molan ngangguk. "Terus?"
Gue mendengus. "Ya nanti kalau gue ikut sampe tempat parkir terus ke kantor bareng lo, gue diliatin mereka. Terus nanti ada rumor-rumor baru lagi dan gue gak mau itu kejadian. Cukup rumor kemaren aja yang bikin kuping gue panas."
"Rumor apa sih? Gue gak ngerti arah pembicaraan lo ke mana."
"Ih, waktu lo ngajak gue ke mall kemaren, yang nemenin lo ketemu sama Bu Jess itu, lo inget kan? Nah, orang-orang kantor ngiranya gue jalan sama lo, tau! Lagian sih, lo ngapain ngajak-ngajak gue?"
"Cuma karena itu lo minta berhenti seratus meter dari kantor?
"Iya. Gue jalan sendiri aja ya, please? Omongan ibu-ibu itu nanti jadi semakin ngaco kalau beneran ngeliat gue ke kantor bareng lo."
"Lo beli snack-nya sekarang, gue tungguin."
"Lan, beneran gak—"
"What's wrong with me?" tanyanya kesal. "Sebegitu seremnya jalan ke kantor bareng gue? It's gonna be nothing, Keala. Anggep aja omongan orang lain itu angin lalu. Kalau lo gak ngerasa, lo gak bakal mikirin omongan mereka."
"Iya sih, tapi ...." Gue gak ngelanjutin omongan gue. Setelah gue pikir-pikir, emang gak perlu gue ambil pusing juga sih omongan ibu-ibu itu. Cuma, gue males aja jadi bahan omongan orang. Risi tau gak.
"Lagian digosipin bareng gue gak ada ruginya, kan?"
Mata gue menyipit. "Bentar, bentar, gue gak salah denger nih?"
Molan terkekeh. "Iya, kan? Coba sebutin apa ruginya kalau lo digosipin sama gue?"
"Digosipin aja udah negatif, Tuan Ramamolan. Masih tanya apa negatifnya?"
"Maksud gue bukan itu. Dampaknya. Gak ada kan?"
"Ada. Nama baik gue tercemar."
"Dalam hal apa? Tercemar karena lo deket sama orang ganteng kayak gue?" kedua sudut bibir Molan ngebentuk senyum lebar kayak Joker.
"Lo narsis juga ya ternyata. Tapi, bukan itu sudut pandang gue. Justru gue lebih takut kalau ada yang bilang gue ngedeketin bos gue sendiri. Dari satu gosip kan bisa nyebar jadi banyak asumsi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Ultimatum
HumorJika ada award kategori atasan paling menyebalkan di kantornya, maka Lala akan menulis nama atasannya itu besar-besar di dalam kolom pengisian. Bagaimana tidak? Setiap hari, ia diberi ultimatum. Mulai dari yang Lala hafal, hingga yang tidak masuk ak...