Ngeliat interaksi Radian sama Lala barusan, gue jadi penasaran hubungan persahabatan macam apa yang mereka berdua jalanin selama ini. Dari sudut pandang gue sih mereka gak keliatan kayak sahabat, soalnya gue ngeliat mereka berdua deket banget dan punya kemistri yang kentel. Atau kalau boleh memperjelas pendapat gue, mereka berdua kayak orang pacaran. Entah itu mereka lagi bernaung di bawah kata persahabatan, atau mereka emang lagi di fase denial.
Sejauh ini, ada beberapa aspek yang menjadi dasar dari asumsi gue terhadap hubungan mereka itu. Dan tatapan Radian ke Lala adalah satu-satunya aspek yang paling mendominasi. Gimana cara dia natap Lala waktu dia dateng dan nyapa Lala, dan waktu Radian mengabaikan aksi unjuk rasa Lala dengan ngambil dimsum Lala lagi. Dan lagi. Seolah-olah dia sengaja ngerjain Lala dan buat Lala kesel.
Dalam hati gue berdecak ngeliat pemandangan itu. Beberapa detik kemudian gue keinget sama kejadian di lapangan basket kemaren, setelah Radian selesai ngobrol sama gue, dia gak muncul di dalem grup WhatsApp nirfaedah bikinan Cornell. Biasanya anak itu selalu bikin notifikasi jebol, tapi pas gue nyalain data, gak ada satu pun chat dari grup itu.
Gue menghela napas dalam. Kayaknya apa yang udah gue ceritain di lapangan basket waktu itu bikin dia marah. Walaupun tadi dia ngomong dan natap ke arah gue, dia kayak mencoba untuk meminimalisir komunikasi sama gue.
"Kemaren lo sibuk sama bokap lo tuh di kasih makan gak sih, Rad? Heran gue ngeliat lo, kayak gak dikasih asupan gizi yang cukup."
Sambil sibuk ngunyah dimsum, Radian mengangkat bahunya acuh tak acuh. Matanya masih fokus natap Lala, terus pas udah habis, dia nyeruput kopinya. Hal itu bikin Lala merengut dan memilih buat makan tempura di hadapannya daripada nungguin jawaban Radian.
Gue interupsi keheningan mereka. "Kalian berdua kayak anak kecil. Can you both just relax and enjoy your break-time?"
"I'm better be a child daripada jadi orang dewasa yang punya pemikiran buat nyakitin orang lain," balas Radian tajam, "Iya gak, La?"
"Enggak, omongan lo sampah gue gak mau percaya."
"Kurang ajar lo, disakitin beneran gak usah nangis-nangis di pelukan gue lagi."
"Gila, jahat banget lo!" muka Lala memerah, "Nanti gue cerita ke Andien aja. Gak mau cerita ke lo lagi."
"Lo bisa cerita sama gue," sahut gue. Lala ngeliat ke arah gue dan tersenyum lebar.
"Denger tuh! Ada Bang Molan!"
Di tempatnya Radian mendengus. "Ya, ya, terserah."
"Gak makan lo? Tumben gak ke luar cari makan?"
"Belum laper gue, nanti aja lah gampang. Lo nanti malem jadi ke rumah Bernard, Lan? He makes a little barbeque for celebrate his premiere."
"Dia bikin acara begitu? Kok gue gak tau?"
"Lo gak baca semua chat di grup?"
Sebelah alis gue terangkat ke atas. Gue gak tau pesan itu udah dibaca semua apa enggak, soalnya kebanyakan yang gue baca cuma obrolan-obrolan tentang Hardi dan kucing barunya. Jangan salahkan gue kalau poin penting dari chat-chat itu tenggelam, dan gue gak tau kalau Bernard ngajak kumpul di rumahnya.
"Kelewat kali. Kebanyakan chat sih, jadi gue lewat. Kirain gak ada topik penting."
"Kalau gue gak nanya gini lo pasti gak tau kalau ada acara dia."
"Kenapa dia gak ngomong aja waktu di lapangan basket kemaren?"
"Lo udah keburu balik sama Nanda. Jadi lewat grup ngabarinnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Ultimatum
HumorJika ada award kategori atasan paling menyebalkan di kantornya, maka Lala akan menulis nama atasannya itu besar-besar di dalam kolom pengisian. Bagaimana tidak? Setiap hari, ia diberi ultimatum. Mulai dari yang Lala hafal, hingga yang tidak masuk ak...