20.2| Jatuh Hingga Ke Inti Bumi

14.4K 1.7K 245
                                    









Nanda dari tadi berdecak kesal karena langkah kaki gue melambat selama jalan di lorong rumah sakit. Beberapa kali Nanda narik-narik tangan gue, dan gue ngerasa dia antusias banget cuma mau ketemu Farah. Dia kayak gak pernah ketemu, padahal sebelum Farah kecelakaan, dia pernah beberapa kali ngobrol sama Farah. Dan keadaan waktu itu gak seantusias sekarang, pertemuan mereka dulu kurang baik. Hal itu yang bikin gue sedikit bingung, kenapa Nanda tiba-tiba berubah gini.

Semakin deket ke arah lift, gue semakin ngerasa kalau sekarang Nanda sama gue lagi bertukar peran. Seharusnya gue yang antusias buat ketemu Farah, tapi Nanda lebih terlihat antusias daripada gue. Dia yang sibuk nyari di mana letak lift, sementara gue cuma diem ngikutin dia. Berharap Nanda gak nemuin liftnya. Biar dia bisa memperlambat waktu.

"Kak, ruang perawatan Kak Farah di lantai berapa?"

Gue menghela napas. Ternyata lift gampang ditemuin. "Lantai delapan."

"Oke."

Setelah beberapa menit kita nungguin pintu lift terbuka, akhirnya Nanda dan gue udah ada di dalam lift. Dia sempet buka ponselnya dulu buat ngetik sesuatu, sampai akhirnya gue nanya perilaku dia hari ini.

"Kamu kenapa mau disuruh Mamah ikut ke sini? Biasanya gak mau ketemu Farah."

Wajahnya terangkat dari hadapan layar ponsel. "Pertama, hari Sabtu ini aku bosen di rumah. Kedua, aku mau jagain Kak Molan, kali aja nanti Kakak frustrasi gitu habis ketemu sama Kak Farah. Katanya Kak Farah udah inget lagi kan?"

Pipi Nanda gue cubit. "Tau apa sih kamu tentang masalah ini," dia mengaduh, "Kebanyakan gosip sama Mamah, ya?"

"Gak apa-apa kali gosipin Kakak sendiri," dia senyum nyebelin, "Tapi, Kakak beneran gak bakal kayak dulu lagi kan? Aku gak mau ngeliat Kakak jadi serem. Bukan tipe Kakakku yang ideal soalnya."

"Sekali lagi bilang Kakak serem, Kakak gak ngasih kamu uang jajan lagi, ya."

"Ih, jahat banget! Aku lagi nabung, tau."

"Pake aja tabungannya."

"Nyebelin," keluh Nanda. "Padahal aku satu-satunya orang yang cukup pengertian sama hubungan Kakak, kan?"

Dalam hati gue membenarkan ucapan Nanda. Dia satu-satunya yang gak terlalu peduli sama masalah gue dan Farah. Mungkin karena dia belum cukup umur buat ngerti masalah gue, atau malah karena dia gak mau liat gue berlarut-larut kayak dulu. Yang pasti, gue tau dia juga gak mau gue sama Farah.

Ya, walaupun kadang-kadang dia ngingetin gue sama nasihat-nasihat Mamah, sih. Tapi gue ngerti dia lagi ada di fase jengah aja, makanya dia ngingetin gue.

Gak kerasa pintu lift udah kebuka, gue sama Nanda langsung dihadapkan sama lorong lantai delapan. Lantai di mana kamar perawatan Farah berada. Suasananya agak sepi, karena orang tua Farah minta Farah dirawat di kelas I.

Lagi-lagi gue diterpa rasa malas. Gue gak mau masuk ke ruangan Farah cepet-cepet. Gue tau gue pengecut soal yang satu ini. Orang-orang selalu bilang terima aja kenyataan yang ada, tapi kalau urusannya adalah ngebiarin Farah sejauh Saturnus, gue lebih baik gak ngeliat kenyataan itu.

Tapi kenyataannya ya kenyataan. Gak bisa dipura-pura. Pada akhirnya gue bakal tau, gue gak bisa maksa Farah buat amnesia selamanya. Dia berhak atas hidupnya yang lebih baik, dengan ingatan-ingatan lamanya.

Yang gue butuhin cuma kesempatan.

"Ruangannya nomor berapa sih, Kak?"

"Nomor tujuh."

Tuan UltimatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang