"La, Papa sakit."
Heart attack sempet menerjang gue selama beberapa detik sebelum akhirnya gue mikir kalau sakit yang Bu Lita bilang tuh masih kosakata general. Bisa aja kan sakit yang dialami bokap cuma pilek. Atau batuk. Atau encok.
Tapi berhubung muka Bu Lita serius banget kayak lagi sidang skripsi, akhirnya gue nanya, "Sakit apa?"
Dia mengembuskan napas. "Demam. Udah dua hari sama hari ini."
Bola mata gue memutar. Tadi gue udah ngira bokap gua kena sakit apa sampe Bu Lita manggil gue secara privat gini, ternyata cuma demam. Kalau demam doang sih ya, gue juga sering demam gitu. Lebih parahnya lagi gue sendirian di apartemen, ngerawat diri gue sendiri. Kalau bokap mah paling ada istrinya, atau Bu Lita, atau malah ART. Jadi gue seharusnya gak perlu terlalu khawatir kayak dua detik di awal gue tau tadi.
"Sampe dirawat?"
"Dirawat sama dokternya di rumah. Udah dari kemaren dokter Papa dateng buat ngontrol. Katanya Papa kecapean."
Gue mendengus. "Lagian kerja mulu dipikirin, ispa entar."
Bu Lita menggeleng. "Kata Mama, Papa sakit karena mikirin kamu, La. Bukan soal kerjaan. Dia kangen sama kamu, tapi dia gak pernah ngomong tentang itu."
Alis gua berkerut. "Kangen? Aku gak salah denger?"
"Kuping kamu bermasalah?"
"Ya enggak, sih," tangan gue beralih dari permukaan meja ke permukaan kursi yang gue dudukin—menopang tubuh gue, "Cuma aneh aja kalau Papa sakit cuma karena kangen."
Punggung Bu Lita sekarang nyender ke kepala kursi, "Kamu harus pulang, bicarain hal ini sama Papa langsung. Aku bisa aja ceritain apa yang diceritain Mama, tapi rasanya kamu gak bakal percaya gitu aja. Yang pasti, aku tau gimana sedihnya Papa selama ini. Walaupun dia nunjukinnya dengan cara yang lain."
"Wow," ucap gue pura-pura terkejut. "Setelah tiba-tiba aku dikasih tau kalau Papa sakit, terus Papa kangen, dan sekarang Papa sedih? Maaf Bu Lita, tapi semua itu bertentangan sama apa yang aku rasain. Papa gak pernah sama sekali nyariin aku waktu aku pergi, dan aku yakin Papa gak peduli lagi sama aku dan Mamaku. Kemaren-kemaren dia ke mana aja?"
"Dia ada," tatapan sayu Bu Lita mempengaruhi gue, "Dia ada tiap hari buat kamu. Setiap dua belas jam sekali dia minta laporan keadaan kamu ke tangan kanannya, dan itu berlangsung sejak kamu pergi sampai sekarang kamu ngobrol sama saya. Waktu kamu sakit, dia ikut sakit. Dia pusing mikirin kamu, lebih banyak diam, karena apa? Karena dia ngerasa gagal sebagai Ayah. Dia gak bisa ngelindungin anak perempuan kandungnya. Sampai akhirnya dia cuma bisa ngejaga kamu dari jauh, karena dia punya ego yang tinggi, La. Kamu harus bisa terima sifat Papa yang satu itu."
Kali ini sisi rapuh gue bener-bener kayak digebuk pake guling. Sampe mata gue kabur-kabur, terhalang pendar. Gue tau Papa egonya tinggi, gak bisa ngeliat dirinya merendah. Tapi, tetep aja dengan membiarkan gue pergi, dan gak nyari-nyari gue buat ngejelasin tentang rencana dia yang tiba-tiba mau menikah lagi itu bikin gue ngerasa kalau diri gue ini gak penting di hidupnya. Harusnya dia bilang ke gue dulu kalau dia lagi deket sama siapa, tanya pendapat gue, bukan dengan cara tiba-tiba.
"Sekarang saya tau kenapa kamu sama Papa gak ketemu sampai sekarang," ucap Bu Lita, "Kalian berdua sama-sama punya ego yang tinggi dan gak mau ngalah. Please, La, saya minta kali ini kamu ngalah sama ego kamu. Kalau gak sekarang, mau kapan lagi kamu ketemu Papa? Di pemakaman?"
Mata gue menyipit kesal. "Jangan ngomong gitu, Bu. Jangan buat keadaan seolah-olah saya sangat bersalah."
Dia menghela napas. "Oke, maaf, saya cuma berniat buat kamu mikirin tentang Papa, La. Dia sampai sakit mikirin kamu, saya rasa sudah saatnya kamu pulang. Dua tahun saling bersembunyi di balik ego emang gak capek?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Ultimatum
HumorJika ada award kategori atasan paling menyebalkan di kantornya, maka Lala akan menulis nama atasannya itu besar-besar di dalam kolom pengisian. Bagaimana tidak? Setiap hari, ia diberi ultimatum. Mulai dari yang Lala hafal, hingga yang tidak masuk ak...