"Kita yang telah usai memang harusnya selesai"
-------
Tubuh Caramel menggigil. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Isakan tangis dan air mata masih saja terdengar dan mengalir. Bayang-bayang Davin yang menghalau peluru mengenainya terus saja bermunculan di pikirannya. Membuatnya dilanda kesedihan dan ketakutan dalam waktu bersamaan.
Kini, rasa kehilangan yang dia rasakan benar terbukti. Yaitu, melalui Davin yang pergi.
Di saat yang lain memilih berkumpul untuk menyembunyikan kesedihan, Caramel memilih menjauh. Dia berada di lorong tersepi di rumah sakit. Agar tidak ada yang terganggu atau mengganggunya yang sedang menangis dan larut dalam kesedihan.
"Kara …" panggil seseorang yang tak membuat Caramel mengangkat kepalanya. Itu suara Devi.
Devi yang tak mendapat respons dari Caramel yang sedang menangis, memilih duduk di tempat kosong di kursi besi samping Caramel. Mendengar isak tangis Caramel yang begitu pilu cukup membuat Devi tahu, seberapa kehilangannya Caramel akan Davin. Dia pun merasa demikian, tapi sebisa mungkin dia sembunyikan.
Memperlihatkan kesedihan bukan khasnya. Begitulah.
"Gue tau, setelah semua yang terjadi, pastinya menutup kemungkinan Lo masih mau liat gue lagi," ujar Devi memilin jarinya sendiri. "Gue cuma mau bilang, selama ini Lo hidup dalam kesalahpahaman," ujar Devi lagi yang sesuai dengan penjelasan yang selama ini ingin dia sampaikan.
"Gue dan Davin, gak lebih dari sekadar saudara. Gue Kakaknya Andra, saudaranya Davin," jelas Devi sungguh-sungguh. "Andai waktu itu Lo mau dengerin penjelasan Davin, hari ini mungkin gak akan dateng secepet ini," sambung Devi diikuti air matanya yang meluruh.
Tangis Caramel semakin pecah mendengar penjelasan Devi. Sekarang, dia semakin paham bahwa dirinya bodoh. Mendengar satu kalimat penjelasan saja dia tidak mau. Dan dia berakhir dengan mengungkapkan jutaan paragraf untuk menguraikan penyesalannya.
Caramel memutar tubuhnya ke samping. Dia memeluk Devi sangat erat. Menumpahkan segala bebannya di sana. Dengan harapan dapat berkurang seiring derasnya air mata yang membasahi wajahnya.
"Devi …" panggil Caramel seperti biasa. "Gue hancur … Davin pergi jauh!!" lanjut Caramel terdengar begitu pilu.
Devi menenangkan Caramel sebisanya. Bibirnya terus menggumamkan kata penenang untuk Caramel dengan harapan, Perempuan yang ditinggalkan Saudaranya itu bisa lebih tenang.
"Davin pergi karena gue …" sambung Caramel menyalahkan dirinya.
Devi menggeleng, mengusap kepala Caramel yang bersandar padanya, "Kara gak salah. Ini udah takdir Tuhan buat Davin. Jadi, jangan salahin diri sendiri."
Caramel masih saja menangis, walau tidak separah tadi. Dia hanya sesekali terisak. Namun, pikirannya masih dihantui bayang-bayang Davin tadi. Itu membuat hatinya terasa teramat sakit. Tak pernah dia bayangkan sebelumnya, bahwa dia akan kehilangan seseorang secepat ini. Apalagi orang itu Davin, belum pernah terlintas di pikirannya.
Devi menoleh ke depan. Di sana ada seorang Perempuan sebaya dengan Caramel. Devi mengenalnya tentu saja. Sebab Perempuan itu adalah adik dari Dave. Yang artinya, masih saudara Caramel.
"Kara, ada yang mau bicara sama Lo," ujar Devi yang mengerti isyarat mata Perempuan di depannya.
* * * *
Pagi harinya, SMA Elang Jaya menerima kabar duka. Salah seorang siswa sekolah itu meninggal dunia. Dan ada seorang siswa lagi yang dinyatakan koma. Yang bila saja menyerah, maka tamatlah sudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMISTAD✅
Teen Fiction"Mel, jogging kuy!" "Mmmm.. Lo jogging gue sarapan, gimana?" tawar Caramel pada cowok di depannya dengan alisnya yang naik sebelah. "Ck, gak asik Lo, Mel!" kesal cowok itu. Caramel terkekeh gemas lantas mencubit kecil pipi sahabatnya, "Lo kalo lagi...