Siapa dia

305 11 0
                                    

Senyap

Tidak ada yang berani mendatangi tempat itu meski hujan sudah reda dari setengah jam yang lalu, namun bukan itu yang menjadi permasalahan akan tetapi suasana disana selalu membuat siapa saja merinding kecuali satu orang.

Zia menatap nanar ke pusara dihadapannya, tidak memperdulikan tubuhnya yang mulai menggigil dia terus duduk disana diantara makam kedua orangtuanya yang hanya bertemu satu kali sebagai pertemuan terakhirnya. Siapa sangka takdir sangat kejam menyiksa dirinya.

"Sayang, berjanjilah jika ayah dan bunda pergi kalian harus tetap kuat jalani hidup kalian sebagai takdir jangan menyalahkan dan jangan pernah kecewa terhadapnya karena aturannya adalah kodrat Tuhan"

Zia dan Anzo hanya mengangguk meyakinkan dirinya bahwa semua baik saja meskipun perasaan keduaanya mulai tidak enak.

"Maksud ayah?"  salah besar kalau anak seusia mereka masih dianggap polos,

"Maaf jika kami tidak bisa menjaga kalian lagi nantinya" ujar Brian menenangkan didekapnya kedua anak yang masih sangat kecil itu sekaligus mengecup sepasang mata dari istrinya yang nampak berkaca-kaca

Lauren tidak bisa berkata, membayangkan nasib kedua anak yang akan menghadapi dunianya sangatlah sulit, tapi apa daya dirinya tidak bisa berbuat apa-apa seperti kata suaminya ini adalah takdir dan takdir tidak bisa disalahkan.

"Hikz ayah bundaa" Zia kecil mulai terisak begitupun dengan Anzo yang mati-matian menahan rasa sesaknya,

"Berjanjilan, kalian harus bertahan" kata Lauren, dan keduanya anaknya bergeming sebelum pada akhirnya mengangguk meski terasa berat.

"Yah, bun, Zia... Zia takuut" cicitnya pelan, jujur Ia tak sanggub menahan air matanya yang hampir tumpah, sebisa mungkin Dia menormalkan ritme jantungnya yang menggila sungguh rasa sesak itu masih ada dan kini jauh lebih sakit.

Masalalu membuat Zia menjadi dewasa  sebelum waktunya rasa kehilangan telah hinggap padanya sejak dirinya bahkan tidak tau apa artinya dunia.

Kini memori itu masih tersimpan rapi dirinya menjadi orang yang tak tersentuh begitupun dengan sang kakak.  Hidupnya sudah kehilangan arti semenjak kedua orang tuanya pergi. Belum lagi dengan raganya yang kini mulai melemah,  Ia ingin pergi tapi bagaimana nasib Anzo tanpa dirinya?  Juga orang itu.

Menghela nafas lelah, telinga Zia terusik dengan suara yang mengganggu kenyamanannya. Jangan heran suara sekecil apapun bahakan dengan jarak yang terbilang cukup jauh Zia mampu mendengarnya.  Hei dia seorang agen kalau kalian lupa

Sreekkkkk

"Arghh sialan"

Tanpa menoleh Zia melemparkan belati dan tepat menusuk diperut, Zia masih bergeming menunggu serangan balik dari lawannya, tapi dua menit pertama tidak terjadi apa-apa.

Begitu berbalik tatapan Zia langsung bertemu dengan mata elang yang bersandar dibawah pohon beringin, seorang cowok muda tengah terkapar dengan berbagai macam rintihan dan umpatan yang keluar dari mulutnya membuat Zia mencibir "Lemah"

Pemuda itu mendesis menatap sebal kearah gadis aneh yang kini berjalan kerahnya, niat hati hanya ingin mencari ketenangan harus terusik, "Apa-apaan sih lo" erang cowok itu.

Zia mengangkat sebelah alisnya masih menatap manik hitam kelam nan tajam dihadapannya. 

"Sadar diri kalau sipit gausah melotot gitu"  balas Zia enteng,  cowok itu bukannya menurut malah matanya semakin melebart "Sialan" lagi-lagi mulutnya mengumpat.

"Gue gak mau tau lo harus tanggung jawab..."

"berapa bulan?" Zia menyela

Cowok itu mengangkat sebelah alisnya bingung "Hamilnya" jelas Zia.  Untuk kesekian kalinya mata cowok itu membulat sempurna

Secret Agent In PesantReN.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang