Prolog

1.3K 101 66
                                    

Disclaimer! Ini hanya cerita fiksi. Semata-mata dibuat oleh imajinasi.

"Hal sederhana pun berharga di mata mereka yang membutuhkannya."

-BANTARA-

"Dia berjalan eh, dia menapak-- jelek amat, ck!" Nara mengoceh sambil menekan tombol 'delete' di ponselnya. Sudah dua jam tapi tidak ada yang bisa dia tulis dari tadi.

"Udah belum, Nar?" tanya Lita yang sudah tergeletak pasrah di lantai. Mereka sekarang sedang berada di dalam kelas mereka, 11 IPS 3 di SMA Gardarusa. Kelas yang berisikan penggemar film dan novel.

Nara memilih tidak menjawab. Dia kembali mencoba menaruh fokus untuk melanjutkan tulisannya. Namun, lagi-lagi tidak ada yang membuahkan hasil. Hanya ingin menjelaskan kejadian saling bertemu di koridor saja rasanya Nara tidak mendapatkan sentuhan di dalamnya.

Lita duduk dan menatap malas pada Nara yang mengacak rambut asal. "Dapat berapa kata?"

Nara menyodorkan ponsel ke Lita. "Sepuluh."

"Satu jam cuman sepuluh kata? Yang bener, Nar."

"Gue juga gak tau. Gue tau apa yang mau di tulis. Tapi setiap mau gue tulis, gue tiba-tiba kayak amnesia."

"Amnesia-amnesia bibirmu."

Nara menurunkan ponselnya lalu beranjak dari lantai. "Mau kemana?"

"Cari udara segar,"

"soalnya udara di kelas terkontaminasi bau jigong lu," lanjut Nara.

Lita yang terlanjur hanya mengangguk lalu membaringkan dirinya di lantai lagi. Biarlah Nara keluar, siapa tau dapat inspirasi lagi. Pasalnya sahabatnya itu sudah sulit menulis sejak sebulan lalu.

Entah karena apa, hanya tidak mengalir seperti biasa kata Nara.

"Lah iya gue juga belum nulis."

___

Nara Wira Atania, singkatkan saja sebagai Nara. Gadis yang hobi baca novel dan bermimpi menjadi tokoh utama di dunia fiksi yang isinya penuh dengan cowok tampan dari berbagai negara. Saking sukanya membaca, saat sedang luang dalam satu hari pun ia dapat menghabiskan satu novel. Entah novel berbentuk fisik atau digital.

Dunia fiksi sekarang menjadi faktor yang penting dalam hidupnya. Selain karna banyak cogan, di sana terdapat banyak pelajaran-pelajaran hidup.

Kecintaanya terhadap novel ini yang membuatnya menulis selama dua tahun belakang. Berbekal imajinasi dan keinginan membaca karya sendiri, ia berhasil dikenal dalam satu platform digital dengan nama pena.

Terlepas dari itu, ada juga Lita Valiana sahabatnya yang juga seorang penulis seperti Nara. Dia adalah sahabat yang selalu jadi tempat keluh kesah Nara selama menjadi penulis.

Keduanya mempunyai banyak kesamaan hingga banyak yang mengira bahwa mereka adalah anak kembar. Jika Nara terjun dalam fiksi remaja, maka Lita memilih terjun dalam fantasi.

Gadis itu suka sekali dunia fantasi entah berbentuk film atau cerita novel. Kekuatan magis, peperangan, atau petualangan sang pendekar untuk memperoleh pedang emas, itu favoritnya selama ini.

Sepeninggalan Lita yang lupa menulis, saat ini Nara tengah berjalan santai di koridor yang tidak terlalu ramai. Sebagian besar orang tengah berkumpul di lapangan untuk menyaksikan pertandingan basket.

Huh, Nara malas melihat sekumpulan laki-laki yang menyibakkan rambut sambil berlari di tengah terik matahari. Bukan apa-apa, pasti ada saja yang membuat hati kocar-kacir.

Yang diacak rambut, yang terguncang malah hati siswi-siswi yang menonton.
"Eh Nara," ucap seorang laki-laki dengan wajah tengil.

Nara berhenti.
"Gue lagi malas ribut, Bim."
Ya, di hadapannya ada si tengil dari 11 IPS 5. Kelas yang selalu adu mulut dengan 11 IPS 3. Kelas yang isinya anak-anak bobrok tapi solid, katanya.

Dan ini satu spesiesnya, Bima Nugroho.

Bima merentangkan kedua tangan guna menghalangi jalan Nara. "Gue gak ngajak ribut, cuman mau ajak ta'aruf, Nar. Mau gak Lo? Jarang-jarang, kan seorang Bima Ganteng ngajak lo ta'aruf."

"Berisik lo, Bim," celetuk salah seorang yang duduk lesehan di koridor itu.

"Diam dulu bapak Bara terhormat," ujar Bima.

Nara melirik Bara yang juga menatapnya. Namun, dengan cepat Nara memutuskan kontak mata itu dan menatap Bima malas.

"Gue ogah ta'aruf sama lo, mending sama kambing."

"Songong amat lo, Nar. Kambingnya kali yang gak mau sama Lo, Nar."

"Sialan," umpat Nara melihat Bima yang sudah tertawa keras. Tidak ada yang lucu padahal, Bima saja yang terlalu lebay.

"Buang-buang waktu aja lo, Bim. Awas dah!"  Nara menendang kaki Bima lalu berjala tanpa dosa. Kakinya melangkah lurus lalu berbelok ke kanan.

Ia butuh ketenangan sekarang. Dari pada meladeni Bima dan bertemu orang itu. Orang yang sebenarnya adalah alasan Nara untuk lebih baik memikirkan tulisannya.

Ya, mari menulis lembaran kisah imajinatif berbumbu pengalaman pribadi yang belum usai.

TBC

Ehehehe, udah berapa kali revisi? Ini AdK teman-teman. Cuman ada yang di ubah, labil emang akutuh ehe.

Alur dan beberapa scene aku ubah, tapi semoga kalian suka ya ehee.
Jangan lupa nabung buat Bantara gais.

BANTARA (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang