22. Bima Mela (2)

33 5 0
                                    

"Sebesar apapun cinta kita pada seseorang, janganlah lebih besar dari pada cinta kita kepada Tuhan."

"Minum-minuman yang 'itu' maksud lo?"

"Yoi."

"Ada akhlak lo ngomong begitu?" tanya Bara pada Bima. Bima menselonjorkan kakinya di lantai, dari raut wajahnya sudah menjelaskan bahwa Bima lagi galau. Jarang-jarang mereka lihat Bima begini. Orang humoris kalau udah diem pasti ada sesuatu. "Mending lo cerita. Geli lo diem," tutur Delon.

Bima menundukkan kepalanya, rasa kesal masih terus saa menguasai. Ucapan Mela atau perasaan Devi, keduanya benar-benar membuatnya pusing setengah mati. "Gue ditolak sebelum gue nyatain secara resmi. Miris," ujar Bima dan menertawai dirinya sendiri. Sekarang sebutan yang cocok untuknya adalah sadboy.

"Terus kenapa lo malah sedih-sedih gitu?"

"Ye, Kulkas. Ini anak abis ditolak, ya kali gak sedih. Ada akhlak lo ngomong begitu?" celetuk Altair menirukan kalimat Bara. Altair duduk di samping Bima.

Tangannya terulur memukul kepala Bima. "Udah santai aja, mamen. Kalau udah gitu jalannya, berarti bukan jodoh."

"Lagian udah tau segitiga, masih aja dilanjutin."

Altair langsung melempar Delon kaleng kosong di sampingnya. "Mulut lo pedes. Tapi ada benernya."

"Setan, sama aja lo kayak si Delon," maki Bima.

"Dari pada lo galau-galau, ntar malam kita nongki di cafe biasa," usul Altair.

Bara mengangkat sebelah alisnya. "Lo traktir?"

"Bayar sendiri-sendirilah bangsat."

__

Dan di sinilah mereka sekarang. Di salah satu cafe yang paling sering mereka kunjungi. Jam menunjukkan pukul 9 malam. Tapi mereka berempat hanya terdiam.

Altair menatap malas mereka semua. Maksudnya berkumpul biar lupa sama masalah-masalah mereka. Eh ini malah bengong-bengong.

"Silakan diminum," sindir Altair pada mereka. Ketiganya melirik Altair lalu menghentikan aktivitas bengong masing-masing. "Jadi gimana?"

"Gimana apanya?" sahut Bima.
Bara menghela napas kasar lalu mengambil ponsel Bima. Jarinya bergerak mencari nomor Mela di aplikas chatting milik Bima. Setelahnya dia meletakkan itu di depan Bima.

Bima tampak bingung. "Kalau lo serius, chat dia. Bilang lo bener-bener sayang sama dia. Baru ditolak sekali bukan berarti bakal ditolak terus."

"Ekhm. Ralat lo, ditolak dua kali," sambung Altair pelan.

Bima mengambil ponselnya. "Serius lo?"

Bara mengangguk. "Kalau lo laki, sih. Kalau bukan, ya letakin aja hape lo," lanjut Bara.

Dengan ragu Bima mengetikkan pesan untuk Mela. "Udah?" Altair melirik dari samping untuk melihat ponsel Bima.

"Ngapa kagak lo kirim?"

Bima menggeleng. "Deg-deg gue sat."

"Halah, lelet lo. Sini gue yang pencet." Altair langsung menekan tombol kirim. Bima yang melihatnya langsung tak terima.
"Ngapain lo kirim woy? Typing gue alay gila. Mau dikata apa gue nanti."

"Lo dari dulu juga tetep alay elah."

"Dah-dah berisik elah. Sekarang chat Devi. Minta ngobrol berdua sono," ujar Bara yang langsung di setujui Altair.

(Dev, gue mau ngomong. Lo ada waktu besok?)

(Tumben. Kenapa?")

BANTARA (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang