Nara turun dari sepedanya., hari ini Joan tidak bisa mengantar pun motornya sedang rusak. Lebam di kakinya sudah berkurangdan ia bisa kembali berangkat sekolah dengan kesayangannya Bluly. Tangannya menjinjing kantung palstik hitam berisi roti dan selai kacang. Saat berjalan, entah memang ditakdirkan atau kebetulan, dia selalu bertemu Bima dan Altair di parkiran. Keduanya terlibat perdebatan kecil hingga tidak menyadari keberadaannya di belakang. "Salah lo semalam lupa isi minyak."
Altair mendorong bahu Bima pelan. "Makanya ingatin gue pe'a."
"Ya lo gak minta diingatin, bujang," rutuknya sambi memukul Altair dengan tasnya.
"Pagi-pagi udah gelud aja," sela Nara saat Altair hendak membalas.
"Tumben datang jam segini, Nar? Telat bangun?" Nara mengayung-ayungkan kantung sambil berjalan. Kejadian semalam membuatnya sulit memejamkan mata dan berakhir tertidur pukul 02.00 pagi.
"Sebenernya lo boleh kalau pengen jadi kayak gue. Cuman gue saranin lo cukup jadi diri lo sendiri, Nar. Lo punya punya keunggulan juga kok. Cuman kadang kita terpaku saama apa yang enggak bisa kia lakukan. Di luar sana ada banyak orang yang mengangumi dan menginginkan posisi kayak lo, Nar. Dan gue rasa gue juga termasuk orang-orang itu."
"Lo?"
"Iya. Lo punya banyak kesempatan untuk meraih mimpi dan bertemu orang yang lo suka. Bukan kayak gue, udahlah jadi beban, gak bisa bareng si kulkas lagi."
"Maksudnya lo mau nyerah sama Delon?" Arelia menggeleng pelan. "Untuk saat ini belum. Tapi setiap orang yang berjuang buat meluluhkan hati yang dia suka, juga punya limit tersendiri. Kalau udah kelihatan gak ada harapan gue bukan mundur lagi namanya. Gue langsung stop. Berhenti di situ dan mencari seseorang yang memang ditakdirkan buat gue."
"Oy!" pekik dua lelaki itu saat Nara melamun sambil berjalan. Nara yang sadar hanya bisa tertawa kikuk, memikirkan obrolannya dengan Arelia malah membuat kepalanya berdenyut terus.
"Nar, masih mau taaruf sama gue?," goda Bima yang dihadiahi dorongan pada bahunya sehingga dia bergeser sedikit dari Nara."Jangan digombalin, nanti pawangnya terkam Lo, Bim," tambah Altair.
Nara melirik keduanya dan terus berjalan sejajar dengan mereka. Langkahnya yang lebih kecil membuatnya harus sedikit lebih cepat agar bisa menyamakan."Pawang gue? Siapa?"
"Bara," jawab keduanya serempak.
"Kalian belajar apa hari ini?" tanya Nara mengalihkan pembicaraan. Mereka yang satu kelas menjawab bersamaan. "Bu Milra, kalau lo?"
"Pak Joko."
Altair berdecak tidak terima. "Enak banget lo, jam pertama udah kosong aja. Pak Joko gak masuk, gue denger dari ketua kelas semalam." Netranya berbinar. Bisa ia jadikan peluang menulis pagi hari, di saat perasaan benar-benar tenang dan jernih. "Asik!"
"Seneng, tuh, mau nulis. lagi pasti," nyinyir Altair sambil menyentil kening gadis itu. "Iya, dong."
"Nar, gimana cerita lo?" kata Bima. Nara mengulum bibirnya. "Eum ... gitu-gitu aja, sih. Memangnya kenapa?" tanyanya balik.
Mereka ber-oh panjang dengan kepala mengangguk lama. "Gue penasaran aja, siapa tau gue boleh nitip kisah cinta gue yang bentuknya segitiga gak beraturan."
__
Nara langsung masuk ke dalam kelas dan mengabaikan dua sejoli itu di luar. Saat hendak mendaratkan tasnya, tanpa sengaja ekor matanya menangkap Mela dengan muka sebab dan bengkak. Perlahan ia bergerak ke arah Mela dan duduk di sampingnya.
"Lo kenapa, Mel?" Mela menoleh, tanpa aba-aba ia menubrukkan badannya memeluk Nara erat.
"Gu-gue ... sama Devi berantem, Nar," bisiknya. Nara mengelus punggung Mela agar dia lebih tenang. Pasalnya, setiap ia merasa sedih atau kesal, Joan dan mama akan memeluknya, mengelus dan menepuk punggungnya yang sukses menenangkan.
Tengah sibuk menenangkan Mela, datanglah Lita dengan Devi yang juga sembab. Berbeda dengan Nara yang paham, Lita malah sebaliknya. Ia menyorot tanya pada Nara yang dibalas decakan. Dalam rumus mereka, decakan berarti nanti saja. Mela melepas pelukannya sambil mengelap sisa air matanya. "Sana sholat dulu, gih. Kalau ada masalah ceritakan sama Tuhan, ya. Tuhan adalah pendengar terbaik, Mel," imbuh Nara
"Kan mau masuk, Nar," jawabnya dengan suara parau khas orang menangis.
Nara menggeleng. "Gue dengar dari Bima sama Altair, Pak Joko hari ini gak masuk."
"Beneran?" Nara mengiyakan. Mela langsung berdiri, mengambil mukenah dari dalam tas untuk melaksanakan sholat Dhuha. Nara kembali duduk di bangkunya.
Mela berjalan menuju mushola namun, sebelum ia sampai seseorang datang dan menarik Mela ke arah yang berlawanan. "Gue mau ngomong."
Mela yang masih terkejut hanya bisa diam saat Bima menariknya, menuntunnya pergi ke gedung atas sekolah.
"Ih, lo ngapain ngajak gue ke sini? Lepasin, sakit!" pekiknya namun diabaikan. Sebenarnya ingin apa? Itulah yang ada di benaknya. Karena sibuk berfikir Mela tidak sadar mereka kini telah berada di atap sekolah. Bara melepaskan cengkeramannya. Mengetahui tangan gadis itu yang sedikit memerah, spontan dirinya meraih pergelangan Mela lembut dan meniupnya. Duality seorang Bima.
"Maaf," gumam Bima.
Tak ada lagi suara yang menyahut. Keduanya membisu, Mela membuang mukanya ke sebarang arah dan Bima yang tidak berhenti menatapnya. Kenapa rasanya canggung tidak seperti biasanya? Mela yang cerewet dan judes pada Bima telah pergi ke mana?
"Tatap gue bisa?" Mela langsung menolak membuatnya harus berbicara dengan Bima yang tidak menatapnya. "Lo jujur, ikhlas gak gue sama Devi?" Mela menatapnya cepat. "Sama lo? Idih, buat apa?"
"Jujur aja, gue bisa bedain dengan lihat mata lo dari kemarin. Kalau lo memang ikhlas, gue yang enggak ikhlas. Seperti yang gue bilang, gue sayang sama lo Gue tau kalau lo berantem hari ini karna gue, kan?."
Mela menghempaskan tangan Bima. "Lo ngawur," sekilas Ma teringat akan ucapan Devi tadi. Gue bingung, Mel. Kenapa harus orang yang sama?
Tunggu, mmereka bertemankan? Teman tidak boleh saling menyakiti. Berarti dirinya tidak boleh melukai perasaaan Devi "Biar gue perjelas. Pertama gue memang suka sama lo. Tapi itu dulu, jauh sebelum lo deketin gue lagi. Kedua, lo bukan gak suka Devi, lo hanya belum melihat dia sebagai mana lo lihat gue." Mela menjeda ucapannya saat sadarkalau Bima menatapnya tidak seperti yang tadi.
"Terakhir, gue gak mau merusak persahabatan gue."
__
"Kusut amat tuh muka," ujar Altair saat melihat Bima datang ke markas mereka dalam diam. Bima hanya berdehem lalu duduk di dekat Delon yang hanya menatapnya tanpa bicara apapun. "Lo pada mau minum? Gue traktir," ujar Bima pada mereka bertiga--Bara, Altair dan Delon.
Bara yang dari tadi baring dan mendengarnya langsung terduduk. "Setan kaget gue," ucap Altair karna Bara terlalu tiba-tiba dan mengagetkannya. Bima terkekeh pelan lalu mengambil minum milik Delon tanpa permisi.
"Al, lo pesen gih minum di kantin bawa sini," celeuk Bara.
"Maksud gue bukan minum yang itu." Delon mengangka satu alisnya saat mulai sadar maksud Bima.
"Minum-minuman yang 'itu' maksud lo?"
"Yoi."
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANTARA (NEW VERSION)
Teen Fiction[TAMAT] Ini bukan kisah penuh romansa dengan bumbu yang menggetarkan dada, juga bukan fantasi hebat yang menyemburkan pengalaman paling indah. Tapi ini hanya tuangan kisah dalam ruangan rahasia seorang Nara. Nara itu seorang penulis. Namun, ia berhe...